Hi, Welcome to my blog, enjoy reading.
RSS

Wednesday 27 March 2013

A Story about Coffee

   
     Dia bernama Kopi. Tidak  seperti makna implisit di balik namanya, dia coklat (tidak legam seperti kopi hitam) layaknya kopi dicampur creamer, dan pahit. Hidupnya. Pahit hidupnya. Namun seperti kecantikan, pahit itupun relatif. Seorang anak pecinta susu sapi mungkin akan menganggap kopi itu pahit. Tapi bagi seorang paruh baya pecandu kopi mungkin pahitnya kopi itu adalah surga. Jadi kehidupan Kopi memang pahit, jika digeneralisasikan.
     Kopi ingin mengubah hidupnya. Dia tidak bosan dengan kehidupan yang dijalaninya, hanya saja dia ingin merubah beberapa hal. Well, semua hal berubah. Kopi selalu mengulang-ulang kalimat itu dalam kepalanya. Kali pertama dia bertemu dengan seseorang bernama Gula dan meyakini bahwa Gula akan mengubah hidupnya menjadi lebih sempurna. Dan Gula pun mencari hal yang sama. Perbedaan. Bukankah itu yang dikatakan orang-orang? Perbedaan itu hal terbaik untuk bisa saling melengkapi. Lagipula, seperti kopi dengan gula, paduan yang pas; minuman favorit jutaan orang di muka bumi.
     "Kita sangat berbeda, iya kan Gul?" tanya Kopi suatu malam. "Aku suka membaca buku, kamu sukanya main game. Aku suka ikan, kamu suka ayam. Aku suka Agnes Monica, kamu suka Syahrini. Kamu capek tidak sih Gul dengan semua perbedaan ini?" Kopi melanjutkan sambil memandangi muka Gula yang serius menekan-nekan layar ponselnya dengan halus.
     Gula terdiam beberapa saat. Mungkin merenungkan perkatan Kopi, mungkin juga sedang update status Facebook. Sejurus kemudian Gula mengalihkan mukanya dari layar ponsel dan menjawab pertanyaan Kopi dengan ekspresi datar.
     "Tidak. Aku tidak pernah merasa capek. Lagipula memang ini yang kucari selama ini. Perbedaan. Pas sekali bukan kita bertemu? Harus ada orang yang bisa mendekati dan mengendalikanku. Ibaratnya minyak dan air Pi, mau sekeras apapun usahamu, mereka tidak akan pernah bisa menyatu. Lalu bagaimana kita mengharapkan mereka akan saling mengendalikan?" 
     Kalimat yang sepanjang kereta api itu keluar dari mulut Gula, namun tetap saja datar tanpa ekspresi. Ya, berbeda sekali denganku. Aku berapi-api, penuh semangat. Sampai hal seperti ini pun berbeda. Kopi tak pernah dengan sengaja memperhatikan perbedaan antara dirinya dengan Gula. Namun semakin lama, semua itu semakin jelas walau dengan mata terpejam. 
     Hingga akhirnya Gula dan Kopi sadar bahwa mereka terlalu memaksakan diri. Tidak bisa menjadi takaran yang pas seperti kopi eksklusif di cafe yang mahal. Terkadang Gula terlalu berlebihan, dan Kopi juga tidak bersikap lebih baik. Perbedaan yang terlalu mencolok.
     Kopi menganggap itu semua sebagai pengalaman yang mengajarinya beberapa hal. Oh well, dan dia tidak terlalu ngoyo lagi dalam melakukan perubahan. Toh, Kopi bisa berjalan sendiri. Ya, seperti kopi yang bisa disajikan tanpa campuran gula, susu, creamer, atau apapun. Tapi siapalah Kopi itu. Dia hanya makhluk yang menumpang tinggal di bumi ini, yang tidak bisa merancang kehidupannya sendiri. Kopi telah menyerah dengan Gula. Namun dia bertemu Coklat. 
     Coklat, makanan berwarna coklat yang bittersweet dan mood booster, adalah makanan favorit Kopi. Dia pun tak pernah menolak choco drink. Dan betapa senangnya Kopi mengetahui bahwa Coklat mempunyai banyak kemiripan dengannya. Ini bukan lagi tentang membuat perubahan. Hanya saja menyenangkan sekali bukan menemukan orang yang mirip sekali dengan kita (bukan dari segi fisik tentu saja)?
     Kopi selalu merasa bersemangat karena Coklat juga sama antusiasnya dengannya. Kopi selalu merasa didukung karena Coklat punya pola pikir yang hampir sama dengannya. Sebagai contoh saja ketika Coklat menjawab salah satu pertanyaan tes psikologi iseng di internet yang berbunyi "Kamu berdiri di depan pintu yang terbuka. Di sebelah kirimu ada satu pintu terkunci. Kamu melihat kunci emas kecil di ujung sepatu kananmu. Apa yang akan kamu lakukan? A) mengambil kunci itu, B) masuk melalui pintu di depanmu, C) terdiam sejenak, dan memutuskan untuk membalikkan badanmu". Dengan cepat Coklat memilih jawaban A, dengan alasan dia menyukai tantangan. Tepat sekali, seperti pilihanku. Kata Kopi dalam hati ketika itu. 
     "Kita memang seperti kopi dan coklat, Cok. Dua jenis minuman yang disukai banyak orang, sama-sama bisa dicampur gula atau susu. Punya pengaruh yang sama untuk menaikkan mood seseorang," kata Kopi dengan penuh semangat menyala-nyala di siang yang membakar seperti api ditiup angin.
     Tapi semakin lama waktu berjalan, Kopi menyadari satu hal. Hanya dirinya yang menyadari kemiripannya dengan Coklat. Karena Coklat bahkan tak pernah mempunyai gagasan mengenai hal itu. Atau mungkin Coklat tidak perduli satu halpun mengenai Kopi. Kopi tidak tahu. Unidentified. Dan akhirnya Kopi pun tidak mau tahu.
      Timbangan. Satu-satunya hal yang paling masuk akal bagi Kopi. Jika dia melirik kembali semua yang sudah dilewatinya, melihat simbol horoskop Libra itu di salah satu sudut sebuah majalah adalah satu-satunya hal yang membantunya untuk mencerna segalanya.

- Begin with An End -

No comments:

Post a Comment

Sweet... Sweet... Sweet...

Taste the sweetness of life

Wednesday 27 March 2013

A Story about Coffee

   
     Dia bernama Kopi. Tidak  seperti makna implisit di balik namanya, dia coklat (tidak legam seperti kopi hitam) layaknya kopi dicampur creamer, dan pahit. Hidupnya. Pahit hidupnya. Namun seperti kecantikan, pahit itupun relatif. Seorang anak pecinta susu sapi mungkin akan menganggap kopi itu pahit. Tapi bagi seorang paruh baya pecandu kopi mungkin pahitnya kopi itu adalah surga. Jadi kehidupan Kopi memang pahit, jika digeneralisasikan.
     Kopi ingin mengubah hidupnya. Dia tidak bosan dengan kehidupan yang dijalaninya, hanya saja dia ingin merubah beberapa hal. Well, semua hal berubah. Kopi selalu mengulang-ulang kalimat itu dalam kepalanya. Kali pertama dia bertemu dengan seseorang bernama Gula dan meyakini bahwa Gula akan mengubah hidupnya menjadi lebih sempurna. Dan Gula pun mencari hal yang sama. Perbedaan. Bukankah itu yang dikatakan orang-orang? Perbedaan itu hal terbaik untuk bisa saling melengkapi. Lagipula, seperti kopi dengan gula, paduan yang pas; minuman favorit jutaan orang di muka bumi.
     "Kita sangat berbeda, iya kan Gul?" tanya Kopi suatu malam. "Aku suka membaca buku, kamu sukanya main game. Aku suka ikan, kamu suka ayam. Aku suka Agnes Monica, kamu suka Syahrini. Kamu capek tidak sih Gul dengan semua perbedaan ini?" Kopi melanjutkan sambil memandangi muka Gula yang serius menekan-nekan layar ponselnya dengan halus.
     Gula terdiam beberapa saat. Mungkin merenungkan perkatan Kopi, mungkin juga sedang update status Facebook. Sejurus kemudian Gula mengalihkan mukanya dari layar ponsel dan menjawab pertanyaan Kopi dengan ekspresi datar.
     "Tidak. Aku tidak pernah merasa capek. Lagipula memang ini yang kucari selama ini. Perbedaan. Pas sekali bukan kita bertemu? Harus ada orang yang bisa mendekati dan mengendalikanku. Ibaratnya minyak dan air Pi, mau sekeras apapun usahamu, mereka tidak akan pernah bisa menyatu. Lalu bagaimana kita mengharapkan mereka akan saling mengendalikan?" 
     Kalimat yang sepanjang kereta api itu keluar dari mulut Gula, namun tetap saja datar tanpa ekspresi. Ya, berbeda sekali denganku. Aku berapi-api, penuh semangat. Sampai hal seperti ini pun berbeda. Kopi tak pernah dengan sengaja memperhatikan perbedaan antara dirinya dengan Gula. Namun semakin lama, semua itu semakin jelas walau dengan mata terpejam. 
     Hingga akhirnya Gula dan Kopi sadar bahwa mereka terlalu memaksakan diri. Tidak bisa menjadi takaran yang pas seperti kopi eksklusif di cafe yang mahal. Terkadang Gula terlalu berlebihan, dan Kopi juga tidak bersikap lebih baik. Perbedaan yang terlalu mencolok.
     Kopi menganggap itu semua sebagai pengalaman yang mengajarinya beberapa hal. Oh well, dan dia tidak terlalu ngoyo lagi dalam melakukan perubahan. Toh, Kopi bisa berjalan sendiri. Ya, seperti kopi yang bisa disajikan tanpa campuran gula, susu, creamer, atau apapun. Tapi siapalah Kopi itu. Dia hanya makhluk yang menumpang tinggal di bumi ini, yang tidak bisa merancang kehidupannya sendiri. Kopi telah menyerah dengan Gula. Namun dia bertemu Coklat. 
     Coklat, makanan berwarna coklat yang bittersweet dan mood booster, adalah makanan favorit Kopi. Dia pun tak pernah menolak choco drink. Dan betapa senangnya Kopi mengetahui bahwa Coklat mempunyai banyak kemiripan dengannya. Ini bukan lagi tentang membuat perubahan. Hanya saja menyenangkan sekali bukan menemukan orang yang mirip sekali dengan kita (bukan dari segi fisik tentu saja)?
     Kopi selalu merasa bersemangat karena Coklat juga sama antusiasnya dengannya. Kopi selalu merasa didukung karena Coklat punya pola pikir yang hampir sama dengannya. Sebagai contoh saja ketika Coklat menjawab salah satu pertanyaan tes psikologi iseng di internet yang berbunyi "Kamu berdiri di depan pintu yang terbuka. Di sebelah kirimu ada satu pintu terkunci. Kamu melihat kunci emas kecil di ujung sepatu kananmu. Apa yang akan kamu lakukan? A) mengambil kunci itu, B) masuk melalui pintu di depanmu, C) terdiam sejenak, dan memutuskan untuk membalikkan badanmu". Dengan cepat Coklat memilih jawaban A, dengan alasan dia menyukai tantangan. Tepat sekali, seperti pilihanku. Kata Kopi dalam hati ketika itu. 
     "Kita memang seperti kopi dan coklat, Cok. Dua jenis minuman yang disukai banyak orang, sama-sama bisa dicampur gula atau susu. Punya pengaruh yang sama untuk menaikkan mood seseorang," kata Kopi dengan penuh semangat menyala-nyala di siang yang membakar seperti api ditiup angin.
     Tapi semakin lama waktu berjalan, Kopi menyadari satu hal. Hanya dirinya yang menyadari kemiripannya dengan Coklat. Karena Coklat bahkan tak pernah mempunyai gagasan mengenai hal itu. Atau mungkin Coklat tidak perduli satu halpun mengenai Kopi. Kopi tidak tahu. Unidentified. Dan akhirnya Kopi pun tidak mau tahu.
      Timbangan. Satu-satunya hal yang paling masuk akal bagi Kopi. Jika dia melirik kembali semua yang sudah dilewatinya, melihat simbol horoskop Libra itu di salah satu sudut sebuah majalah adalah satu-satunya hal yang membantunya untuk mencerna segalanya.

- Begin with An End -

No comments:

Post a Comment