Hi, Welcome to my blog, enjoy reading.
RSS

Tuesday 14 August 2012

Tanya



Bagiku cinta hanya sekali seumur hidup. Mungkin orang menganggapku kuno, konservatif, atau naïf. Aku tak peduli. Akulah yang berjalan dengan kakiku, bernapas dengan paru-paruku, berpikir dengan otakku, dan merasakan banyak hal dengan hatiku. Aku heran, kenapa orang suka sekali menggosipkan orang lain. Terutama wanita suka menggosipkan wanita lain. Yah, usiaku memang sudah tidak muda lagi, menjelang 3o tahun. Tapi sekali lagi, apa pedulimu, sih? Apakah kalau nanti aku menikah, kamu yang akan membuatkan suamiku segelas kopi di pagi hari? Apakah ketika suamiku bangun tidur, kamu yang akan mengecup keningnya? Apakah saat suamiku tertimpa masalah besar, dia akan pergi padamu untuk berkeluh kesah dan mencari tempat bernaung? Tidak. Hanya aku. Aku yang bertanggungjawab dengan hidupku sendiri, kecuali kamu adalah bayanganku yang selalu ikut kemanapun aku pergi. Akh, tidak. Bayanganku pun tidak berhak mengatur hidupku.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun bahwa sampai detik ini aku belum punya kekasih. Sebenarnya aku bingung dengan akar kata ini. Kalau kekasih itu berarti “yang terkasih” maka dia bisa siapa saja, yang penting dia aku kasihi. Tapi kamu pasti tahu yang aku maksud. Aku memang belum mau. Alasannya mungkin memang tidak sederhana, dan tidak hanya satu. Yang terpenting tetap prinsipku, punya pacar sekali langsung menikah untuk seumur hidup. Aku tidak suka bermain. Alasan yang kedua lebih tidak sederhana lagi. Aku takut. Takut realita yang tragis akan menimpaku suatu hari kelak jika aku sudah berumahtangga. Aku takut jika ternyata suamiku adalah orang yang keras dan tidak bertanggungjawab seperti bapakku dulu. Hingga akhirnya yang diterima ibuku selama tahun-tahun pernikahannya dengan bapakku adalah sampah. Aku juga takut pada diriku sendiri. Takut tidak bisa menjadi istri yang baik, melayani dan merawat dengan penuh kasih. Itu semua selalu membuatku bimbang untuk punya pacar, bahkan bimbang untuk jatuh cinta.
Tapi jika aku tak menikah, aku juga takut. Bagaimanapun aku butuh sosok yang menyayangiku dengan sepenuh hati dan bersedia merawatku hingga aku mati. Aku tidak peduli dengan perkataan tetanggaku, tetapi aku punya dua adik perempuan. Mereka juga sudah dewasa, yang bungsu pun sebenarnya sudah pantas untuk menikah. Aku tahu kedua adikku tidak mempermasalahkan status lajangku. Mereka juga tumbuh sebagai perempuan modern yang tidak takut menjadi perawan tua. Karena menikah bukanlah tujuan utama hidup di dunia. Meski begitu aku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika aku tak segera memikirkan tentang pernikahan. Aku sudah bekerja. Meskipun gajiku tidak besar, tetapi tetap tidak akan menjadi halangan untuk menikah. Aku perempuan. Suamiku akan menafkahiku. Walaupun ibuku selalu mewanti-wanti aku dan kedua adikku untuk menjadi pribadi yang mandiri, yang bisa menghidupi diri sendiri. Sehingga kelak kalau menikah pun, kami tidak akan bergantung pada suami. Ibuku memang luar biasa. Kehidupan yang keras telah membentuknya menjadi sosok yang tahan banting dan penuh tekad. Ibuku luar biasa, maka aku tak menyalahkannya.
Adikku yang bungsu bernama Hasti. Dia tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik. Mungkin itulah yang menyebabkan dia bisa dekat dengan beberapa pria. Aku tidak yakin apakah mereka semua pernah menjadi pacarnya, namun setidaknya Hasti sering mengalami yang dinamakan jatuh cinta. Lebaran tahun lalu kami berkumpul di rumah seperti biasa. Adikku yang kedua juga sudah bekerja di kota yang sama denganku. Sehingga hari raya besar seperti ini selalu kami tunggu-tunggu, karena hanya pada hari libur lah kami bisa pulang kampung. Seperti biasa pula kesempatan seperti ini kami manfaatkan untuk saling berbagi cerita. Dan sampailah pada topik si bungsu.
Lia, adikku yang kedua bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya ke layar televisi dengan tangan kiri memegang stoples camilan dan tangan kanan sibuk menyusurkan camilan ke mulutnya, “Eh has, pacar lo siapa sekarang?”
Hasti senyum-senyum saja, aku tak tahan untuk menimpali omongan Lia. “Iya nih. Pasti udah ganti lagi!”   
“Hahaha… Mau tau aja sih? Ada emang, kakak tingkat gue. Tapi kita nggak pacaran, serius. Deket doang.” Hasti sibuk mengamati kuku-kukunya yang sebenarnya tampak baik-baik saja. Aku tahu dia malu. Akh, teenage romance.
“Elonya aja kan yang ngarep? Hahaha….” Lia menggoda Hasti tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar televisi. Aku pun ikut tertawa.
           Aku tidak bisa menahan diri untuk mencoba mencari tahu, atau lebih tepatnya memancing respons Hasti. Apakah responsnya akan seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia tahu aku masih belum punya pacar saat itu. Dan sekarang pun belum.
“Elo mau nikah dulu juga gapapa lho, Has. Gue masih lama nih soalnya.” Aku berkata padanya seolah itu hanyalah candaan tak bermakna, padahal aku cukup cemas menunggu apa yang akan dia pakai sebagai jawaban.
“Yaelah. Kaga lah. Gue mah masih kecil, masih jauh nikah-nikahan. Tetep elo duluan lah. Makanya cari pacar sono. Hahaha…”
Aku tahu Hasti tidak bohong. Dia juga tidak ingin buru-buru menikah. Tak bisa kupungkiri hal itu cukup melegakan aku. Setidaknya aku tidak membuat perasaan adikku gundah. Aku sangat menyayangi keluargaku. Kami hidup dalam suasana penuh kasih. Kami berempat, tanpa Bapak. Karena beliau sudah tiada ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah keluargaku terpuruk atau malah justru membaik setelah kepergian Bapak. Tapi bagaimanapun aku sangat mencintai Bapak. Dia Bapakku. Suami ibuku. Dia yang turut andil atas lahirnya aku. Aku tak tahu apakah orang lain bisa memahami ikatan antar anggota keluarga kami. Ya, rumah tangga Bapak Ibuku carut marut. Tetapi kami saling menyayangi. Amat sangat sayang.
***
Siang ini tidak banyak pekerjaan di kantor. Aku bekerja sebagai admin salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Temanku tidak terlalu banyak. Namun di antara koloni kecil itu, salah satunya sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Namanya Mega. Dia sangat peduli padaku. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku tapi dia sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua bocah yang lucu-lucu, mungkin itulah sebabnya dia juga sangat concern dengan kehidupan asmaraku.
Jam makan siang tiba. Aku dan Mega memutuskan untuk makan di kantin kantor. Biasanya kami pergi keluar karena bosan dengan makanan kantin yang itu-itu saja. Tetapi siang ini sangat panas dan kami sedang tak mau mengambil risiko membuat kulit semakin gosong. Baru beberapa detik kami duduk, Mega sudah membuka percakapan dengan kata-kata yang cukup mengagetkanku.
“Tih, temen gue ada yang mau kenalan sama lo. Namanya Ryan. Dia temen SMA gue dan sekarang kerja jadi staff marketing di Sudirman. Gimana?” Dia kemudian mencomot sepotong brownies dan menelannya dengan lahap.
“Hah? Kok bisa tahu gue? Gimana ceritanya?” aku sungguh-sungguh kaget. Mega tak pernah sekalipun membicarakan tentang temannya padaku. Bagaimana pula si Ryan ini bisa berinisiatif untuk mengajak aku berkenalan??
“Lewat Facebook. Kapan itu pas gue buka Facebook, ga sengaja dia lihat akun lo. Terus nanya-nanya tentang lo terus. Kayaknya sih dia tertarik banget sama lo. Dia lagi nyari calon istri tuh, kasihan udah sering ditolak cewek. Padahal sih menurut gue dia ganteng, baik hati aja pake banget, udah gitu penurut pula. Mungkin juga terlalu penurut sih, jadinya cewek-ceweknya malah pada ninggalin. Mau kaga lo?”
Aduh, gawat. Aku jadi bingung. Aku belum begitu kepengin mencari calon pendamping hidup, tapi setelah kupikir tidak ada salahnya untuk dicoba. Toh kalau gak cocok ya tidak usah dijalani. Aku tidak mau terlalu berurusan dengan galau menggalau, seperti anak muda jaman sekarang. Sudah bukan saatnya lagi.
“Mmm… Gimana ya Ga? Gue liat facebooknya dulu deh. Boleh gak?” Akhirnya kuputuskan untuk melihat akun Facebook pria itu terlebih dahulu. Bukannya aku mementingkan fisik. Tapi siapa tahu dengan melihat wajahnya terlebih dulu, aku jadi lebih siap untuk bertemu di dunia nyata. Mega mengangguk dan mulai memencet tombol-tombol di hape Androidnya. Beberapa menit kemudian dia mengangsurkan hapenya padaku. Kuambil hape itu dan melihat akun facebook dengan foto profil seorang pria yang lumayan ganteng.
“Gimana, ganteng kan? Pasti lah, sobat gue!” Mega menggoda jail sambil mengedip-ngedipkan matanya padaku.
“Lumayan sih…”
“Yah, masak lumayan doang. Ganteng itu. Sama Mas Gege aja gantengan dia.”
Tampaknya Mega hanya mencoba merayuku. Mas Gege adalah suaminya. Dan setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan mengakui kalau dia itu charming. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menerima ajakan si Ryan ini, yang setelah pertemuan itu akan kupanggil Mas Ryan.
“Ok deh. Kapan dia mau ketemu gue?” tanyaku sambil mengembalikan hape Mega. Dalam hati aku tidak terlalu mengharapkan rencana ini terjadi. Mega menepuk pundakku dengan kegirangan.
“Nah, gitu dong. Gampang, ntar gue atur deh. Ayo sekarang kita pesen main course-nya. Gado-gado dua ya, buk!”
***
Setelah sebulan jalan bersama, akhirnya aku dan Mas Ryan memutuskan untuk serius. Dia telah berulang kali mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Aku tersanjung jujur saja, tapi aku belum siap. Terkadang aku merasa terlalu cuek padanya. Padahal benar kata Mega, dia orang yang sangat baik. Dia tidak pernah berbicara kasar dan selalu sopan padaku. Aku heran kenapa dia bisa menyukaiku. Satu hal yang membuatku sangat nyaman bersamanya adalah kesabarannya. Pernah suatu kali dia mengajakku untuk berkenalan dengan salah satu tantenya. Itu artinya bertamu dan mengobrol dengan tantenya. Tentu saja aku belum siap. Semua ide tentang menjalin silaturahmi dengan calon keluarga baru malah membuatku pusing dan mual. Mas Ryan sedikit memaksa ketika itu, yang akhirnya kusadari mungkin karena dia ingin menunjukkan keseriusannya denganku. Aku jadi sebal karenanya, dan kata putus sempat keluar dari mulutku. Menyesal aku pernah mengatakannya.
“Ratih, dia tanteku yang paling dekat denganku. Dia baik banget kok, kamu pasti nyambung ngobrol sama dia. Ayolah, ini juga cuma makan malam biasa. Dia gak akan menginterogasimu.” Kala itu Mas Ryan mengatakannya dengan menggenggam tanganku. Aku merasa sedikit kasihan, tetapi tetap saja aku tidak siap.
“Tapi kamu tahu aku belum siap, Mas. Kita baru jalan sebulan lebih sedikit. Kenapa harus buru-buru sih? Waktu kita masih banyak.”
“Tapi Tih, aku gak pernah minta apa-apa dari kamu. Sekali ini saja aku mohon. Tanteku sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku tumbuh besar dengannya. Mengertilah sedikit, Tih.”
Apa?? Mengertilah sedikit?? Memangnya dia sudah mencoba mengerti aku? Seharusnya Mas Ryan memahami perasaanku. Aku butuh persiapan. Dia tidak perlu takut. Kalau aku sudah memutuskan untuk memilihnya, Insya Yesus dia akan bersamaku selamanya. Dan waktu masih sangat panjang. Kenapa harus terburu-buru?
“Mengertilah sedikit katamu, Mas? Jadi kamu mau bilang kalau aku tidak pengertian? Hal-hal kayak gini nih yang bikin aku gak pernah mau serius. Ribet!” Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dan menekankan kata terakhir, supaya Mas Ryan tahu kalau aku stress dibuatnya.
“Astaga, bukan gitu, Tih! Kamu sering banget kayak gini. Aku…”
Belum selesai omongan Mas Ryan, aku sudah memotongnya. Aku tak pernah mau ribut. Pertengkaran selalu mengingatkanku pada Ibu dan Bapakku, yang membuat semacam trauma dalam diriku.
“Aku apa? Mau putus? Ya udah. Aku gapapa kok.” Kataku saat itu sambil memunggungi Mas Ryan. Aku tidak suka dia harus melihatku saat sedang marah.
“Ya ampun, Tih. Aku belum selesai ngomong. Aku tu cuma bingung apa salahku. Aku gak pengin putus dari kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku bener-bener pengin kamu jadi yang terakhir dalam hidupku.”
Aku terdiam. Selama ini aku sangat susah jatuh cinta. Pada awalnya pun aku tidak memiliki perasaan apa-apa pada Mas Ryan. Tapi kesabaran dan keteguhan hatinya telah meluluhkan aku. Aku mulai menyayangi pria ini. Jauh di lubuk hatiku, aku juga tidak ingin kehilangan dia. Setelah mengatur nafasku, aku membalikkan punggungku. Mas Ryan sedang memandangku. Tatapannya lurus menatap kedua mataku, seolah dia sedang mencari-cari jawaban. Dan ini yang paling kubenci. Tatapan mata itu mengandung permohonan maaf. Dia tidak pernah punya salah apapun. Aku benci mengakui bahwa akulah yang egois.
Kami berdua tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia memelukku, dan aku membalas pelukannya. Dalam hati aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan pria yang begitu baik ini padaku. Tuhan, aku mencintai pria ini. Tolong maafkan aku telah melukai perasaannya. Aku sayang padanya Tuhan. Sangat sayang.
***
Bulan demi bulan pun berlalu. Setelah hubunganku dengan Mas Ryan berjalan 10 bulan, kami memutuskan untuk menikah. Aku sudah bertemu dengan kedua orangtuanya, begitupun sebaliknya. Jadi hubungan kami direstui. Kedua adikku pun mendukung keputusanku. Kadang aku berpikir bahwa ide ini sungguh gila. Setelah sekian lama akhirnya aku akan menikah! Aku bahagia dan aku merasa tenang memiliki calon suami seperti Mas Ryan. Dia benar-benar jauh dari sosok pria monster yang selama ini selalu membuatku takut untuk berhubungan serius. Dia bahkan mau merawatku ketika aku sakit, yang berarti bahwa dia harus bolak balik ke rumah, tempat kerja, dan kosku. Dia benar-benar seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
Kami telah merencanakan pernikahan kami. Seperti apa konsepnya, berapa tamu yang akan diundang, dan kira-kira berapa dana yang kami butuhkan. Namun kami belum merencanakan tanggal. Target kami adalah tahun depan, mungkin setelah tahun baru. Harapannya adalah tahun baru, lembaran baru. Hari ini hari Minggu. Aku duduk saja di kosku karena aku dan Mas Ryan sudah ke gereja kemarin sore. Katanya Mas Ryan mau pergi menemui teman lamanya pagi ini. Aku tidak mau ikut, karena takut merusak suasana reuni itu nantinya. Aku sedang melihat berbagai model gaun pengantin di salah satu majalah fashion, ketika hapeku tiba-tiba berdering. Terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di ujung telepon.
“Halo, ini Ratih kan?”
“Iya. Ini siapa ya?” tanyaku dengan sopan.
“Gue Fabi, Tih. Lo harus cepet ke RS Kasih. Ryan kecelakaan.”
Kepalaku serasa dihantam palu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Ketika aku berhasil mencerna semuanya, napasku memburu. Mataku memandang nanar ke dinding. Mas Ryan kecelakaan. Tidak mungkin…
“Hallo, Tih? Tih? Kamu gak papa kan? Tih…” kembali kudengar suara Fabian. Aku tersadar dan menjawab dengan suara parau. Air bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Kepalaku pening dan aku merasa sangat lemas.
“Terus gimana keadaannya Bi?”
“Pokoknya lo kesini dulu. Naik taksi aja Tih, biar cepet. Gue tunggu ya.”
***
Dua bulan setelah itu aku mengunjungi Mas Ryan. Aku kangen sekali padanya. Aku ingin menemuinya dan menumpahkan segala perasaanku. Rangkaian mawar di genggaman tanganku kuletakkan di atas gundukan tanah makam. Mas Ryan telah pergi, membawa semua cinta yang aku punya. Membawa semua harapan yang kini kosong, hampa. Kupikir Mas Ryan lah orang terakhir yang akan menemaniku hingga tua nanti. Dan memang aku berharap bahwa dialah orangnya. I wish he were the one. Aku menangis, menjerit dalam hati. Berulang kali bertanya pada Tuhan, kenapa semua ini terjadi padaku dan Mas Ryan. Ada bermilyar orang di muka bumi ini, kenapa semua ini harus menimpaku dan Mas Ryan. Kepergian Mas Ryan menimbulkan begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Menguarkan aroma kenangan manis, namun kemudian memberi rasa sesak yang entah kapan akan sirna.
***
Hapeku bergetar. Kulihat di layar ada satu pesan masuk. Fabian. Aku hampir lupa aku punya janji menemaninya makan malam. Aku harap malam ini aku tidak membuatnya kesal karena harus mendengarku terisak-isak mengenang Mas Ryan. Biarlah semua tanya ini mendapatkan jawabannya seiring waktu. Hidup harus terus berjalan.

- The End -


2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Wow, I've just read your comment. How could I be this very late?! Yeah, you didn't. Well, actually that's what crossed my mind. That's really my point of view. :D

    ReplyDelete

Sweet... Sweet... Sweet...

Taste the sweetness of life

Tuesday 14 August 2012

Tanya



Bagiku cinta hanya sekali seumur hidup. Mungkin orang menganggapku kuno, konservatif, atau naïf. Aku tak peduli. Akulah yang berjalan dengan kakiku, bernapas dengan paru-paruku, berpikir dengan otakku, dan merasakan banyak hal dengan hatiku. Aku heran, kenapa orang suka sekali menggosipkan orang lain. Terutama wanita suka menggosipkan wanita lain. Yah, usiaku memang sudah tidak muda lagi, menjelang 3o tahun. Tapi sekali lagi, apa pedulimu, sih? Apakah kalau nanti aku menikah, kamu yang akan membuatkan suamiku segelas kopi di pagi hari? Apakah ketika suamiku bangun tidur, kamu yang akan mengecup keningnya? Apakah saat suamiku tertimpa masalah besar, dia akan pergi padamu untuk berkeluh kesah dan mencari tempat bernaung? Tidak. Hanya aku. Aku yang bertanggungjawab dengan hidupku sendiri, kecuali kamu adalah bayanganku yang selalu ikut kemanapun aku pergi. Akh, tidak. Bayanganku pun tidak berhak mengatur hidupku.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun bahwa sampai detik ini aku belum punya kekasih. Sebenarnya aku bingung dengan akar kata ini. Kalau kekasih itu berarti “yang terkasih” maka dia bisa siapa saja, yang penting dia aku kasihi. Tapi kamu pasti tahu yang aku maksud. Aku memang belum mau. Alasannya mungkin memang tidak sederhana, dan tidak hanya satu. Yang terpenting tetap prinsipku, punya pacar sekali langsung menikah untuk seumur hidup. Aku tidak suka bermain. Alasan yang kedua lebih tidak sederhana lagi. Aku takut. Takut realita yang tragis akan menimpaku suatu hari kelak jika aku sudah berumahtangga. Aku takut jika ternyata suamiku adalah orang yang keras dan tidak bertanggungjawab seperti bapakku dulu. Hingga akhirnya yang diterima ibuku selama tahun-tahun pernikahannya dengan bapakku adalah sampah. Aku juga takut pada diriku sendiri. Takut tidak bisa menjadi istri yang baik, melayani dan merawat dengan penuh kasih. Itu semua selalu membuatku bimbang untuk punya pacar, bahkan bimbang untuk jatuh cinta.
Tapi jika aku tak menikah, aku juga takut. Bagaimanapun aku butuh sosok yang menyayangiku dengan sepenuh hati dan bersedia merawatku hingga aku mati. Aku tidak peduli dengan perkataan tetanggaku, tetapi aku punya dua adik perempuan. Mereka juga sudah dewasa, yang bungsu pun sebenarnya sudah pantas untuk menikah. Aku tahu kedua adikku tidak mempermasalahkan status lajangku. Mereka juga tumbuh sebagai perempuan modern yang tidak takut menjadi perawan tua. Karena menikah bukanlah tujuan utama hidup di dunia. Meski begitu aku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika aku tak segera memikirkan tentang pernikahan. Aku sudah bekerja. Meskipun gajiku tidak besar, tetapi tetap tidak akan menjadi halangan untuk menikah. Aku perempuan. Suamiku akan menafkahiku. Walaupun ibuku selalu mewanti-wanti aku dan kedua adikku untuk menjadi pribadi yang mandiri, yang bisa menghidupi diri sendiri. Sehingga kelak kalau menikah pun, kami tidak akan bergantung pada suami. Ibuku memang luar biasa. Kehidupan yang keras telah membentuknya menjadi sosok yang tahan banting dan penuh tekad. Ibuku luar biasa, maka aku tak menyalahkannya.
Adikku yang bungsu bernama Hasti. Dia tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik. Mungkin itulah yang menyebabkan dia bisa dekat dengan beberapa pria. Aku tidak yakin apakah mereka semua pernah menjadi pacarnya, namun setidaknya Hasti sering mengalami yang dinamakan jatuh cinta. Lebaran tahun lalu kami berkumpul di rumah seperti biasa. Adikku yang kedua juga sudah bekerja di kota yang sama denganku. Sehingga hari raya besar seperti ini selalu kami tunggu-tunggu, karena hanya pada hari libur lah kami bisa pulang kampung. Seperti biasa pula kesempatan seperti ini kami manfaatkan untuk saling berbagi cerita. Dan sampailah pada topik si bungsu.
Lia, adikku yang kedua bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya ke layar televisi dengan tangan kiri memegang stoples camilan dan tangan kanan sibuk menyusurkan camilan ke mulutnya, “Eh has, pacar lo siapa sekarang?”
Hasti senyum-senyum saja, aku tak tahan untuk menimpali omongan Lia. “Iya nih. Pasti udah ganti lagi!”   
“Hahaha… Mau tau aja sih? Ada emang, kakak tingkat gue. Tapi kita nggak pacaran, serius. Deket doang.” Hasti sibuk mengamati kuku-kukunya yang sebenarnya tampak baik-baik saja. Aku tahu dia malu. Akh, teenage romance.
“Elonya aja kan yang ngarep? Hahaha….” Lia menggoda Hasti tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar televisi. Aku pun ikut tertawa.
           Aku tidak bisa menahan diri untuk mencoba mencari tahu, atau lebih tepatnya memancing respons Hasti. Apakah responsnya akan seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia tahu aku masih belum punya pacar saat itu. Dan sekarang pun belum.
“Elo mau nikah dulu juga gapapa lho, Has. Gue masih lama nih soalnya.” Aku berkata padanya seolah itu hanyalah candaan tak bermakna, padahal aku cukup cemas menunggu apa yang akan dia pakai sebagai jawaban.
“Yaelah. Kaga lah. Gue mah masih kecil, masih jauh nikah-nikahan. Tetep elo duluan lah. Makanya cari pacar sono. Hahaha…”
Aku tahu Hasti tidak bohong. Dia juga tidak ingin buru-buru menikah. Tak bisa kupungkiri hal itu cukup melegakan aku. Setidaknya aku tidak membuat perasaan adikku gundah. Aku sangat menyayangi keluargaku. Kami hidup dalam suasana penuh kasih. Kami berempat, tanpa Bapak. Karena beliau sudah tiada ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah keluargaku terpuruk atau malah justru membaik setelah kepergian Bapak. Tapi bagaimanapun aku sangat mencintai Bapak. Dia Bapakku. Suami ibuku. Dia yang turut andil atas lahirnya aku. Aku tak tahu apakah orang lain bisa memahami ikatan antar anggota keluarga kami. Ya, rumah tangga Bapak Ibuku carut marut. Tetapi kami saling menyayangi. Amat sangat sayang.
***
Siang ini tidak banyak pekerjaan di kantor. Aku bekerja sebagai admin salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Temanku tidak terlalu banyak. Namun di antara koloni kecil itu, salah satunya sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Namanya Mega. Dia sangat peduli padaku. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku tapi dia sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua bocah yang lucu-lucu, mungkin itulah sebabnya dia juga sangat concern dengan kehidupan asmaraku.
Jam makan siang tiba. Aku dan Mega memutuskan untuk makan di kantin kantor. Biasanya kami pergi keluar karena bosan dengan makanan kantin yang itu-itu saja. Tetapi siang ini sangat panas dan kami sedang tak mau mengambil risiko membuat kulit semakin gosong. Baru beberapa detik kami duduk, Mega sudah membuka percakapan dengan kata-kata yang cukup mengagetkanku.
“Tih, temen gue ada yang mau kenalan sama lo. Namanya Ryan. Dia temen SMA gue dan sekarang kerja jadi staff marketing di Sudirman. Gimana?” Dia kemudian mencomot sepotong brownies dan menelannya dengan lahap.
“Hah? Kok bisa tahu gue? Gimana ceritanya?” aku sungguh-sungguh kaget. Mega tak pernah sekalipun membicarakan tentang temannya padaku. Bagaimana pula si Ryan ini bisa berinisiatif untuk mengajak aku berkenalan??
“Lewat Facebook. Kapan itu pas gue buka Facebook, ga sengaja dia lihat akun lo. Terus nanya-nanya tentang lo terus. Kayaknya sih dia tertarik banget sama lo. Dia lagi nyari calon istri tuh, kasihan udah sering ditolak cewek. Padahal sih menurut gue dia ganteng, baik hati aja pake banget, udah gitu penurut pula. Mungkin juga terlalu penurut sih, jadinya cewek-ceweknya malah pada ninggalin. Mau kaga lo?”
Aduh, gawat. Aku jadi bingung. Aku belum begitu kepengin mencari calon pendamping hidup, tapi setelah kupikir tidak ada salahnya untuk dicoba. Toh kalau gak cocok ya tidak usah dijalani. Aku tidak mau terlalu berurusan dengan galau menggalau, seperti anak muda jaman sekarang. Sudah bukan saatnya lagi.
“Mmm… Gimana ya Ga? Gue liat facebooknya dulu deh. Boleh gak?” Akhirnya kuputuskan untuk melihat akun Facebook pria itu terlebih dahulu. Bukannya aku mementingkan fisik. Tapi siapa tahu dengan melihat wajahnya terlebih dulu, aku jadi lebih siap untuk bertemu di dunia nyata. Mega mengangguk dan mulai memencet tombol-tombol di hape Androidnya. Beberapa menit kemudian dia mengangsurkan hapenya padaku. Kuambil hape itu dan melihat akun facebook dengan foto profil seorang pria yang lumayan ganteng.
“Gimana, ganteng kan? Pasti lah, sobat gue!” Mega menggoda jail sambil mengedip-ngedipkan matanya padaku.
“Lumayan sih…”
“Yah, masak lumayan doang. Ganteng itu. Sama Mas Gege aja gantengan dia.”
Tampaknya Mega hanya mencoba merayuku. Mas Gege adalah suaminya. Dan setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan mengakui kalau dia itu charming. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menerima ajakan si Ryan ini, yang setelah pertemuan itu akan kupanggil Mas Ryan.
“Ok deh. Kapan dia mau ketemu gue?” tanyaku sambil mengembalikan hape Mega. Dalam hati aku tidak terlalu mengharapkan rencana ini terjadi. Mega menepuk pundakku dengan kegirangan.
“Nah, gitu dong. Gampang, ntar gue atur deh. Ayo sekarang kita pesen main course-nya. Gado-gado dua ya, buk!”
***
Setelah sebulan jalan bersama, akhirnya aku dan Mas Ryan memutuskan untuk serius. Dia telah berulang kali mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Aku tersanjung jujur saja, tapi aku belum siap. Terkadang aku merasa terlalu cuek padanya. Padahal benar kata Mega, dia orang yang sangat baik. Dia tidak pernah berbicara kasar dan selalu sopan padaku. Aku heran kenapa dia bisa menyukaiku. Satu hal yang membuatku sangat nyaman bersamanya adalah kesabarannya. Pernah suatu kali dia mengajakku untuk berkenalan dengan salah satu tantenya. Itu artinya bertamu dan mengobrol dengan tantenya. Tentu saja aku belum siap. Semua ide tentang menjalin silaturahmi dengan calon keluarga baru malah membuatku pusing dan mual. Mas Ryan sedikit memaksa ketika itu, yang akhirnya kusadari mungkin karena dia ingin menunjukkan keseriusannya denganku. Aku jadi sebal karenanya, dan kata putus sempat keluar dari mulutku. Menyesal aku pernah mengatakannya.
“Ratih, dia tanteku yang paling dekat denganku. Dia baik banget kok, kamu pasti nyambung ngobrol sama dia. Ayolah, ini juga cuma makan malam biasa. Dia gak akan menginterogasimu.” Kala itu Mas Ryan mengatakannya dengan menggenggam tanganku. Aku merasa sedikit kasihan, tetapi tetap saja aku tidak siap.
“Tapi kamu tahu aku belum siap, Mas. Kita baru jalan sebulan lebih sedikit. Kenapa harus buru-buru sih? Waktu kita masih banyak.”
“Tapi Tih, aku gak pernah minta apa-apa dari kamu. Sekali ini saja aku mohon. Tanteku sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku tumbuh besar dengannya. Mengertilah sedikit, Tih.”
Apa?? Mengertilah sedikit?? Memangnya dia sudah mencoba mengerti aku? Seharusnya Mas Ryan memahami perasaanku. Aku butuh persiapan. Dia tidak perlu takut. Kalau aku sudah memutuskan untuk memilihnya, Insya Yesus dia akan bersamaku selamanya. Dan waktu masih sangat panjang. Kenapa harus terburu-buru?
“Mengertilah sedikit katamu, Mas? Jadi kamu mau bilang kalau aku tidak pengertian? Hal-hal kayak gini nih yang bikin aku gak pernah mau serius. Ribet!” Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dan menekankan kata terakhir, supaya Mas Ryan tahu kalau aku stress dibuatnya.
“Astaga, bukan gitu, Tih! Kamu sering banget kayak gini. Aku…”
Belum selesai omongan Mas Ryan, aku sudah memotongnya. Aku tak pernah mau ribut. Pertengkaran selalu mengingatkanku pada Ibu dan Bapakku, yang membuat semacam trauma dalam diriku.
“Aku apa? Mau putus? Ya udah. Aku gapapa kok.” Kataku saat itu sambil memunggungi Mas Ryan. Aku tidak suka dia harus melihatku saat sedang marah.
“Ya ampun, Tih. Aku belum selesai ngomong. Aku tu cuma bingung apa salahku. Aku gak pengin putus dari kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku bener-bener pengin kamu jadi yang terakhir dalam hidupku.”
Aku terdiam. Selama ini aku sangat susah jatuh cinta. Pada awalnya pun aku tidak memiliki perasaan apa-apa pada Mas Ryan. Tapi kesabaran dan keteguhan hatinya telah meluluhkan aku. Aku mulai menyayangi pria ini. Jauh di lubuk hatiku, aku juga tidak ingin kehilangan dia. Setelah mengatur nafasku, aku membalikkan punggungku. Mas Ryan sedang memandangku. Tatapannya lurus menatap kedua mataku, seolah dia sedang mencari-cari jawaban. Dan ini yang paling kubenci. Tatapan mata itu mengandung permohonan maaf. Dia tidak pernah punya salah apapun. Aku benci mengakui bahwa akulah yang egois.
Kami berdua tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia memelukku, dan aku membalas pelukannya. Dalam hati aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan pria yang begitu baik ini padaku. Tuhan, aku mencintai pria ini. Tolong maafkan aku telah melukai perasaannya. Aku sayang padanya Tuhan. Sangat sayang.
***
Bulan demi bulan pun berlalu. Setelah hubunganku dengan Mas Ryan berjalan 10 bulan, kami memutuskan untuk menikah. Aku sudah bertemu dengan kedua orangtuanya, begitupun sebaliknya. Jadi hubungan kami direstui. Kedua adikku pun mendukung keputusanku. Kadang aku berpikir bahwa ide ini sungguh gila. Setelah sekian lama akhirnya aku akan menikah! Aku bahagia dan aku merasa tenang memiliki calon suami seperti Mas Ryan. Dia benar-benar jauh dari sosok pria monster yang selama ini selalu membuatku takut untuk berhubungan serius. Dia bahkan mau merawatku ketika aku sakit, yang berarti bahwa dia harus bolak balik ke rumah, tempat kerja, dan kosku. Dia benar-benar seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
Kami telah merencanakan pernikahan kami. Seperti apa konsepnya, berapa tamu yang akan diundang, dan kira-kira berapa dana yang kami butuhkan. Namun kami belum merencanakan tanggal. Target kami adalah tahun depan, mungkin setelah tahun baru. Harapannya adalah tahun baru, lembaran baru. Hari ini hari Minggu. Aku duduk saja di kosku karena aku dan Mas Ryan sudah ke gereja kemarin sore. Katanya Mas Ryan mau pergi menemui teman lamanya pagi ini. Aku tidak mau ikut, karena takut merusak suasana reuni itu nantinya. Aku sedang melihat berbagai model gaun pengantin di salah satu majalah fashion, ketika hapeku tiba-tiba berdering. Terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di ujung telepon.
“Halo, ini Ratih kan?”
“Iya. Ini siapa ya?” tanyaku dengan sopan.
“Gue Fabi, Tih. Lo harus cepet ke RS Kasih. Ryan kecelakaan.”
Kepalaku serasa dihantam palu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Ketika aku berhasil mencerna semuanya, napasku memburu. Mataku memandang nanar ke dinding. Mas Ryan kecelakaan. Tidak mungkin…
“Hallo, Tih? Tih? Kamu gak papa kan? Tih…” kembali kudengar suara Fabian. Aku tersadar dan menjawab dengan suara parau. Air bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Kepalaku pening dan aku merasa sangat lemas.
“Terus gimana keadaannya Bi?”
“Pokoknya lo kesini dulu. Naik taksi aja Tih, biar cepet. Gue tunggu ya.”
***
Dua bulan setelah itu aku mengunjungi Mas Ryan. Aku kangen sekali padanya. Aku ingin menemuinya dan menumpahkan segala perasaanku. Rangkaian mawar di genggaman tanganku kuletakkan di atas gundukan tanah makam. Mas Ryan telah pergi, membawa semua cinta yang aku punya. Membawa semua harapan yang kini kosong, hampa. Kupikir Mas Ryan lah orang terakhir yang akan menemaniku hingga tua nanti. Dan memang aku berharap bahwa dialah orangnya. I wish he were the one. Aku menangis, menjerit dalam hati. Berulang kali bertanya pada Tuhan, kenapa semua ini terjadi padaku dan Mas Ryan. Ada bermilyar orang di muka bumi ini, kenapa semua ini harus menimpaku dan Mas Ryan. Kepergian Mas Ryan menimbulkan begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Menguarkan aroma kenangan manis, namun kemudian memberi rasa sesak yang entah kapan akan sirna.
***
Hapeku bergetar. Kulihat di layar ada satu pesan masuk. Fabian. Aku hampir lupa aku punya janji menemaninya makan malam. Aku harap malam ini aku tidak membuatnya kesal karena harus mendengarku terisak-isak mengenang Mas Ryan. Biarlah semua tanya ini mendapatkan jawabannya seiring waktu. Hidup harus terus berjalan.

- The End -


2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Wow, I've just read your comment. How could I be this very late?! Yeah, you didn't. Well, actually that's what crossed my mind. That's really my point of view. :D

    ReplyDelete