Hi, Welcome to my blog, enjoy reading.
RSS

Wednesday 27 March 2013

A Story about Coffee

   
     Dia bernama Kopi. Tidak  seperti makna implisit di balik namanya, dia coklat (tidak legam seperti kopi hitam) layaknya kopi dicampur creamer, dan pahit. Hidupnya. Pahit hidupnya. Namun seperti kecantikan, pahit itupun relatif. Seorang anak pecinta susu sapi mungkin akan menganggap kopi itu pahit. Tapi bagi seorang paruh baya pecandu kopi mungkin pahitnya kopi itu adalah surga. Jadi kehidupan Kopi memang pahit, jika digeneralisasikan.
     Kopi ingin mengubah hidupnya. Dia tidak bosan dengan kehidupan yang dijalaninya, hanya saja dia ingin merubah beberapa hal. Well, semua hal berubah. Kopi selalu mengulang-ulang kalimat itu dalam kepalanya. Kali pertama dia bertemu dengan seseorang bernama Gula dan meyakini bahwa Gula akan mengubah hidupnya menjadi lebih sempurna. Dan Gula pun mencari hal yang sama. Perbedaan. Bukankah itu yang dikatakan orang-orang? Perbedaan itu hal terbaik untuk bisa saling melengkapi. Lagipula, seperti kopi dengan gula, paduan yang pas; minuman favorit jutaan orang di muka bumi.
     "Kita sangat berbeda, iya kan Gul?" tanya Kopi suatu malam. "Aku suka membaca buku, kamu sukanya main game. Aku suka ikan, kamu suka ayam. Aku suka Agnes Monica, kamu suka Syahrini. Kamu capek tidak sih Gul dengan semua perbedaan ini?" Kopi melanjutkan sambil memandangi muka Gula yang serius menekan-nekan layar ponselnya dengan halus.
     Gula terdiam beberapa saat. Mungkin merenungkan perkatan Kopi, mungkin juga sedang update status Facebook. Sejurus kemudian Gula mengalihkan mukanya dari layar ponsel dan menjawab pertanyaan Kopi dengan ekspresi datar.
     "Tidak. Aku tidak pernah merasa capek. Lagipula memang ini yang kucari selama ini. Perbedaan. Pas sekali bukan kita bertemu? Harus ada orang yang bisa mendekati dan mengendalikanku. Ibaratnya minyak dan air Pi, mau sekeras apapun usahamu, mereka tidak akan pernah bisa menyatu. Lalu bagaimana kita mengharapkan mereka akan saling mengendalikan?" 
     Kalimat yang sepanjang kereta api itu keluar dari mulut Gula, namun tetap saja datar tanpa ekspresi. Ya, berbeda sekali denganku. Aku berapi-api, penuh semangat. Sampai hal seperti ini pun berbeda. Kopi tak pernah dengan sengaja memperhatikan perbedaan antara dirinya dengan Gula. Namun semakin lama, semua itu semakin jelas walau dengan mata terpejam. 
     Hingga akhirnya Gula dan Kopi sadar bahwa mereka terlalu memaksakan diri. Tidak bisa menjadi takaran yang pas seperti kopi eksklusif di cafe yang mahal. Terkadang Gula terlalu berlebihan, dan Kopi juga tidak bersikap lebih baik. Perbedaan yang terlalu mencolok.
     Kopi menganggap itu semua sebagai pengalaman yang mengajarinya beberapa hal. Oh well, dan dia tidak terlalu ngoyo lagi dalam melakukan perubahan. Toh, Kopi bisa berjalan sendiri. Ya, seperti kopi yang bisa disajikan tanpa campuran gula, susu, creamer, atau apapun. Tapi siapalah Kopi itu. Dia hanya makhluk yang menumpang tinggal di bumi ini, yang tidak bisa merancang kehidupannya sendiri. Kopi telah menyerah dengan Gula. Namun dia bertemu Coklat. 
     Coklat, makanan berwarna coklat yang bittersweet dan mood booster, adalah makanan favorit Kopi. Dia pun tak pernah menolak choco drink. Dan betapa senangnya Kopi mengetahui bahwa Coklat mempunyai banyak kemiripan dengannya. Ini bukan lagi tentang membuat perubahan. Hanya saja menyenangkan sekali bukan menemukan orang yang mirip sekali dengan kita (bukan dari segi fisik tentu saja)?
     Kopi selalu merasa bersemangat karena Coklat juga sama antusiasnya dengannya. Kopi selalu merasa didukung karena Coklat punya pola pikir yang hampir sama dengannya. Sebagai contoh saja ketika Coklat menjawab salah satu pertanyaan tes psikologi iseng di internet yang berbunyi "Kamu berdiri di depan pintu yang terbuka. Di sebelah kirimu ada satu pintu terkunci. Kamu melihat kunci emas kecil di ujung sepatu kananmu. Apa yang akan kamu lakukan? A) mengambil kunci itu, B) masuk melalui pintu di depanmu, C) terdiam sejenak, dan memutuskan untuk membalikkan badanmu". Dengan cepat Coklat memilih jawaban A, dengan alasan dia menyukai tantangan. Tepat sekali, seperti pilihanku. Kata Kopi dalam hati ketika itu. 
     "Kita memang seperti kopi dan coklat, Cok. Dua jenis minuman yang disukai banyak orang, sama-sama bisa dicampur gula atau susu. Punya pengaruh yang sama untuk menaikkan mood seseorang," kata Kopi dengan penuh semangat menyala-nyala di siang yang membakar seperti api ditiup angin.
     Tapi semakin lama waktu berjalan, Kopi menyadari satu hal. Hanya dirinya yang menyadari kemiripannya dengan Coklat. Karena Coklat bahkan tak pernah mempunyai gagasan mengenai hal itu. Atau mungkin Coklat tidak perduli satu halpun mengenai Kopi. Kopi tidak tahu. Unidentified. Dan akhirnya Kopi pun tidak mau tahu.
      Timbangan. Satu-satunya hal yang paling masuk akal bagi Kopi. Jika dia melirik kembali semua yang sudah dilewatinya, melihat simbol horoskop Libra itu di salah satu sudut sebuah majalah adalah satu-satunya hal yang membantunya untuk mencerna segalanya.

- Begin with An End -

Thursday 21 March 2013

The Time Will Answer

Every day and every night, it is never felt right
That my mind still catches the picture after the fight
So bright
Every time I open my eyes after sleeping tight
I see the name on my side

You know the time is running so fast
Well at the same time it just feels like yesterday
and thousand years have passed
As if day by day the world were getting too vast
I'm afraid the memory will fade away in a rush

It is you laying down peacefully
While the universe knows exactly that you will be gone
if I sweep your footprints silently
But you see what I see
It is only the time who will answer me

Friday 15 March 2013

Biru

Sering,
Sesuatu berjalan seolah tak seharusnya
Luka terjahit waktu dan berbekas
Penanda yang tak lekang
Peringatan akan pahit

Hidup memang seperti itu
Mau ditelantarkan, dijalani, atau dibangun?
Bunga di musim semi akan gugur dalam beberapa purnama
Tapi tetap ada indah itu
Hanya wajahnya berbeda

Dalam fatamorgana
Kepalsuan itu nyata
Dan hampir semua kenyataan itu palsu
Tak bisa dibenarkan atau dipersalahkan
Dan aku menggenggam teralinya

Thursday 7 March 2013

Something at the end of the road



Still a long way to go
There must be something awaiting at the end of the road
patiently, silently
On half the journey, I may be tired
I may be restless,
I may shout loudly in triumph
But not that much
It has never been that much
As nothing is eternal but the eternity
Ups and downs
They seem never end
Running, haunting, chasing
while I force myself to move
It never means I could hide in the darkness
hearing the emptiness and feeling the silence
escaping from reality
No
Everything changes
Everything must
No wrong or right
As I'd never be able to change the grey into perfectly black or white
It's on my will whether it's going to be brighter or dimmer
Consistency and perseverance
to remind me that something's awaiting at the end of the road
something I don't know...
at the end of the road


Sunday 20 January 2013

Cloudy sunday

When the sun rays come along to my morning face
I can see the warmth, yet the cold I feel
Heavy, these eyes are hardly opened
for the last night story was too much like a wedging pebble
scratching, painful
That's not about you, me, or them
If one asked for the blamed
no one would never be able to answer
Because it's not a mistake
Yet it could never be vindicated
There was no hatred, never ever
As the grass never shouts for being stepped on
No power, no will
Unfortunately, the emptiness always comes
absolute, numb, cold, and timeless
Don't say any single word!
Don't say I can't understand
Don't even dare to say I'm in the state of enmity
If I don't fully understand, either don't you
You're secluded, I'm silent
that's enough... more than it could take..

Wednesday 7 November 2012

Numb

I was afraid and still I am
for the past would never be forgotten
and the future would never be read
empty
the same feeling 
repeated time to time
empty
the world is always too huge
the ice is always too cold
numb
no fear
no grief
no joyfulness
no mercy
no hatred
no love
no thing
numb

Sunday 4 November 2012

The Messenger


Pagi ini penuh prahara. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini terasa seperti neraka bagi Rangga. Dia sudah terbiasa dengan suasana “horor” di rumahnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Menurut Rangga, ayahnya sudah keterlaluan.

Semua berjalan wajar awalnya, Rangga bangun jam 6 setelah mendengar teriakan alarm yang hampir membangunkan orang satu kompleks. Dia pun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Hari ini kuliahnya dimulai pukul 7. Ekonomi makro, matakuliah yang paling membosankan bagi Rangga. Pukul 6.30 Rangga sudah duduk di meja makan, berhadapan dengan ayahnya. Sepiring nasi dan telur serta segelas susu andalan mbak Siti sudah terhidang di hadapan mereka, melolong-lolong untuk dimakan.

Rangga mulai menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. Ayahnya pun melakukan hal yang sama. Hening. Rangga menelan suapan yang ketiga. Hening.

“Gimana hasil UTSmu?” tiba-tiba ayah Rangga buka suara. Dalam, parau, dan tidak terlalu jelas. Namun masih cukup jelas bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar. Rangga sejenak menghentikan suapannya, tanpa memandang ayahnya. Ekspresinya was-was, tapi dia berusaha tenang.

“Lumayan Pa, gak lebih buruk dari semester kemarin,” jawab Rangga akhirnya.

“Kamu tau bukan itu jawaban yang ingin papa dengar,” timpal ayah Rangga dengan nada datar yang sama.

Rangga diam. Dia sudah bosan dengan semua ini. Bukan salahnya kalau nilai-nilainya buruk. Dari awal dia sudah tidak berniat untuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Bahkan ekonomi adalah mata pelajaran yang paling dibencinya saat dia duduk di bangku SMA.

“Tadi pagi papa buang sampah.”

Rangga sedikit tertegun dan hampir-hampir tertawa. Kenapa tiba-tiba ayahnya membicarakan sampah? Apakah otaknya sudah terganggu?

“Semua barang-barang di bawah meja ruang tengah yang sudah tidak dipakai papa buang. Termasuk sampah-sampah kertasmu yang kamu biarkan teronggok tak berguna,” ayah Rangga melanjutkan sambil sedikit melirik anaknya.

Kesadaran menghantam Rangga. Kini dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Perlahan-lahan darahnya  mulai mendidih. Dia pun mendongak memandang ayahnya.

“Maksud papa, sketsa-sketsaku? Pa, sketsa itu baru kuselesaikan tadi malam. Aku lupa membawanya ke kamar, bukannya tidak berguna seperti kata papa. Dimana papa buang semua kertas-kertas itu?” Rangga pun beranjak dari kursinya dan sudah bersiap hendak mencari sketsa-sketsanya.

Ayah Rangga akhirnya mendongak menatap putranya. Masih dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang sulit ditebak. Namun kata-kata berikutnya yang keluar mampu membuat Rangga semakin emosi.

“Sudah berapa kali papa menyuruhmu untuk berhenti mengurusi omong-kosongmu itu? Mau jadi apa kamu nanti?! Kamu pikir kamu bisa gampang cari duit hanya dengan menjual hasil desainmu yang belum tentu disukai orang?! Hah?”

“Tapi menjadi arsitek itu adalah cita-citaku sejak kecil, Pa. Dan aku yakin Papa tahu itu. Aku yakin aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus meneruskan ambisi papa. Aku juga yakin kalau mama masih ada, pasti beliau juga akan mendukung keputusan aku!” bantah Rangga membabibuta. “Aku bukan boneka papa!!”

“Jangan bawa-bawa ibumu. Kamu masih kecil, tidak tahu apa-apa. Kamu belum merasakan kejamnya hidup. Aku dan mamamu bisa menjadi seperti ini juga karena didikan orang tua, karena kami menurut pada orang tua, kakek dan nenekmu,” papa Rangga berdiri kali ini.

“Hah! Iya pa, mama memang menurut. Tapi sebenarnya mama tertekan. Mama sakit karena beban pikiran. Dan itu semua karena papa dan keluarga papa yang hanya melulu memikirkan bisnis dan uang…!”

 “Cukup Rangga!! Berani sekali kamu bicara pada papa seperti itu! Sekarang keluar kamu sebelum habis kesabaran papa. Keluar!”

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Segera setelah mendengar kalimat ayahnya yang terakhir, Rangga pun bergegas keluar. Buru-buru dia nyalakan motornya. Di luar pagar, tak sengaja dia melihat ke bak sampah. Dia melihat beberapa lembar kertas dengan sketsa-sketsa desain bangunan yang digambarnya tadi malam. Rangga mengambil semua kertas itu dan langsung berlalu pergi, mengendarai motornya dengan kencang.

***

Sepanjang perjalanan, ingatan akan ucapan ayahnya masih melekat di pikiran Rangga. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia sudah muak dengan ayahnya, dengan situasi rumahnya yang seperti rumah hantu. Mungkin kalau Rio, kakaknya, masih tinggal bersama mereka, situasi akan menjadi lebih baik. Namun pekerjaan menuntut Rio untuk tinggal di luar pulau.

Rangga membenci sikap ayahnya. Dari kecil, Rangga merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Beruntung dia masih memiliki ibu hingga dia naik kelas dua SMA dan Rio yang bisa menjadi tempatnya bercerita setelah mamanya tiada. Namun sekarang, dia harus menghadapi kenyataan pahit tinggal berdua dengan ayahnya, bertiga dengan Mbak Siti yang pendiam.

Pikiran Rangga selalu dipenuhi dengan ambisinya menjadi seorang arsitek. Rangga sudah menunjukkan bakat menggambar dan berhitung yang hebat sejak masih TK. Kekagumannya akan bangunan megah dan indah semakin mendorongnya untuk kuliah di jurusan arsitektur. Tapi dia harus rela melepas semua impiannya demi meneruskan bisnis konveksi ayahnya yang berkembang pesat.

“Awaaaaas…!!!” Rangga berteriak kaget menyadari seorang anak perempuan kecil menyeberang di depannya. Untung dia berhasil mengerem motornya tepat waktu. Rangga terlalu sibuk melamunkan pertengkarannya dengan sang papa dan tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya.

Anak kecil itu juga memekik kaget. Rangga pun segera turun dari motor dan menghampiri gadis mungil itu untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tampaknya gadis itu adalah salah satu dari ribuan anak terlantar di Jakarta.

Rangga cukup terkejut setelah melihat anak itu dari dekat. Anak itu kira-kira berusia 5 tahun. Mungkin dia memang anak jalanan, namun wajahnya cantik dan damai seperti malaikat. Sorot matanya teduh namun bersinar-sinar penuh semangat. Rambut panjangnya memang memerah terbakar sinar matahari, tapi bersih. Pipinya merona merah dan senyumnya sangat lembut. Dia juga tidak kucel seperti anak yang tidak pernah mandi. Pakaiannya bersih dan badannya juga tidak kurus. Anak itu sungguh sangat lucu.

Rangga berjongkok untuk berbicara dengan anak itu. Sambil memegang kepalanya, Rangga pun bertanya dengan nada khawatir,”Adek, kamu gak papa?”

Anak itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tampaknya dia paham benar bahwa Rangga adalah orang baik yang tidak akan menyakitinya.

“Nama kamu siapa?” tanya Rangga lagi.

“Amel. Kakak siapa?” suara Amel yang ceria terdengar merdu di telinga Rangga dan begitu menenangkan hatinya.

“Kenalin, nama Kakak Rangga,” jawab Rangga sambil mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri. “Maafin kakak ya, tadi hampir nabrak kamu. Rumah kamu dimana? Kok pagi-pagi udah lari-larian di sini?”

“Amel gak punya rumah, Kak Rangga. Amel suka pindah-pindah tidurnya.

Jadi benar dugaan Rangga, Amel adalah salah satu dari banyak anak jalanan yang tersebar di seantero kota. Refleks, Rangga melihat sekeliling. Tampak satu gerobak bubur di pinggir jalan itu.

“Amel sudah makan?” tanya Rangga sambil tersenyum.

“Belum Kak.

“Sarapan bubur mau?”

Amel mengangguk dan berkata,”Tapi Kakak juga ikut makan.” Seolah Amel sudah tahu bahwa Rangga telah makan sedikit nasi dan telur pagi itu. Rangga pun mengiyakan. Lagipula, dia memang masih merasa lapar. Pertengkaran dengan ayahnya telah membuatnya kehilangan selera makan dan tidak menghabiskan menu andalan Mbak Siti. Dia bahkan memutuskan untuk membolos kuliah karena jelas-jelas dia sudah terlambat.

Rangga dan Amel duduk berjejer di kursi panjang sederhana, di samping gerobak bapak tukang bubur. Dalam beberapa menit saja, pesanan bubur mereka sudah datang. Amel memakan buburnya dengan bersemangat. Rangga mengamatinya sambil tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

“Kalau udah gede Amel mau jadi apa?” tanya Rangga membuka kembali percakapan mereka.

“Kalo udah gede, Amel pengin buat baju yang buanyaaak…banget!” jawab Amel menggemaskan sambil tetap mengunyah makanannya.

“Hahaha… Kenapa pengin buat baju?” tanya Rangga yang sedikit surprised juga dengan jawaban Amel. Rata-rata anak kecil kalau ditanyai soal cita-cita akan menjawab dokter, guru, penyanyi, dan jawaban standar lainnya.

“Soalnya Amel bajunya cuma satu kak. Temen-temen Amel juga. Jadi kalau Amel bisa buat baju sendiri, Amel bisa kasih ke temen-temen Amel. Gratis!!” jawab Amel, memamerkan gigi-gigi kecilnya pada Rangga.

Rangga terdiam sebentar, teringat pada ayahnya. Rangga adalah anak seorang pengusaha konveksi yang cukup terkenal. Sering berganti baju mahal dan branded merupakan hal biasa baginya. Sementara Amel harus memakai satu-satunya baju yang dia punya setiap hari. Menurut Rangga ini sungguh sangat ironis. Langsung terbersit dalam pikirannya untuk mengambil beberapa baju anak-anak produksi perusahaannya dan memberikannya pada Amel. 

“Kak Rangga kok diem? Kakak udah kenyang?” tanya Amel sambil mengayun-ayunkan kakinya yang belum bisa menjejak tanah dari tempat dimana dia duduk.

Rangga terhenyak, kemudian tersenyum setelah berhasil mencerna pertanyaan Amel. “Oh, gak Mel. Belum. Kakak masih lapeer…” sahut Rangga sambil meringis dan mengelus-elus perutnya sendiri, kemudian menyuapkan sisa bubur ke mulutnya dengan lahap.

***

Setelah pertemuan pertamanya dengan Amel, Rangga menjadi sedikit ceria, merasa hidup kembali, meskipun belum merasa utuh. Tiap beberapa hari sekali, Rangga menemui Amel. Makan bubur bersama di tempat yang biasa. Rangga suka akan kepolosan gadis kecil itu. Melihat muka malaikatnya selalu dapat mengingatkannya bahwa dunia ini tak melulu kejam. Namun, keadaan berubah 180 derajat ketika Rangga kembali ke rumah. Dia harus menghadapi suasana horor itu. Kembali menopang gelombang kehampaan yang sama. Rangga tak lagi memedulikan amarah ayahnya. Dia bersikeras untuk tetap menggambar dan mewujudkan cita-citanya meskipun itu berarti dia harus rela didiamkan ayahnya sepanjang waktu. Dia bahkan sempat berpikir bahwa suatu hari kelak ayahnya tidak akan sudi lagi menganggapnya anak.

Selasa siang yang panas. Rangga duduk di teras belakang. Suara bariton vokalis Avenged Sevenfold yang begitu dikaguminya mengalun dari smartphone dalam saku Rangga, mengalir tenang melalui headset yang bertengger di kepalanya. So far away. Lagu emosional ini selalu mengingatkan Rangga pada almarhumah ibunya. Akh, andaikan mama masih di sini… Pikir Rangga sambil menggoreskan pensil pada selembar kertas seukuran A3.

Ayah Rangga berjalan pelan mendekatinya dari ruang dalam. Ayahnya pun berdeham. Rangga menggumam kecil, menirukan suara Matt Shadows yang nyaring di telinganya. Ayahnya berdeham sekali lagi.

How do I live without the ones I love…” Rangga bersenandung semakin keras. Akhirnya ayah Rangga memutuskan untuk memanggilnya.

“Rangga…”

Rangga tak menoleh. Dia tak mendengar suara ayahnya sama sekali. Ayah Rangga hendak memanggilnya sekali lagi, namun tampaknya hal itu begitu berat baginya. Usahanya terhenti. Ayah Rangga memandangi sebentar sosok Rangga dari belakang, kemudian berbalik pergi.

Rangga merasa seseorang berdiri di belakangnya dan ia pun menoleh. Namun dia tak melihat siapa-siapa. Rangga hanya mengedikkan sedikit bahunya dan kembali mengguratkan pensilnya.

***

Rangga kembali bertemu dengan Amel. Kali ini Rangga membawakan Amel sebungkus eskrim dan mengajaknya untuk menghabiskan eskrim itu di taman. Dari tempat itu, Rangga bisa melihat dengan jelas bangunan hotel termewah di Jakarta. Dia hendak menggambar hotel itu dan berencana untuk merevisi desainnya menjadi sesuatu yang baru. Amel sangat senang menemani Rangga menggambar. Dia kagum akan keindahan sketsa-sketsa Rangga.

“Kak Rangga kok gambarnya bisa bagus banget? Pasti papa kak Rangga yang ngajarin,”Amel berujar sambil menjilat eskrimnya dengan ekspresi khas anak kecil yang kegirangan.

“Ah, Amel sok tau. Papa kak Rangga malah gak suka gambar. Gambar kakak suka dijadiin bantal sama dia,” sahut Rangga, mencoba bercanda meskipun hatinya tersayat.

“Wah, kasihan gambarnya dong, kak. Pasti rusak,” Amel kecil menimpali lagi sambil mengamati muka Rangga yang sedang serius menggambar.

Rangga hanya menjawab dengan senyuman. Beberapa detik kemudian Amel melontarkan pertanyaan yang tidak diduga-duga Rangga sebelumnya.

“Kak Rangga benci ya sama papa kakak?”

“Kok Amel nanyanya gitu?” tanya Rangga dengan kening berkerut, berpikir darimana Amel mendapatkan inspirasi untuk menanyakan hal semacam itu.

“Kan papanya kakak make gambar-gambar itu buat bantal. Padahal gambarnya bagus-bagus. Harusnya kan dipajang kak. Ditempel-tempel di dinding,” jawab Amel dengan ekspresi polos.

Rangga diam. Berpikir lama. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Dia sendiri tak mengerti apakah dia membenci ayahnya atau tidak. Ayahnya yang telah mencoba untuk mengubur impiannya. Ayahnya yang selalu ditakutinya karena selalu keras dan disiplin. Ayahnya yang memberi kebebasan lebih pada kakaknya, Rio, namun tidak padanya. Ayahnya yang selalu menganggapnya anak kecil. Ayahnya yang terbiasa meninggalkan keluarga berhari-hari karena urusan bisnis. Ayahnya yang telah membuat ibunya tertekan dan depresi. Namun tetap saja, sosok itu adalah ayahnya.

“Gak, Mel. Kakak gak benci sama papa. Beliau sudah membesarkan kakak sampe segede monster gini, masa’ kakak benci,” sahut Rangga akhirnya.

“Hihihi… bagus kak,” balas Amel sambil menepuk-nepuk lengan Rangga layaknya orang dewasa. Rangga geli juga dengan reaksi Amel, namun dia hanya tertawa.

“Kita emang gak boleh benci sama papa mama kita, kak. Nanti dosa. Amel malah pengin peluk papa Amel kalau ketemu, tapi gak bisa,” kata Amel sambil menunduk sedih dan menggenggam sedikit eskrim yang masih tersisa.

“Kenapa gak bisa, Mel?” tanya Rangga spontan.

“Papa Amel udah di surga,” jawab Amel singkat. Kemudian dia mendongak dan menatap Rangga yang trenyuh. Rangga bisa merasakan kesedihan gadis itu. Dan seolah, kesedihan itu adalah juga miliknya. “Tapi gakpapa. Amel seneng ketemu kakak. Kak Rangga baik, kayak papa Amel,” lanjut Amel sambil kembali memamerkan giginya yang kecil-kecil. Namun Rangga melihat sebutir kristal bening menggantung di sudut mata gadis itu.

Rangga tersenyum dan mengelus kepala Amel dengan lembut. Tiba-tiba dia sangat merindukan ayahnya.

***

Sudah tiga jam yang lalu sejak Mbak Siti menelepon Rangga untuk mengabari bahwa ayahnya mendadak pingsan ketika sedang membaca koran. Kini sang ayah tergolek lemah di atas seprei putih rumah sakit. Rangga duduk di kursi, di samping ayahnya dan memandang wajah sang ayah yang tampak pucat dan seperti menanggung duka mendalam. Baru kali ini Rangga menyadarinya. Di balik ekspresi kaku dan keras ayahnya tersimpan sepercik kepedihan yang menggantung.

“Rangga…” ayah Rangga tersadar dan memanggilnya dengan lirih.

“Iya pa. Aku di sini,” sahut Rangga segera, menghapus air mata yang sempat mengalir.

“Rangga, maafkan papamu, nak,” kata ayah Rangga dengan mantap meskipun dengan suara yang tidak terlalu jelas terdengar karena menahan sakit di jantungnya.

“Gak pa, Rangga yang minta maaf..

“Dengar dulu, papa belum selesai. Papa akui kalau papa egois. Kamu sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan sendiri jalan hidupmu. Tugas papa untuk mensupport setiap keputusanmu. Lanjutkanlah keinginanmu, nak.”

“Pa…

“Tapi satu yang papa minta. Selesaikan kuliahmu. Papa tidak akan melarangmu lagi untuk belajar hal lain. Mungkin suatu saat kamu bisa membuatkan papa sebuah istana,” pungkas ayah Rangga dengan sebuah senyuman sambil sedikit meringis kesakitan.

Sontak Rangga memeluk ayahnya. Sambil mengucapkan kata terimakasih dan maaf yang tak berkesudahan.

***

Rangga tak pernah berhasil lagi menemukan Amel setelah ayahnya pulang dari rumah sakit. Padahal dia ingin sekali berterimakasih pada gadis itu. Bahkan dia bermaksud untuk mengangkat Amel sebagai adik. Namun Amel memang tak pernah ada. Tidak penting sebenarnya apakah gadis itu ada atau tidak. Pesannya sudah tersampaikan.


Sweet... Sweet... Sweet...

Taste the sweetness of life

Wednesday 27 March 2013

A Story about Coffee

   
     Dia bernama Kopi. Tidak  seperti makna implisit di balik namanya, dia coklat (tidak legam seperti kopi hitam) layaknya kopi dicampur creamer, dan pahit. Hidupnya. Pahit hidupnya. Namun seperti kecantikan, pahit itupun relatif. Seorang anak pecinta susu sapi mungkin akan menganggap kopi itu pahit. Tapi bagi seorang paruh baya pecandu kopi mungkin pahitnya kopi itu adalah surga. Jadi kehidupan Kopi memang pahit, jika digeneralisasikan.
     Kopi ingin mengubah hidupnya. Dia tidak bosan dengan kehidupan yang dijalaninya, hanya saja dia ingin merubah beberapa hal. Well, semua hal berubah. Kopi selalu mengulang-ulang kalimat itu dalam kepalanya. Kali pertama dia bertemu dengan seseorang bernama Gula dan meyakini bahwa Gula akan mengubah hidupnya menjadi lebih sempurna. Dan Gula pun mencari hal yang sama. Perbedaan. Bukankah itu yang dikatakan orang-orang? Perbedaan itu hal terbaik untuk bisa saling melengkapi. Lagipula, seperti kopi dengan gula, paduan yang pas; minuman favorit jutaan orang di muka bumi.
     "Kita sangat berbeda, iya kan Gul?" tanya Kopi suatu malam. "Aku suka membaca buku, kamu sukanya main game. Aku suka ikan, kamu suka ayam. Aku suka Agnes Monica, kamu suka Syahrini. Kamu capek tidak sih Gul dengan semua perbedaan ini?" Kopi melanjutkan sambil memandangi muka Gula yang serius menekan-nekan layar ponselnya dengan halus.
     Gula terdiam beberapa saat. Mungkin merenungkan perkatan Kopi, mungkin juga sedang update status Facebook. Sejurus kemudian Gula mengalihkan mukanya dari layar ponsel dan menjawab pertanyaan Kopi dengan ekspresi datar.
     "Tidak. Aku tidak pernah merasa capek. Lagipula memang ini yang kucari selama ini. Perbedaan. Pas sekali bukan kita bertemu? Harus ada orang yang bisa mendekati dan mengendalikanku. Ibaratnya minyak dan air Pi, mau sekeras apapun usahamu, mereka tidak akan pernah bisa menyatu. Lalu bagaimana kita mengharapkan mereka akan saling mengendalikan?" 
     Kalimat yang sepanjang kereta api itu keluar dari mulut Gula, namun tetap saja datar tanpa ekspresi. Ya, berbeda sekali denganku. Aku berapi-api, penuh semangat. Sampai hal seperti ini pun berbeda. Kopi tak pernah dengan sengaja memperhatikan perbedaan antara dirinya dengan Gula. Namun semakin lama, semua itu semakin jelas walau dengan mata terpejam. 
     Hingga akhirnya Gula dan Kopi sadar bahwa mereka terlalu memaksakan diri. Tidak bisa menjadi takaran yang pas seperti kopi eksklusif di cafe yang mahal. Terkadang Gula terlalu berlebihan, dan Kopi juga tidak bersikap lebih baik. Perbedaan yang terlalu mencolok.
     Kopi menganggap itu semua sebagai pengalaman yang mengajarinya beberapa hal. Oh well, dan dia tidak terlalu ngoyo lagi dalam melakukan perubahan. Toh, Kopi bisa berjalan sendiri. Ya, seperti kopi yang bisa disajikan tanpa campuran gula, susu, creamer, atau apapun. Tapi siapalah Kopi itu. Dia hanya makhluk yang menumpang tinggal di bumi ini, yang tidak bisa merancang kehidupannya sendiri. Kopi telah menyerah dengan Gula. Namun dia bertemu Coklat. 
     Coklat, makanan berwarna coklat yang bittersweet dan mood booster, adalah makanan favorit Kopi. Dia pun tak pernah menolak choco drink. Dan betapa senangnya Kopi mengetahui bahwa Coklat mempunyai banyak kemiripan dengannya. Ini bukan lagi tentang membuat perubahan. Hanya saja menyenangkan sekali bukan menemukan orang yang mirip sekali dengan kita (bukan dari segi fisik tentu saja)?
     Kopi selalu merasa bersemangat karena Coklat juga sama antusiasnya dengannya. Kopi selalu merasa didukung karena Coklat punya pola pikir yang hampir sama dengannya. Sebagai contoh saja ketika Coklat menjawab salah satu pertanyaan tes psikologi iseng di internet yang berbunyi "Kamu berdiri di depan pintu yang terbuka. Di sebelah kirimu ada satu pintu terkunci. Kamu melihat kunci emas kecil di ujung sepatu kananmu. Apa yang akan kamu lakukan? A) mengambil kunci itu, B) masuk melalui pintu di depanmu, C) terdiam sejenak, dan memutuskan untuk membalikkan badanmu". Dengan cepat Coklat memilih jawaban A, dengan alasan dia menyukai tantangan. Tepat sekali, seperti pilihanku. Kata Kopi dalam hati ketika itu. 
     "Kita memang seperti kopi dan coklat, Cok. Dua jenis minuman yang disukai banyak orang, sama-sama bisa dicampur gula atau susu. Punya pengaruh yang sama untuk menaikkan mood seseorang," kata Kopi dengan penuh semangat menyala-nyala di siang yang membakar seperti api ditiup angin.
     Tapi semakin lama waktu berjalan, Kopi menyadari satu hal. Hanya dirinya yang menyadari kemiripannya dengan Coklat. Karena Coklat bahkan tak pernah mempunyai gagasan mengenai hal itu. Atau mungkin Coklat tidak perduli satu halpun mengenai Kopi. Kopi tidak tahu. Unidentified. Dan akhirnya Kopi pun tidak mau tahu.
      Timbangan. Satu-satunya hal yang paling masuk akal bagi Kopi. Jika dia melirik kembali semua yang sudah dilewatinya, melihat simbol horoskop Libra itu di salah satu sudut sebuah majalah adalah satu-satunya hal yang membantunya untuk mencerna segalanya.

- Begin with An End -

Thursday 21 March 2013

The Time Will Answer

Every day and every night, it is never felt right
That my mind still catches the picture after the fight
So bright
Every time I open my eyes after sleeping tight
I see the name on my side

You know the time is running so fast
Well at the same time it just feels like yesterday
and thousand years have passed
As if day by day the world were getting too vast
I'm afraid the memory will fade away in a rush

It is you laying down peacefully
While the universe knows exactly that you will be gone
if I sweep your footprints silently
But you see what I see
It is only the time who will answer me

Friday 15 March 2013

Biru

Sering,
Sesuatu berjalan seolah tak seharusnya
Luka terjahit waktu dan berbekas
Penanda yang tak lekang
Peringatan akan pahit

Hidup memang seperti itu
Mau ditelantarkan, dijalani, atau dibangun?
Bunga di musim semi akan gugur dalam beberapa purnama
Tapi tetap ada indah itu
Hanya wajahnya berbeda

Dalam fatamorgana
Kepalsuan itu nyata
Dan hampir semua kenyataan itu palsu
Tak bisa dibenarkan atau dipersalahkan
Dan aku menggenggam teralinya

Thursday 7 March 2013

Something at the end of the road



Still a long way to go
There must be something awaiting at the end of the road
patiently, silently
On half the journey, I may be tired
I may be restless,
I may shout loudly in triumph
But not that much
It has never been that much
As nothing is eternal but the eternity
Ups and downs
They seem never end
Running, haunting, chasing
while I force myself to move
It never means I could hide in the darkness
hearing the emptiness and feeling the silence
escaping from reality
No
Everything changes
Everything must
No wrong or right
As I'd never be able to change the grey into perfectly black or white
It's on my will whether it's going to be brighter or dimmer
Consistency and perseverance
to remind me that something's awaiting at the end of the road
something I don't know...
at the end of the road


Sunday 20 January 2013

Cloudy sunday

When the sun rays come along to my morning face
I can see the warmth, yet the cold I feel
Heavy, these eyes are hardly opened
for the last night story was too much like a wedging pebble
scratching, painful
That's not about you, me, or them
If one asked for the blamed
no one would never be able to answer
Because it's not a mistake
Yet it could never be vindicated
There was no hatred, never ever
As the grass never shouts for being stepped on
No power, no will
Unfortunately, the emptiness always comes
absolute, numb, cold, and timeless
Don't say any single word!
Don't say I can't understand
Don't even dare to say I'm in the state of enmity
If I don't fully understand, either don't you
You're secluded, I'm silent
that's enough... more than it could take..

Wednesday 7 November 2012

Numb

I was afraid and still I am
for the past would never be forgotten
and the future would never be read
empty
the same feeling 
repeated time to time
empty
the world is always too huge
the ice is always too cold
numb
no fear
no grief
no joyfulness
no mercy
no hatred
no love
no thing
numb

Sunday 4 November 2012

The Messenger


Pagi ini penuh prahara. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini terasa seperti neraka bagi Rangga. Dia sudah terbiasa dengan suasana “horor” di rumahnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Menurut Rangga, ayahnya sudah keterlaluan.

Semua berjalan wajar awalnya, Rangga bangun jam 6 setelah mendengar teriakan alarm yang hampir membangunkan orang satu kompleks. Dia pun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Hari ini kuliahnya dimulai pukul 7. Ekonomi makro, matakuliah yang paling membosankan bagi Rangga. Pukul 6.30 Rangga sudah duduk di meja makan, berhadapan dengan ayahnya. Sepiring nasi dan telur serta segelas susu andalan mbak Siti sudah terhidang di hadapan mereka, melolong-lolong untuk dimakan.

Rangga mulai menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. Ayahnya pun melakukan hal yang sama. Hening. Rangga menelan suapan yang ketiga. Hening.

“Gimana hasil UTSmu?” tiba-tiba ayah Rangga buka suara. Dalam, parau, dan tidak terlalu jelas. Namun masih cukup jelas bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar. Rangga sejenak menghentikan suapannya, tanpa memandang ayahnya. Ekspresinya was-was, tapi dia berusaha tenang.

“Lumayan Pa, gak lebih buruk dari semester kemarin,” jawab Rangga akhirnya.

“Kamu tau bukan itu jawaban yang ingin papa dengar,” timpal ayah Rangga dengan nada datar yang sama.

Rangga diam. Dia sudah bosan dengan semua ini. Bukan salahnya kalau nilai-nilainya buruk. Dari awal dia sudah tidak berniat untuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Bahkan ekonomi adalah mata pelajaran yang paling dibencinya saat dia duduk di bangku SMA.

“Tadi pagi papa buang sampah.”

Rangga sedikit tertegun dan hampir-hampir tertawa. Kenapa tiba-tiba ayahnya membicarakan sampah? Apakah otaknya sudah terganggu?

“Semua barang-barang di bawah meja ruang tengah yang sudah tidak dipakai papa buang. Termasuk sampah-sampah kertasmu yang kamu biarkan teronggok tak berguna,” ayah Rangga melanjutkan sambil sedikit melirik anaknya.

Kesadaran menghantam Rangga. Kini dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Perlahan-lahan darahnya  mulai mendidih. Dia pun mendongak memandang ayahnya.

“Maksud papa, sketsa-sketsaku? Pa, sketsa itu baru kuselesaikan tadi malam. Aku lupa membawanya ke kamar, bukannya tidak berguna seperti kata papa. Dimana papa buang semua kertas-kertas itu?” Rangga pun beranjak dari kursinya dan sudah bersiap hendak mencari sketsa-sketsanya.

Ayah Rangga akhirnya mendongak menatap putranya. Masih dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang sulit ditebak. Namun kata-kata berikutnya yang keluar mampu membuat Rangga semakin emosi.

“Sudah berapa kali papa menyuruhmu untuk berhenti mengurusi omong-kosongmu itu? Mau jadi apa kamu nanti?! Kamu pikir kamu bisa gampang cari duit hanya dengan menjual hasil desainmu yang belum tentu disukai orang?! Hah?”

“Tapi menjadi arsitek itu adalah cita-citaku sejak kecil, Pa. Dan aku yakin Papa tahu itu. Aku yakin aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus meneruskan ambisi papa. Aku juga yakin kalau mama masih ada, pasti beliau juga akan mendukung keputusan aku!” bantah Rangga membabibuta. “Aku bukan boneka papa!!”

“Jangan bawa-bawa ibumu. Kamu masih kecil, tidak tahu apa-apa. Kamu belum merasakan kejamnya hidup. Aku dan mamamu bisa menjadi seperti ini juga karena didikan orang tua, karena kami menurut pada orang tua, kakek dan nenekmu,” papa Rangga berdiri kali ini.

“Hah! Iya pa, mama memang menurut. Tapi sebenarnya mama tertekan. Mama sakit karena beban pikiran. Dan itu semua karena papa dan keluarga papa yang hanya melulu memikirkan bisnis dan uang…!”

 “Cukup Rangga!! Berani sekali kamu bicara pada papa seperti itu! Sekarang keluar kamu sebelum habis kesabaran papa. Keluar!”

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Segera setelah mendengar kalimat ayahnya yang terakhir, Rangga pun bergegas keluar. Buru-buru dia nyalakan motornya. Di luar pagar, tak sengaja dia melihat ke bak sampah. Dia melihat beberapa lembar kertas dengan sketsa-sketsa desain bangunan yang digambarnya tadi malam. Rangga mengambil semua kertas itu dan langsung berlalu pergi, mengendarai motornya dengan kencang.

***

Sepanjang perjalanan, ingatan akan ucapan ayahnya masih melekat di pikiran Rangga. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia sudah muak dengan ayahnya, dengan situasi rumahnya yang seperti rumah hantu. Mungkin kalau Rio, kakaknya, masih tinggal bersama mereka, situasi akan menjadi lebih baik. Namun pekerjaan menuntut Rio untuk tinggal di luar pulau.

Rangga membenci sikap ayahnya. Dari kecil, Rangga merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Beruntung dia masih memiliki ibu hingga dia naik kelas dua SMA dan Rio yang bisa menjadi tempatnya bercerita setelah mamanya tiada. Namun sekarang, dia harus menghadapi kenyataan pahit tinggal berdua dengan ayahnya, bertiga dengan Mbak Siti yang pendiam.

Pikiran Rangga selalu dipenuhi dengan ambisinya menjadi seorang arsitek. Rangga sudah menunjukkan bakat menggambar dan berhitung yang hebat sejak masih TK. Kekagumannya akan bangunan megah dan indah semakin mendorongnya untuk kuliah di jurusan arsitektur. Tapi dia harus rela melepas semua impiannya demi meneruskan bisnis konveksi ayahnya yang berkembang pesat.

“Awaaaaas…!!!” Rangga berteriak kaget menyadari seorang anak perempuan kecil menyeberang di depannya. Untung dia berhasil mengerem motornya tepat waktu. Rangga terlalu sibuk melamunkan pertengkarannya dengan sang papa dan tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya.

Anak kecil itu juga memekik kaget. Rangga pun segera turun dari motor dan menghampiri gadis mungil itu untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tampaknya gadis itu adalah salah satu dari ribuan anak terlantar di Jakarta.

Rangga cukup terkejut setelah melihat anak itu dari dekat. Anak itu kira-kira berusia 5 tahun. Mungkin dia memang anak jalanan, namun wajahnya cantik dan damai seperti malaikat. Sorot matanya teduh namun bersinar-sinar penuh semangat. Rambut panjangnya memang memerah terbakar sinar matahari, tapi bersih. Pipinya merona merah dan senyumnya sangat lembut. Dia juga tidak kucel seperti anak yang tidak pernah mandi. Pakaiannya bersih dan badannya juga tidak kurus. Anak itu sungguh sangat lucu.

Rangga berjongkok untuk berbicara dengan anak itu. Sambil memegang kepalanya, Rangga pun bertanya dengan nada khawatir,”Adek, kamu gak papa?”

Anak itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tampaknya dia paham benar bahwa Rangga adalah orang baik yang tidak akan menyakitinya.

“Nama kamu siapa?” tanya Rangga lagi.

“Amel. Kakak siapa?” suara Amel yang ceria terdengar merdu di telinga Rangga dan begitu menenangkan hatinya.

“Kenalin, nama Kakak Rangga,” jawab Rangga sambil mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri. “Maafin kakak ya, tadi hampir nabrak kamu. Rumah kamu dimana? Kok pagi-pagi udah lari-larian di sini?”

“Amel gak punya rumah, Kak Rangga. Amel suka pindah-pindah tidurnya.

Jadi benar dugaan Rangga, Amel adalah salah satu dari banyak anak jalanan yang tersebar di seantero kota. Refleks, Rangga melihat sekeliling. Tampak satu gerobak bubur di pinggir jalan itu.

“Amel sudah makan?” tanya Rangga sambil tersenyum.

“Belum Kak.

“Sarapan bubur mau?”

Amel mengangguk dan berkata,”Tapi Kakak juga ikut makan.” Seolah Amel sudah tahu bahwa Rangga telah makan sedikit nasi dan telur pagi itu. Rangga pun mengiyakan. Lagipula, dia memang masih merasa lapar. Pertengkaran dengan ayahnya telah membuatnya kehilangan selera makan dan tidak menghabiskan menu andalan Mbak Siti. Dia bahkan memutuskan untuk membolos kuliah karena jelas-jelas dia sudah terlambat.

Rangga dan Amel duduk berjejer di kursi panjang sederhana, di samping gerobak bapak tukang bubur. Dalam beberapa menit saja, pesanan bubur mereka sudah datang. Amel memakan buburnya dengan bersemangat. Rangga mengamatinya sambil tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

“Kalau udah gede Amel mau jadi apa?” tanya Rangga membuka kembali percakapan mereka.

“Kalo udah gede, Amel pengin buat baju yang buanyaaak…banget!” jawab Amel menggemaskan sambil tetap mengunyah makanannya.

“Hahaha… Kenapa pengin buat baju?” tanya Rangga yang sedikit surprised juga dengan jawaban Amel. Rata-rata anak kecil kalau ditanyai soal cita-cita akan menjawab dokter, guru, penyanyi, dan jawaban standar lainnya.

“Soalnya Amel bajunya cuma satu kak. Temen-temen Amel juga. Jadi kalau Amel bisa buat baju sendiri, Amel bisa kasih ke temen-temen Amel. Gratis!!” jawab Amel, memamerkan gigi-gigi kecilnya pada Rangga.

Rangga terdiam sebentar, teringat pada ayahnya. Rangga adalah anak seorang pengusaha konveksi yang cukup terkenal. Sering berganti baju mahal dan branded merupakan hal biasa baginya. Sementara Amel harus memakai satu-satunya baju yang dia punya setiap hari. Menurut Rangga ini sungguh sangat ironis. Langsung terbersit dalam pikirannya untuk mengambil beberapa baju anak-anak produksi perusahaannya dan memberikannya pada Amel. 

“Kak Rangga kok diem? Kakak udah kenyang?” tanya Amel sambil mengayun-ayunkan kakinya yang belum bisa menjejak tanah dari tempat dimana dia duduk.

Rangga terhenyak, kemudian tersenyum setelah berhasil mencerna pertanyaan Amel. “Oh, gak Mel. Belum. Kakak masih lapeer…” sahut Rangga sambil meringis dan mengelus-elus perutnya sendiri, kemudian menyuapkan sisa bubur ke mulutnya dengan lahap.

***

Setelah pertemuan pertamanya dengan Amel, Rangga menjadi sedikit ceria, merasa hidup kembali, meskipun belum merasa utuh. Tiap beberapa hari sekali, Rangga menemui Amel. Makan bubur bersama di tempat yang biasa. Rangga suka akan kepolosan gadis kecil itu. Melihat muka malaikatnya selalu dapat mengingatkannya bahwa dunia ini tak melulu kejam. Namun, keadaan berubah 180 derajat ketika Rangga kembali ke rumah. Dia harus menghadapi suasana horor itu. Kembali menopang gelombang kehampaan yang sama. Rangga tak lagi memedulikan amarah ayahnya. Dia bersikeras untuk tetap menggambar dan mewujudkan cita-citanya meskipun itu berarti dia harus rela didiamkan ayahnya sepanjang waktu. Dia bahkan sempat berpikir bahwa suatu hari kelak ayahnya tidak akan sudi lagi menganggapnya anak.

Selasa siang yang panas. Rangga duduk di teras belakang. Suara bariton vokalis Avenged Sevenfold yang begitu dikaguminya mengalun dari smartphone dalam saku Rangga, mengalir tenang melalui headset yang bertengger di kepalanya. So far away. Lagu emosional ini selalu mengingatkan Rangga pada almarhumah ibunya. Akh, andaikan mama masih di sini… Pikir Rangga sambil menggoreskan pensil pada selembar kertas seukuran A3.

Ayah Rangga berjalan pelan mendekatinya dari ruang dalam. Ayahnya pun berdeham. Rangga menggumam kecil, menirukan suara Matt Shadows yang nyaring di telinganya. Ayahnya berdeham sekali lagi.

How do I live without the ones I love…” Rangga bersenandung semakin keras. Akhirnya ayah Rangga memutuskan untuk memanggilnya.

“Rangga…”

Rangga tak menoleh. Dia tak mendengar suara ayahnya sama sekali. Ayah Rangga hendak memanggilnya sekali lagi, namun tampaknya hal itu begitu berat baginya. Usahanya terhenti. Ayah Rangga memandangi sebentar sosok Rangga dari belakang, kemudian berbalik pergi.

Rangga merasa seseorang berdiri di belakangnya dan ia pun menoleh. Namun dia tak melihat siapa-siapa. Rangga hanya mengedikkan sedikit bahunya dan kembali mengguratkan pensilnya.

***

Rangga kembali bertemu dengan Amel. Kali ini Rangga membawakan Amel sebungkus eskrim dan mengajaknya untuk menghabiskan eskrim itu di taman. Dari tempat itu, Rangga bisa melihat dengan jelas bangunan hotel termewah di Jakarta. Dia hendak menggambar hotel itu dan berencana untuk merevisi desainnya menjadi sesuatu yang baru. Amel sangat senang menemani Rangga menggambar. Dia kagum akan keindahan sketsa-sketsa Rangga.

“Kak Rangga kok gambarnya bisa bagus banget? Pasti papa kak Rangga yang ngajarin,”Amel berujar sambil menjilat eskrimnya dengan ekspresi khas anak kecil yang kegirangan.

“Ah, Amel sok tau. Papa kak Rangga malah gak suka gambar. Gambar kakak suka dijadiin bantal sama dia,” sahut Rangga, mencoba bercanda meskipun hatinya tersayat.

“Wah, kasihan gambarnya dong, kak. Pasti rusak,” Amel kecil menimpali lagi sambil mengamati muka Rangga yang sedang serius menggambar.

Rangga hanya menjawab dengan senyuman. Beberapa detik kemudian Amel melontarkan pertanyaan yang tidak diduga-duga Rangga sebelumnya.

“Kak Rangga benci ya sama papa kakak?”

“Kok Amel nanyanya gitu?” tanya Rangga dengan kening berkerut, berpikir darimana Amel mendapatkan inspirasi untuk menanyakan hal semacam itu.

“Kan papanya kakak make gambar-gambar itu buat bantal. Padahal gambarnya bagus-bagus. Harusnya kan dipajang kak. Ditempel-tempel di dinding,” jawab Amel dengan ekspresi polos.

Rangga diam. Berpikir lama. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Dia sendiri tak mengerti apakah dia membenci ayahnya atau tidak. Ayahnya yang telah mencoba untuk mengubur impiannya. Ayahnya yang selalu ditakutinya karena selalu keras dan disiplin. Ayahnya yang memberi kebebasan lebih pada kakaknya, Rio, namun tidak padanya. Ayahnya yang selalu menganggapnya anak kecil. Ayahnya yang terbiasa meninggalkan keluarga berhari-hari karena urusan bisnis. Ayahnya yang telah membuat ibunya tertekan dan depresi. Namun tetap saja, sosok itu adalah ayahnya.

“Gak, Mel. Kakak gak benci sama papa. Beliau sudah membesarkan kakak sampe segede monster gini, masa’ kakak benci,” sahut Rangga akhirnya.

“Hihihi… bagus kak,” balas Amel sambil menepuk-nepuk lengan Rangga layaknya orang dewasa. Rangga geli juga dengan reaksi Amel, namun dia hanya tertawa.

“Kita emang gak boleh benci sama papa mama kita, kak. Nanti dosa. Amel malah pengin peluk papa Amel kalau ketemu, tapi gak bisa,” kata Amel sambil menunduk sedih dan menggenggam sedikit eskrim yang masih tersisa.

“Kenapa gak bisa, Mel?” tanya Rangga spontan.

“Papa Amel udah di surga,” jawab Amel singkat. Kemudian dia mendongak dan menatap Rangga yang trenyuh. Rangga bisa merasakan kesedihan gadis itu. Dan seolah, kesedihan itu adalah juga miliknya. “Tapi gakpapa. Amel seneng ketemu kakak. Kak Rangga baik, kayak papa Amel,” lanjut Amel sambil kembali memamerkan giginya yang kecil-kecil. Namun Rangga melihat sebutir kristal bening menggantung di sudut mata gadis itu.

Rangga tersenyum dan mengelus kepala Amel dengan lembut. Tiba-tiba dia sangat merindukan ayahnya.

***

Sudah tiga jam yang lalu sejak Mbak Siti menelepon Rangga untuk mengabari bahwa ayahnya mendadak pingsan ketika sedang membaca koran. Kini sang ayah tergolek lemah di atas seprei putih rumah sakit. Rangga duduk di kursi, di samping ayahnya dan memandang wajah sang ayah yang tampak pucat dan seperti menanggung duka mendalam. Baru kali ini Rangga menyadarinya. Di balik ekspresi kaku dan keras ayahnya tersimpan sepercik kepedihan yang menggantung.

“Rangga…” ayah Rangga tersadar dan memanggilnya dengan lirih.

“Iya pa. Aku di sini,” sahut Rangga segera, menghapus air mata yang sempat mengalir.

“Rangga, maafkan papamu, nak,” kata ayah Rangga dengan mantap meskipun dengan suara yang tidak terlalu jelas terdengar karena menahan sakit di jantungnya.

“Gak pa, Rangga yang minta maaf..

“Dengar dulu, papa belum selesai. Papa akui kalau papa egois. Kamu sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan sendiri jalan hidupmu. Tugas papa untuk mensupport setiap keputusanmu. Lanjutkanlah keinginanmu, nak.”

“Pa…

“Tapi satu yang papa minta. Selesaikan kuliahmu. Papa tidak akan melarangmu lagi untuk belajar hal lain. Mungkin suatu saat kamu bisa membuatkan papa sebuah istana,” pungkas ayah Rangga dengan sebuah senyuman sambil sedikit meringis kesakitan.

Sontak Rangga memeluk ayahnya. Sambil mengucapkan kata terimakasih dan maaf yang tak berkesudahan.

***

Rangga tak pernah berhasil lagi menemukan Amel setelah ayahnya pulang dari rumah sakit. Padahal dia ingin sekali berterimakasih pada gadis itu. Bahkan dia bermaksud untuk mengangkat Amel sebagai adik. Namun Amel memang tak pernah ada. Tidak penting sebenarnya apakah gadis itu ada atau tidak. Pesannya sudah tersampaikan.