Hi, Welcome to my blog, enjoy reading.
RSS

Friday 31 August 2012

Dayu


Namanya Dayu. Gadis ayu yang duduk tepat di bawah jendela itu sedang menunduk dan mencatat sesuatu. Dia benar-benar manis dilihat dari sisi manapun. Mata bulat besar, hidung sedikit mancung, dan rambut hitam sebahu, ditambah dengan senyumnya yang sangat-sangat.. akh, sulit sekali mendeskripsikannya. Senyumnya mampu membuat aku tersetrum, ikut senyum-senyum sendiri, hingga tiba-tiba aku tersadar oleh ribut-ribut yang memanggil namaku.

                “Felix!”

                “Felix!!”

                “Felix!!!”

Setelah sadar kulihat sekeliling. Aduh, semua mata tertuju padaku, bahkan mata Dayu dan Miss Agnes. Aku langsung khawatir karena Miss Agnes menatapku dengan tajam. Sepertinya dia telah memanggilku dari tadi, saat aku menatap Dayu. Arrrggghhh….Malunya aku!! Apa Miss Agnes tahu kalau aku tadi sedang memandangi gadis itu?

                Felix, who were you thinking about?” tanya Miss Agnes sambil sedikit tersenyum. Aku lega karena Miss Agnes tidak marah, namun aku juga sedikit berdebar karena pertanyaan itu. Apa dia benar-benar tahu kalau aku tadi memandangi Dayu?

                “Hmm… mmm… No body, Miss. I just thought about something else. I’m having a problem with my thesis. I’m sorry, Miss,” jawabku memberi alasan sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Padahal aku belum menyentuh skripsiku sama sekali. Sial! Aku sadar sepenuhnya kalau alasanku tidak bermutu. Tapi aku rasa Miss Agnes tidak akan marah. Kulihat dia tipe orang yang sangat ramah, murah senyum, dan suka bercanda. Sepertinya usianya pun tidak berbeda jauh denganku yang sekarang sudah semester 8.

                Oh really? But I’m sure that you didn’t have any problem at all. You kept smiling while staring at Dayu,” balas Miss Agnes dengan senyum lebar. Gubraaakk…!!! Feeling-ku benar ternyata, Miss Agnes tahu dan dia terang-terangan menggodaku di depan semua teman-teman baruku. Sontak mereka semua tertawa dan ikut menggodaiku. Kata-kata favorit  pun keluar dari mulut-mulut gatal itu.

                “Ciee… Felix…”

                “Ehm.. Ehm.. Ada yang naksir nih…”

                “Haseeekk…”

Mataku spontan melirik ke arah Dayu untuk melihat reaksinya. Dia hanya tersenyum-senyum sambil sesekali mengklarifikasi dan sesekali menunduk. Apakah mataku menipuku? Sepertinya pipinya memerah. Atau dia kebanyakan pakai blush-on? Kuenyahkan semua pikiran tolol itu. Beberapa orang sudah terdiam, ketika Dayu berkata cukup keras pada orang di sebelahnya, kalau  tidak salah namanya Mella. Suaranya cukup keras untuk sampai di telinga Miss Agnes.

                Hey, what are you talking about? I don’t even know him, you know,” kata Dayu sambil sedikit menggoyang-goyangkan tangannya. Aduh,, bahkan goyangan tangannya pun terlihat indah sekali…

                No need to be shy, Dayu. I’m really glad that I find a romance in our first meeting. This is happy news, right?” kata Miss Agnes santai sambil berdiri bersandar di meja guru. Ternyata Miss Agnes memang “amazing”. Masih dibahas???

                No, Miss. Why are you gossiping?” Dayu membantah perkataan Miss Agnes dan mukanya kembali memerah.

                “Hahaha… Just kidding! You know class, there were once two students who fell in love until I found that they finally had a relationship and they usually didn’t focus on my explanation,” sambung Miss Agnes.

                Then, what did you do to them, Miss?” tanya cewek yang aku yakin bernama Mella itu. Sepertinya dia cewek yang banyak omong, dan terlalu ingin tahu menurutku.

                Then I kicked them out!” kata Miss Agnes pula. Hah? Murid pacaran terus diusir dari kelas? Gila, aku calon korban berikutnya nih sama Dayu (ngarep.com).

                “Whoaaa…!” beberapa murid menunjukkan kekagetannya.

                “Hahaha… Just kidding, guys! Again,” Miss Agnes tampak tertawa puas karena berhasil mengerjai beberapa dari kami. Oh my God, ada ya guru kayak gini? Aku jadi khawatir tidak bisa lulus level intermediate ini. Targetku kan aku lulus satu periode ini saja dan tidak perlu mengulang lagi. Hmm.. Menurut perhitunganku sih, aku sebenarnya sudah lumayan bisa berkomunikasi pakai Bahasa Inggris. Tapi kebijakan kampus mewajibkanku untuk mendapatkan sertifikat intermediate sebagai syarat ujian pendadaran. Ada-ada aja peraturan kampus jaman sekarang. Apa yang akan terjadi sama anak-anak yang kompetensi Bahasa Inggrisnya kurang? Yang mengerti Bahasa Inggris seperti aku mengerti Bahasa Jerman? Gila, mereka pasti harus ikut les terus dari level paling bawah sampai level intermediate ini. Itu pun kalau lancar. Misalkan mereka harus mengulang tiap level, mungkin baru tiga tahun mereka dapat sertifikat intermediate. Sampai di-DO kalau begitu ceritanya. Ck.. ck.. ck…

                OK, back to our lesson. Do you still remember what tense we use to talk about future plans or conditions?” Miss Agnes pun kembali ke pokok persoalan. Belajar. Dan dia baru saja menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah kuhafal di luar kepala. Aku pun spontan menjawab pertanyaan itu.

                Simple future tense, Miss. We can use the word “will” or “be going to”,” jawabku yakin.

                Exactly. Thank you, Felix. So, will you invite Dayu to a dinner this evening?”

                Arrrrrrrrrrgggggggggghhhhhhhhh…………………………..

***

                Sisa waktuku hari ini kuhabiskan untuk memikirkan Dayu. Tadi sore sepulang les aku berhasil mengajaknya ngobrol. Dia anak yang asik. Kejadian di kelas, soal aku yang tak bisa menahan diri melamunkannya, tidak membuatnya ill-feel padaku. Aku tak menyangka akan bertemu dengan calon soulmate-ku di tempat les yang baru. Dayu benar-benar telah menawan hatiku hanya dalam hitungan detik. Sayang aku tidak berani meminta nomor hapenya tadi. Tapi gadis secantik Dayu pasti sudah ada yang punya. Hah, nasib.

***

                Semakin hari aku semakin terhipnotis oleh Dayu. Dia telah menjadi semangatku untuk selalu berangkat les. Sebenarnya aku punya tiga kali kesempatan untuk membolos. Dengan memanfaatkan kesempatan itu, setidaknya aku masih tetap bisa dapat sertifikat. Tapi aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Dayu dan aku juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk duduk bersebelahan dengannya. Karena saat Miss Agnes tidak memperhatikan, aku bisa mengajak ngobrol Dayu mengenai hal-hal di luar kursus. Misalnya asalnya dari mana dan hobinya apa. Seperti yang terjadi sore tadi.

                Ok class. Please open the next page and do exercise 3,” perintah Miss Agnes pada kami semua di kelas.

                Ok, Miss,” terdengar beberapa suara menjawab. Beberapa yang lain langsung saja mengerjakan tanpa mengeluarkan suara sehalus apapun. Dahsyat!!

                Aku memperhatikan kalau Miss Agnes selalu mempunyai kebiasaan berkeliling kelas saat kami sedang mengerjakan latihan. Well, mungkin itu bukan kebiasaan, tapi strategi mengajar. Aku memang tidak terlalu tahu-menahu tentang trik mengajar yang jitu karena aku tidak kuliah di fakultas pendidikan. Tetapi menurutku memang perlu untuk mengecek pekerjaan muridmu jika kamu sendiri menjadi seorang guru. Sehingga ketika muridmu mengajukan pertanyaan, kamu bisa langsung menjawab pertanyaan itu dengan lebih jelas dan personal. Selain itu, kamu juga menguntungkan muridmu yang ingin pedekate seperti aku ini.

                Ketika itu aku sudah selesai mengerjakan soal-soal yang ditugaskan Miss Agnes. Dayu yang duduk di sebelahku pun kulihat sudah memain-mainkan pulpennya, sambil memelototi hasil pekerjaannya. Menurutku Dayu cukup pintar juga. Dia selalu berhasil mengerjakan exercise dalam waktu singkat, seperti juga aku, di saat yang lain masih mengetuk-ngetukkan pulpen mereka di pelipis, atau menggigit-gigit pulpen itu karena tidak tahu harus menjawab apa. Maka kusambar kesempatan emas itu untuk mengajak ngobrol Dayu.

                “Day, kamu udah selese ya?” tanyaku pada Dayu yang kemudian memalingkan wajahnya yang ayu untuk menjawab pertanyaanku. Oh God, jantungku berdetak keras.

                “Iya. Udah kucek juga berulang-ulang, kayaknya udah bener sih. Tapi gak terlalu yakin juga. Kamu juga udah?” Dayu balas bertanya padaku.

                “Iya nih. Ah, pasti udah bener semua deh jawabanmu. Hehehe… Ohya, jadi kamu tu aslinya dari Cilacap ya?” tanyaku setelah aku mendapat informasi beberapa hari yang lalu.

                “He’eh,” jawab Dayu singkat.

                “Deket sama nusa kambangan gak?” tanyaku lagi padanya. Selain untuk basa-basi, aku memang pensaran apakah rumahnya dekat dengan tempat yang digunakan sebagai penjara untuk napi kelas kakap itu.

                “Jauh. Aku pernah sekali kesana waktu SMA.”

                “Ohya? Nusa Kambangan tu kayak apa sih?”

Bla-bla-bla. Obrolan itupun terus berlanjut sampai Miss Agnes memutuskan untuk mengecek jawaban kami. Berbicara dengan Dayu terasa sangat nyambung dan asik. Aku semakin menyukainya. 

***

                “Kamu yakin udah bisa move on?” tanya Ichsan tanpa basa-basi. Kami sedang mengerjakan proyek kami untuk diujikan minggu depan. Proyek ini merupakan salah-satu jaminan kami bisa lulus dan menjadi engineer. Ichsan mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan memandangku dengan serius. Aku tahu dia sangat concern padaku. Aku diputusin Dana, mantanku, beberapa bulan yang lalu. Dia memutuskaan buat kuliah di Perancis, ikut papanya yang pindah tugas di sana. Dia memang baru saja masuk kuliah, jadi tak masalah baginya untuk mulai dari awal. Tapi itu masalah bagiku dan aku sudah mencoba memintanya untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Tapi dia tetap bersikukuh untuk putus dengan alasan yang klise sekali. Dia tidak bisa menjalani long distance relationship. Jadi mau tidak mau aku harus menerima keputusan Dana.

                “Yakin, bro. Dayu bener-bener udah mengalihkan duniaku,” jawabku serius tapi dengan setengah bercanda, mengutip tagline iklan.

                “Walah… Gak usah alay gitu deh. Wah, kayaknya si Dayu ini udah bener-bener bikin kamu jatuh cintrong ye. Tapi yakin gak dia belum punya cowok?” tanya Ichsan lagi.

                “Aku belum pernah tanya sih. Tapi kayaknya sih belum. Ya, aku mau pelan-pelan aja sih. Aku cuma yakin aja kalau Dayu tu cewek baik-baik , cantik banget, dan asik diajak ngobrol.”

                “Sip lah, Lix. Kalau kamu seneng, aku juga seneng. Eneg juga liat kamu melow lama-lama. Hahaha…”

                “Sialan!” kataku singkat sambil meninju lengan Ichsan.  

***

                Aku membulatkan tekad untuk mendekati Dayu. Karena dia telah membuatku galau siang dan malam. I want to make a move. Jadi aku putuskan untuk mencoba mengajak Dayu hangout malam nanti, sepulang les Bahasa Inggris. Aku tidak berharap banyak Dayu langsung mengiyakan ajakanku, tapi setidaknya aku sudah mencoba. Dan aku bukanlah tipe orang yang mudah menyerah.

                Setelah Miss Agnes mengucapkan kalimatnya yang biasa, “see you on the next meeting”, di akhir kelas, aku pun segera merapikan tasku dan mencari celah untuk berbicara berdua dengan Dayu. Akhirnya aku berhasil berjalan keluar kelas berdua dengannya. Aku tidak langsung mengutarakan niatku dan memutuskan untuk menyampaikannya saat sudah tiba di tempat parkir. Saat ini, aku belum berani. Jantungku serasa berlompatan, dan seperti ada yang bergulung-gulung di perutku. Maka aku memanfaatkan waktu ini untuk menetralisir perasaanku yang tidak karuan dan mengumpulkan keberanian.

                Ketika sudah tiba di luar gedung, aku tetap belum berani menyampaikan maksudku. Akhirnya yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan hampir standar...

                “Kamu bawa motor sendiri, Day?”

                “Gak. Hari ini aku dijemput,” jawabnya.

Aha! Aku bisa menjadikan hal itu alasan untuk mengantarnya pulang ke rumah, atau mengajaknya hangout dulu kalau dia mau. Baru saja aku ingin menawarinya untuk pulang bersama, dia berseru dengan tiba-tiba.

                “Nah, itu dia jemputanku datang.”

Aku ikut mengalihkan pandangan ke arah yang dia lihat. Tampak  Honda jazz putih berjalan pelan ke arah kami. Ketika mobil itu berhenti, keluar lah seorang cowok berbadan tinggi tegap, berkulit sawo matang, dan mengenakan setelan kasual. Alamak,,, ternyata Dayu memang sudah punya gandengan! Jantungku berdetak lebih cepat saat itu juga dan harapanku hampir pupus. Tenang Lix, mungkin dia kakaknya, kataku menenteramkan diri sendiri.

“Kenalin Lix, ini suamiku, Jo.”

Hatiku hancur seketika. Satu-satunya harapanku yang tersisa adalah semoga aku tidak pingsan dan jatuh di depan kaki mereka berdua.



-- The End --


Special thanks to:

*murid2ku yang udah kupinjam namanya, Dayu, Agnov, Mella, Ichsan, n Dana (maaf, gak ada royalty ^^)
*kelas Mid-B intensif yang udah menginspirasi cerita ini
*Miss Agnes,, tanpanya cerita ini gak akan ada ^_^


Friday 24 August 2012

Titik

Manusia rapuh yang tak punyai tujuan
Mengais-ngais asa
Mengail semangat di air keruh
Mengubur emosi di ruang terdalam
Mengesampingkan ambisi
Mengagungkan takdir
Mengabstrakkan kekonkretan

Wednesday 15 August 2012

Kepastian

Seekor semut menari
Menarikan tarian bisu tentang kebimbangan
Seekor laba-laba merajut jaring
Menuaikan pola kerumitan
Seekor jangkrik bernyanyi
Menyanyikan lagu sumbang ketidaksabaran
Indraku bersaksi
Merekam opera malam 
tanpa orkestra
Menggelitik pori-pori
Menyebar lewat nadi
Memberikan detak yang enggan berhenti
Berharaplah semut itu berpusing
dan menjauh dari matamu
Bermimpilah laba-laba itu menggulung jaringnya
dan tak meninggalkan pekat di arimu
Lalu kau bisa menutup matamu
dan berdoa jangkrik itu terbatuk
menghentikan nyanyiannya
Saat itulah orkestra itu akan meraja
menjalar ke seluruh nafas kulitmu
dan menghentikan penantian ini

Tuesday 14 August 2012

Ironi

Matahari dan air punya janji
Untuk mengandung awan mendung
Dan melahirkan rintik hujan

Matahari dan air punya mimpi
Untuk mengumpulkan rona dunia
Dan membangun pelangi

Matahari datang, air berseri dan tampaklah sinar dalam matanya
Matahari pulang, air berteriak dan menyendiri dalam gelap

Namun matahari dan air punya janji dan mimpi
Berjalan di setapak yang sama
Maka ketika sesosok manusia datang, dan berselingkuh dengan matahari
Air pun surut
Dan pergi untuk selama-lamanya


Tanya



Bagiku cinta hanya sekali seumur hidup. Mungkin orang menganggapku kuno, konservatif, atau naïf. Aku tak peduli. Akulah yang berjalan dengan kakiku, bernapas dengan paru-paruku, berpikir dengan otakku, dan merasakan banyak hal dengan hatiku. Aku heran, kenapa orang suka sekali menggosipkan orang lain. Terutama wanita suka menggosipkan wanita lain. Yah, usiaku memang sudah tidak muda lagi, menjelang 3o tahun. Tapi sekali lagi, apa pedulimu, sih? Apakah kalau nanti aku menikah, kamu yang akan membuatkan suamiku segelas kopi di pagi hari? Apakah ketika suamiku bangun tidur, kamu yang akan mengecup keningnya? Apakah saat suamiku tertimpa masalah besar, dia akan pergi padamu untuk berkeluh kesah dan mencari tempat bernaung? Tidak. Hanya aku. Aku yang bertanggungjawab dengan hidupku sendiri, kecuali kamu adalah bayanganku yang selalu ikut kemanapun aku pergi. Akh, tidak. Bayanganku pun tidak berhak mengatur hidupku.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun bahwa sampai detik ini aku belum punya kekasih. Sebenarnya aku bingung dengan akar kata ini. Kalau kekasih itu berarti “yang terkasih” maka dia bisa siapa saja, yang penting dia aku kasihi. Tapi kamu pasti tahu yang aku maksud. Aku memang belum mau. Alasannya mungkin memang tidak sederhana, dan tidak hanya satu. Yang terpenting tetap prinsipku, punya pacar sekali langsung menikah untuk seumur hidup. Aku tidak suka bermain. Alasan yang kedua lebih tidak sederhana lagi. Aku takut. Takut realita yang tragis akan menimpaku suatu hari kelak jika aku sudah berumahtangga. Aku takut jika ternyata suamiku adalah orang yang keras dan tidak bertanggungjawab seperti bapakku dulu. Hingga akhirnya yang diterima ibuku selama tahun-tahun pernikahannya dengan bapakku adalah sampah. Aku juga takut pada diriku sendiri. Takut tidak bisa menjadi istri yang baik, melayani dan merawat dengan penuh kasih. Itu semua selalu membuatku bimbang untuk punya pacar, bahkan bimbang untuk jatuh cinta.
Tapi jika aku tak menikah, aku juga takut. Bagaimanapun aku butuh sosok yang menyayangiku dengan sepenuh hati dan bersedia merawatku hingga aku mati. Aku tidak peduli dengan perkataan tetanggaku, tetapi aku punya dua adik perempuan. Mereka juga sudah dewasa, yang bungsu pun sebenarnya sudah pantas untuk menikah. Aku tahu kedua adikku tidak mempermasalahkan status lajangku. Mereka juga tumbuh sebagai perempuan modern yang tidak takut menjadi perawan tua. Karena menikah bukanlah tujuan utama hidup di dunia. Meski begitu aku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika aku tak segera memikirkan tentang pernikahan. Aku sudah bekerja. Meskipun gajiku tidak besar, tetapi tetap tidak akan menjadi halangan untuk menikah. Aku perempuan. Suamiku akan menafkahiku. Walaupun ibuku selalu mewanti-wanti aku dan kedua adikku untuk menjadi pribadi yang mandiri, yang bisa menghidupi diri sendiri. Sehingga kelak kalau menikah pun, kami tidak akan bergantung pada suami. Ibuku memang luar biasa. Kehidupan yang keras telah membentuknya menjadi sosok yang tahan banting dan penuh tekad. Ibuku luar biasa, maka aku tak menyalahkannya.
Adikku yang bungsu bernama Hasti. Dia tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik. Mungkin itulah yang menyebabkan dia bisa dekat dengan beberapa pria. Aku tidak yakin apakah mereka semua pernah menjadi pacarnya, namun setidaknya Hasti sering mengalami yang dinamakan jatuh cinta. Lebaran tahun lalu kami berkumpul di rumah seperti biasa. Adikku yang kedua juga sudah bekerja di kota yang sama denganku. Sehingga hari raya besar seperti ini selalu kami tunggu-tunggu, karena hanya pada hari libur lah kami bisa pulang kampung. Seperti biasa pula kesempatan seperti ini kami manfaatkan untuk saling berbagi cerita. Dan sampailah pada topik si bungsu.
Lia, adikku yang kedua bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya ke layar televisi dengan tangan kiri memegang stoples camilan dan tangan kanan sibuk menyusurkan camilan ke mulutnya, “Eh has, pacar lo siapa sekarang?”
Hasti senyum-senyum saja, aku tak tahan untuk menimpali omongan Lia. “Iya nih. Pasti udah ganti lagi!”   
“Hahaha… Mau tau aja sih? Ada emang, kakak tingkat gue. Tapi kita nggak pacaran, serius. Deket doang.” Hasti sibuk mengamati kuku-kukunya yang sebenarnya tampak baik-baik saja. Aku tahu dia malu. Akh, teenage romance.
“Elonya aja kan yang ngarep? Hahaha….” Lia menggoda Hasti tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar televisi. Aku pun ikut tertawa.
           Aku tidak bisa menahan diri untuk mencoba mencari tahu, atau lebih tepatnya memancing respons Hasti. Apakah responsnya akan seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia tahu aku masih belum punya pacar saat itu. Dan sekarang pun belum.
“Elo mau nikah dulu juga gapapa lho, Has. Gue masih lama nih soalnya.” Aku berkata padanya seolah itu hanyalah candaan tak bermakna, padahal aku cukup cemas menunggu apa yang akan dia pakai sebagai jawaban.
“Yaelah. Kaga lah. Gue mah masih kecil, masih jauh nikah-nikahan. Tetep elo duluan lah. Makanya cari pacar sono. Hahaha…”
Aku tahu Hasti tidak bohong. Dia juga tidak ingin buru-buru menikah. Tak bisa kupungkiri hal itu cukup melegakan aku. Setidaknya aku tidak membuat perasaan adikku gundah. Aku sangat menyayangi keluargaku. Kami hidup dalam suasana penuh kasih. Kami berempat, tanpa Bapak. Karena beliau sudah tiada ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah keluargaku terpuruk atau malah justru membaik setelah kepergian Bapak. Tapi bagaimanapun aku sangat mencintai Bapak. Dia Bapakku. Suami ibuku. Dia yang turut andil atas lahirnya aku. Aku tak tahu apakah orang lain bisa memahami ikatan antar anggota keluarga kami. Ya, rumah tangga Bapak Ibuku carut marut. Tetapi kami saling menyayangi. Amat sangat sayang.
***
Siang ini tidak banyak pekerjaan di kantor. Aku bekerja sebagai admin salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Temanku tidak terlalu banyak. Namun di antara koloni kecil itu, salah satunya sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Namanya Mega. Dia sangat peduli padaku. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku tapi dia sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua bocah yang lucu-lucu, mungkin itulah sebabnya dia juga sangat concern dengan kehidupan asmaraku.
Jam makan siang tiba. Aku dan Mega memutuskan untuk makan di kantin kantor. Biasanya kami pergi keluar karena bosan dengan makanan kantin yang itu-itu saja. Tetapi siang ini sangat panas dan kami sedang tak mau mengambil risiko membuat kulit semakin gosong. Baru beberapa detik kami duduk, Mega sudah membuka percakapan dengan kata-kata yang cukup mengagetkanku.
“Tih, temen gue ada yang mau kenalan sama lo. Namanya Ryan. Dia temen SMA gue dan sekarang kerja jadi staff marketing di Sudirman. Gimana?” Dia kemudian mencomot sepotong brownies dan menelannya dengan lahap.
“Hah? Kok bisa tahu gue? Gimana ceritanya?” aku sungguh-sungguh kaget. Mega tak pernah sekalipun membicarakan tentang temannya padaku. Bagaimana pula si Ryan ini bisa berinisiatif untuk mengajak aku berkenalan??
“Lewat Facebook. Kapan itu pas gue buka Facebook, ga sengaja dia lihat akun lo. Terus nanya-nanya tentang lo terus. Kayaknya sih dia tertarik banget sama lo. Dia lagi nyari calon istri tuh, kasihan udah sering ditolak cewek. Padahal sih menurut gue dia ganteng, baik hati aja pake banget, udah gitu penurut pula. Mungkin juga terlalu penurut sih, jadinya cewek-ceweknya malah pada ninggalin. Mau kaga lo?”
Aduh, gawat. Aku jadi bingung. Aku belum begitu kepengin mencari calon pendamping hidup, tapi setelah kupikir tidak ada salahnya untuk dicoba. Toh kalau gak cocok ya tidak usah dijalani. Aku tidak mau terlalu berurusan dengan galau menggalau, seperti anak muda jaman sekarang. Sudah bukan saatnya lagi.
“Mmm… Gimana ya Ga? Gue liat facebooknya dulu deh. Boleh gak?” Akhirnya kuputuskan untuk melihat akun Facebook pria itu terlebih dahulu. Bukannya aku mementingkan fisik. Tapi siapa tahu dengan melihat wajahnya terlebih dulu, aku jadi lebih siap untuk bertemu di dunia nyata. Mega mengangguk dan mulai memencet tombol-tombol di hape Androidnya. Beberapa menit kemudian dia mengangsurkan hapenya padaku. Kuambil hape itu dan melihat akun facebook dengan foto profil seorang pria yang lumayan ganteng.
“Gimana, ganteng kan? Pasti lah, sobat gue!” Mega menggoda jail sambil mengedip-ngedipkan matanya padaku.
“Lumayan sih…”
“Yah, masak lumayan doang. Ganteng itu. Sama Mas Gege aja gantengan dia.”
Tampaknya Mega hanya mencoba merayuku. Mas Gege adalah suaminya. Dan setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan mengakui kalau dia itu charming. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menerima ajakan si Ryan ini, yang setelah pertemuan itu akan kupanggil Mas Ryan.
“Ok deh. Kapan dia mau ketemu gue?” tanyaku sambil mengembalikan hape Mega. Dalam hati aku tidak terlalu mengharapkan rencana ini terjadi. Mega menepuk pundakku dengan kegirangan.
“Nah, gitu dong. Gampang, ntar gue atur deh. Ayo sekarang kita pesen main course-nya. Gado-gado dua ya, buk!”
***
Setelah sebulan jalan bersama, akhirnya aku dan Mas Ryan memutuskan untuk serius. Dia telah berulang kali mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Aku tersanjung jujur saja, tapi aku belum siap. Terkadang aku merasa terlalu cuek padanya. Padahal benar kata Mega, dia orang yang sangat baik. Dia tidak pernah berbicara kasar dan selalu sopan padaku. Aku heran kenapa dia bisa menyukaiku. Satu hal yang membuatku sangat nyaman bersamanya adalah kesabarannya. Pernah suatu kali dia mengajakku untuk berkenalan dengan salah satu tantenya. Itu artinya bertamu dan mengobrol dengan tantenya. Tentu saja aku belum siap. Semua ide tentang menjalin silaturahmi dengan calon keluarga baru malah membuatku pusing dan mual. Mas Ryan sedikit memaksa ketika itu, yang akhirnya kusadari mungkin karena dia ingin menunjukkan keseriusannya denganku. Aku jadi sebal karenanya, dan kata putus sempat keluar dari mulutku. Menyesal aku pernah mengatakannya.
“Ratih, dia tanteku yang paling dekat denganku. Dia baik banget kok, kamu pasti nyambung ngobrol sama dia. Ayolah, ini juga cuma makan malam biasa. Dia gak akan menginterogasimu.” Kala itu Mas Ryan mengatakannya dengan menggenggam tanganku. Aku merasa sedikit kasihan, tetapi tetap saja aku tidak siap.
“Tapi kamu tahu aku belum siap, Mas. Kita baru jalan sebulan lebih sedikit. Kenapa harus buru-buru sih? Waktu kita masih banyak.”
“Tapi Tih, aku gak pernah minta apa-apa dari kamu. Sekali ini saja aku mohon. Tanteku sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku tumbuh besar dengannya. Mengertilah sedikit, Tih.”
Apa?? Mengertilah sedikit?? Memangnya dia sudah mencoba mengerti aku? Seharusnya Mas Ryan memahami perasaanku. Aku butuh persiapan. Dia tidak perlu takut. Kalau aku sudah memutuskan untuk memilihnya, Insya Yesus dia akan bersamaku selamanya. Dan waktu masih sangat panjang. Kenapa harus terburu-buru?
“Mengertilah sedikit katamu, Mas? Jadi kamu mau bilang kalau aku tidak pengertian? Hal-hal kayak gini nih yang bikin aku gak pernah mau serius. Ribet!” Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dan menekankan kata terakhir, supaya Mas Ryan tahu kalau aku stress dibuatnya.
“Astaga, bukan gitu, Tih! Kamu sering banget kayak gini. Aku…”
Belum selesai omongan Mas Ryan, aku sudah memotongnya. Aku tak pernah mau ribut. Pertengkaran selalu mengingatkanku pada Ibu dan Bapakku, yang membuat semacam trauma dalam diriku.
“Aku apa? Mau putus? Ya udah. Aku gapapa kok.” Kataku saat itu sambil memunggungi Mas Ryan. Aku tidak suka dia harus melihatku saat sedang marah.
“Ya ampun, Tih. Aku belum selesai ngomong. Aku tu cuma bingung apa salahku. Aku gak pengin putus dari kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku bener-bener pengin kamu jadi yang terakhir dalam hidupku.”
Aku terdiam. Selama ini aku sangat susah jatuh cinta. Pada awalnya pun aku tidak memiliki perasaan apa-apa pada Mas Ryan. Tapi kesabaran dan keteguhan hatinya telah meluluhkan aku. Aku mulai menyayangi pria ini. Jauh di lubuk hatiku, aku juga tidak ingin kehilangan dia. Setelah mengatur nafasku, aku membalikkan punggungku. Mas Ryan sedang memandangku. Tatapannya lurus menatap kedua mataku, seolah dia sedang mencari-cari jawaban. Dan ini yang paling kubenci. Tatapan mata itu mengandung permohonan maaf. Dia tidak pernah punya salah apapun. Aku benci mengakui bahwa akulah yang egois.
Kami berdua tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia memelukku, dan aku membalas pelukannya. Dalam hati aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan pria yang begitu baik ini padaku. Tuhan, aku mencintai pria ini. Tolong maafkan aku telah melukai perasaannya. Aku sayang padanya Tuhan. Sangat sayang.
***
Bulan demi bulan pun berlalu. Setelah hubunganku dengan Mas Ryan berjalan 10 bulan, kami memutuskan untuk menikah. Aku sudah bertemu dengan kedua orangtuanya, begitupun sebaliknya. Jadi hubungan kami direstui. Kedua adikku pun mendukung keputusanku. Kadang aku berpikir bahwa ide ini sungguh gila. Setelah sekian lama akhirnya aku akan menikah! Aku bahagia dan aku merasa tenang memiliki calon suami seperti Mas Ryan. Dia benar-benar jauh dari sosok pria monster yang selama ini selalu membuatku takut untuk berhubungan serius. Dia bahkan mau merawatku ketika aku sakit, yang berarti bahwa dia harus bolak balik ke rumah, tempat kerja, dan kosku. Dia benar-benar seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
Kami telah merencanakan pernikahan kami. Seperti apa konsepnya, berapa tamu yang akan diundang, dan kira-kira berapa dana yang kami butuhkan. Namun kami belum merencanakan tanggal. Target kami adalah tahun depan, mungkin setelah tahun baru. Harapannya adalah tahun baru, lembaran baru. Hari ini hari Minggu. Aku duduk saja di kosku karena aku dan Mas Ryan sudah ke gereja kemarin sore. Katanya Mas Ryan mau pergi menemui teman lamanya pagi ini. Aku tidak mau ikut, karena takut merusak suasana reuni itu nantinya. Aku sedang melihat berbagai model gaun pengantin di salah satu majalah fashion, ketika hapeku tiba-tiba berdering. Terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di ujung telepon.
“Halo, ini Ratih kan?”
“Iya. Ini siapa ya?” tanyaku dengan sopan.
“Gue Fabi, Tih. Lo harus cepet ke RS Kasih. Ryan kecelakaan.”
Kepalaku serasa dihantam palu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Ketika aku berhasil mencerna semuanya, napasku memburu. Mataku memandang nanar ke dinding. Mas Ryan kecelakaan. Tidak mungkin…
“Hallo, Tih? Tih? Kamu gak papa kan? Tih…” kembali kudengar suara Fabian. Aku tersadar dan menjawab dengan suara parau. Air bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Kepalaku pening dan aku merasa sangat lemas.
“Terus gimana keadaannya Bi?”
“Pokoknya lo kesini dulu. Naik taksi aja Tih, biar cepet. Gue tunggu ya.”
***
Dua bulan setelah itu aku mengunjungi Mas Ryan. Aku kangen sekali padanya. Aku ingin menemuinya dan menumpahkan segala perasaanku. Rangkaian mawar di genggaman tanganku kuletakkan di atas gundukan tanah makam. Mas Ryan telah pergi, membawa semua cinta yang aku punya. Membawa semua harapan yang kini kosong, hampa. Kupikir Mas Ryan lah orang terakhir yang akan menemaniku hingga tua nanti. Dan memang aku berharap bahwa dialah orangnya. I wish he were the one. Aku menangis, menjerit dalam hati. Berulang kali bertanya pada Tuhan, kenapa semua ini terjadi padaku dan Mas Ryan. Ada bermilyar orang di muka bumi ini, kenapa semua ini harus menimpaku dan Mas Ryan. Kepergian Mas Ryan menimbulkan begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Menguarkan aroma kenangan manis, namun kemudian memberi rasa sesak yang entah kapan akan sirna.
***
Hapeku bergetar. Kulihat di layar ada satu pesan masuk. Fabian. Aku hampir lupa aku punya janji menemaninya makan malam. Aku harap malam ini aku tidak membuatnya kesal karena harus mendengarku terisak-isak mengenang Mas Ryan. Biarlah semua tanya ini mendapatkan jawabannya seiring waktu. Hidup harus terus berjalan.

- The End -


Saturday 11 August 2012

A Rose in the Spring

She's pretty fabulous
Wrapped in a new elegant gown
Mesmerizing face
Polished with smooth powder
Gentle eyes and blushing cheeks
Beautiful as a wicked rose in the spring

Yeah
It has thorns
Yelling "Don't take my crown!"
As eager eyes come to steal
Cunning mind is going to run with it
Clumsy fingers are going to bleed out
And she won't care
'Cause she is as wicked as a rose in the spring

Tak Terkatakan




Ini hanya mimpi. Aku melihat kedua tanganku tak percaya, mengamati kesepuluh jariku dengan garis-garis halus yang terlihat jelas dan sedikit urat nadi yang menonjol, membolak-balik kedua telapak tanganku seolah aku belum pernah melihat tanganku sebelumnya. Ini mimpi. Ya, aku pasti akan terbangun dan semua ini lenyap. Karena penasaran kucubit lenganku sendiri.
"Ouch..!!"
"Kenapa Ris, kejedut ya? Sorry deh, kamar gue emang sempit. Udah syukur bisa muat lemari sama bed. Sakit nggak?" satu suara merespons reaksiku.
Aku menelusuri arah datangnya suara itu dan menatap pemiliknya. Sesosok cowok berkulit cokelat dengan hidung mancung dan rambut cepak. Wajahnya mengingatkanku pada seorang artis Indonesia yang sedang naik daun, tapi untuk saat ini aku lupa namanya. Dia sedang duduk bersila dan menoleh ke arahku, berpaling sejenak dari komputernya yang menyala terang.
“Lo.. aku nggak mimpi kan? Bilang enggak , Lo. Ini nyata kan? Sekarang tanggal berapa? 9 Agustus kan?” cerocosku tanpa henti, dengan perasaan campur aduk mengedarkan mataku ke segala penjuru kamar Ello, mencari-cari kalender. Ya, aku ingat nama artis itu sekarang, Ello. Dan cowok di hadapanku ini memang mirip dengannya. Aku merasa tak keruan. Kaget, gembira, tak percaya. Akupun menghampiri Ello yang tadi sedang sibuk dengan script dramanya dan yang sekarang memandangku dengan ekspresi  bingung di wajahnya.
“Coba kamu rasa,” dan akupun mencubit Ello, tidak terlalu keras tapi cukup membuat dia mengaduh.
“Aaw..!! Lo gila ya? Sakit tau! Kenapa sih lo, kayak orang kesurupan aja, “ Ello berkata jengkel sambil mengelus-elus lengannya yang baru saja kucubit.
“Sakit kan? Yee… Berarti ini bukan mimpi. Ini nyata.. Ello, aku ngelihat kamu. Aku ngelihat kasurmu. Aku…..” aku tak meneruskan perkataanku. Aku merasa begitu bahagia dan berlari menuju pintu.
“Ello…!! Aku ngelihat pohon beringin kesayanganmu. Aku juga liat Si Otoy!! “ aku berteriak, tak kuasa memendam rasa gembiraku.
Ello menghampiriku dan menempelkan punggung tangannya di dahiku.
“Nggak panas. Ini berapa?” kata Ello sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Satu,” sahutku dengan riang dan geli ngeliat muka Ello yang kebingungan.
“Normal. Kayaknya lo masih kebawa mimpi deh, Ris. Mimpi apa sih lo, sampe ngigau-ngigau nggak jelas gini?” tanya Ello jail.
“Aku nggak mimpi kok. Pergi yuk!” kutarik tangan Ello dan mengajaknya keluar rumah. Kos tepatnya. Sudah dua tahun ini Ello menyewa kos di deket kampus SDJ, salah satu universitas swasta di Jogja. Satu jurusan denganku, Sastra Inggris. Dia selalu beralasan bahwa kota metropolitan tak pernah terasa nyaman untuk belajar. That’s why, dia memutuskan untuk kuliah di Jogja dan hidup mandiri. Dia selalu cerita padaku betapa dia selalu menggantungkan segala hal pada orangtuanya di Jakarta. Sampai sekarang pun dia masih sering ditelefon ayahnya, walau hanya sekedar menanyakan kabar. Dan kalau dia sedang telefon, aku selalu merasa diabaikan. “Sorry Ris, bokap gue telefon.” Setelah itu aku pasti menyibukkan diri. Aku tak pernah lupa kejadian ketika pertama kali aku kenal Ello, karena itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang akhirnya selalu ada di sampingku, saat suka maupun duka. Saat itu aku masih semester 2 dan dia semester 4. Meskipun begitu, takdir mempertemukan kami di kelas yang sama, kelas Pronunciation. Kami pun memiliki masalah yang sama. Sama-sama susah mengucapkan ‘Excuse me, Sir.’
***
Siang itu aku di kelas seperti biasa dan seperti biasa pula aku tak kuat menahan kantuk. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke toilet dan mencuci mukaku biar mataku melek. Pak Randy adalah dosen Pronunciation yang terkenal dengan predikat ‘killer’. Jadi aku tak mau ambil resiko keluar kelasnya tanpa ijin.
“Ekyusmi, Sir” kataku, jelas-jelas mengucapkan dengan salah kalimat sederhana itu. Maklum lah, lidah Jawa-ku belum terlatih mengucapkan bahasa bule. Bahkan aku melafalkan kata Sir terlalu jelas dan medok. Pak Randy tampaknya tidak mendengar perkataanku. Maka kubilang sekali lagi.
Ekyusmi, Sir. May I wash my hand?” kataku lebih keras.
“Ello!!! You’ve already been the 4th semester student. So, do you mind to tell that girl how to pronounce the words correctly??” kata Pak Randy, mengagetkan seisi kelas, tanpa mengalihkan pandangan dari buku filsafatnya yang berharga (Pronunciation tapi bawa buku filsafat??). Ello pun terlonjak kaget dan geragapan.
Which words, Sir?” Tanya Ello hati-hati. Takut membangunkan harimau tidur.
All that she said!!” jawab Pak Randy singkat.
Ello memandangku dengan penuh tanya. Dia kelihatan sangat bingung dan tidak yakin.
“Emm… emm….” Hanya itu yang keluar dari mulut Ello.
“Ello!!!!” tegur Pak Randy keras dan galak, masih menekuni buku filsafatnya yang setebal beton.
“Ok2, Sir. Mmm… Miss, you have to say ‘Ikyusmi Sir. May I…..”
You both get out and learn how to pronounce the first two words!” Pak Randy mengusirku dan Ello, kali ini dia mengarahkan pandangan pada kami dengan kacamata yang melorot sampai menjepit hidungnya. Tak banyak cingcong, kami pun berlari keluar kelas. Kantukku kontan hilang. Aku merasa geli sendiri saat Ello menyusulku keluar dengan marah-marah.
What a funny joke!” seru Ello sambil berkacak pinggang.
“Ketawa dong,” timpalku iseng. Muka cemberut Ello malah membuatku semangat untuk bercanda. Dia pun melihatku, dan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
“Ello.”
“Riska,” kataku, menyambut uluran tangannya. “Aku jarang liat kamu. Kita beda kelas ya?” tanyaku. Aku memang belum pernah melihat Ello sebelumnya, dan hari itu adalah hari pertama perkuliahan setelah libur yang cukup panjang.
“Oh, nggak,’ jawabnya sambil tersenyum dan aku lega melihatnya. Setidaknya, dia tak seserius tampangnya. Dia mirip sekali dengan Ello, tapi aku putuskan untuk tak mengutarakan ide konyolku itu, takut bikin dia ge-er. “Gue shopper, kemaren-kemaren gue belum ngambil mata kuliah ini, habis dosennya sengak kayak gitu.  Gue anak semester 4. Tadi kan ‘d killer uda bilang. “
Lo gue- lo gue. Di kota berhati nyaman ini jarang orang memanggil orang lain dengan sebutan lo atau gue. Pasti orang ibukota nih. Logatnya juga kentel banget, kayak anak-anak gaul yang di TV-TV. Pikirku saat itu.
“Oh. He-eh. Tadi nggak terlalu memperhatikan. Aku ngantuk banget soalnya, biasa, penyakit lama, hehehehe… Kamu bukan asli Jogja ya?” tanyaku tanpa basa-basi. Tanpa sadar kami berjalan menuju arah yang sama, tanpa tujuan yang jelas.
“Kok tau? Keliatan banget ya?” dia tersenyum. Sangat manis.
“Lebih  jelas daripada asal muasal Mr Killer,” jawabku mencoba lucu. Dan reaksinya sungguh tak terduga.
“Hahahaha……” Ello tertawa terpingkal-pingkal. Berlebihan menurutku, sungguh di luar ekspektasi. “Lo bisa aja. Nggak nyangka, muka kayak lo ternyata bisa juga ngelawak. Hahahaha…..,” Ello terus tertawa keras, sampai-sampai orang di sekitar kami menoleh. Aku jadi malu sendiri.
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang mudah akrab sama orang yang baru aja kenal. Akupun menanggapi ucapan Ello dengan kalimat yang biasa dan malu-malu.
“Hei, kamu diliatin orang-orang tuh.” Ello spontan menutup mulutnya. Tampak sedikit salah tingkah, atau mungkin merasa bersalah padaku.
“Sorry. Gue suka terbawa suasana. Gue dari Jakarta. Elo anak sini ya? Ngomongnya medok banget.”
Seketika mukaku merah. Belum pernah ada orang yang dengan jujur mengataiku medok. Aku sadar bahwa logatku memang sangat Njawani kalo kata orang Jogja, tapi mendengarnya dari orang lain ternyata nggak enak juga. Tapi aku tahu, Ello tidak bermaksud apa-apa.
“Wah, kamu jujur banget ya. Iya, rumahku cuma 10km dari sini. Naik angkot paling 15 menit. Kamu ngekos  ya?”
Sejak saat itu aku dan Ello tak terpisahkan. Seperti kepompong dengan tangkai pohon. Dia adalah sahabat terbaik yang aku punya. Meskipun dia terlihat dewasa, tapi dia sangat cerewet untuk ukuran cowok. Dia juga gampang tertawa, bahkan cuma untuk hal-hal kecil yang walau dipaksa pun, aku tidak akan tersenyum. Itulah kenapa aku menyukainya. Dia sangat apa adanya dan selalu bisa menghiburku dengan joke-jokenya yang kebanyakan garing. Dia pun tak pernah mengeluh walau aku orangnya super extremely moody. Dia selalu punya cara untuk membangkitkan moodku.
Semuanya berjalan dengan sangat baik dan wajar. Sampai aku sadar kalau aku sangatlah bergantung pada Ello. Kalau tak ada dia, rasanya ada sesuatu yang hilang dalam diriku, seperti aku lupa membawa sesuatu yang sangat penting dan berharga. Aku sadar bahwa aku memliki perasaan yang lebih pada Ello. Buruknya lagi, aku merasa kalau Ello juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Sudah lebih dari dua orang bertanya pada kami tentang bagaimana hubungan kami sebenarnya. Setiap kali ditanya seperti itu, jantungku berdetak keras. Aku ingin mengatakan pada teman-teman cewekku bahwa aku menyukai Ello, tapi yang keluar setiap kali hanyalah, “Gak ada apa-apa kok. Tanya aja sama Ello.”
Aku tak tahu apakah mereka kemudian bertanya pada Ello. Dia pun tak pernah mengatakan apa-apa padaku. Kami belum pernah sekalipun berbicara tentang perasaan jika bertemu. Obrolan kami selalu berputar-putar pada hal-hal seperti kuliah, musik, makanan, keluarga, dan remeh temeh lain. Tapi hatiku selalu melambung setiap kali Ello mengirimiku sms, sekedar untuk mengucapkan “Met mlm” atau “Met bo2” atau “Gue kangen nih”. Aku tak mau terlalu ge-er. Jadi kubalas sms Ello dengan kalimat yang biasa. Dan siklus hidupku berlangsung seperti itu terus, hingga sedikit demi sedikit aku merasa sakit karena harus memendam perasaanku pada Ello.
***
“Ris, kok bengong sih? Ntar kesambet tau rasa!” Ello tiba-tiba mengagetkanku. “Habisin tuh makanan lo. Inget,, banyak orang banting tulang cuma demi sebutir nasi. Ayo habisin!”
Ello emang selalu seperti itu. Dan aku tahu dia serius. Dia cowok yang sangat peka pada lingkungan sekitar.
“Iya2. Ini juga baru mau dihabisin. Lagian kenapa sih buru-buru amat?” tanyaku manyun, tapi aku hanya pura-pura. Perasaanku sangat aneh. Aku merasa sangat gembira melihat semua hal yang ada di sekelilingku. Dan aku merasa sangat bahagia bisa makan berdua sama Ello, seolah-olah sudah lama aku tak pernah melakukannya. Kutatap Ello yang sedang menyuapkan nasi penuh-penuh ke mulutnya. Dia sangat tampan, bahkan ketika sedang makan. Ya Tuhan, aku merasa sangat beruntung bisa duduk di hadapannya saat ini. Ello menyadari tatapanku dan kami pun bertatapan. Aku tak kuasa berkedip. Dan sejurus kemudian, Ello mengerjap dan berkata kaku. Aku ikut-ikutan sadar.
“Ris, habis ini ke taman deket kampus yuk.”
“Ngapain?” tanyaku singkat.
Ello tampak berpikir-pikir sejenak, tapi kemudian dia kembali ke gayanya yang biasa.
“Gue bosen di kos. Pusing juga ngerjain script drama nggak kelar-kelar. Mana si Heri nggak mau bantu lagi. Butuh refreshing nih,”kata Ello, kemudian bangkit dan membayar bon pada Ibu penjaga warung.
Jogja sangat panas siang ini. Matahari terasa membakar kulitku. Warung tempat kami makan hanya berada di seberang kampus dan taman yang akan kami tuju persis berada di samping kampus kami. Jadi kami berdua hanya berjalan kaki. Selain panas, sinar matahari akhir-akhir ini juga sangat menyilaukan dan membuatku selalu merasa kelelahan. Aku dan Ello selalu menyalahkan fenomena global warming atas hal itu. Ya, apalagi? Bulan ini seharusnya musim kemarau (menurut para ahli fisika dan geologi), tapi tak jarang hujan turun dengan derasnya.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di taman dan mengenyakkan diri di bawah pohon beringin yang sangat besar. Sejuk sekali rasanya di tempat ini.
“Gila.. Panas banget nggak sih. Fiuh… Serasa mau mati,” keluhku pada Ello.
“Emang lo tau rasanya mati?” sahut Ello bercanda, ditambah dengan senyumnya yang jail.
“Ya belom. Aku kan cuma hiperbolis.” Sahutku pula, lalu memasukkan telapakku yang panas ke dalam saku jaket. Cukup nyaman rasanya.
“Ris..”
“Hmm…”
“Gue suka sama lo.” Ello berkata tiba-tiba, kemudian menatapku dengan muka serius. Aku kaget. Jantungku terasa berhenti berdetak. Untuk beberapa detik pertama, aku pikir Ello bercanda. Tapi dia sama sekali tak mengubah ekspresinya yang serius itu. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa. Aku hanya diam, menunggu Ello mengatakan sesuatu yang lain lagi. Sedikit berharap bahwa dia akan segera meledak dan tertawa terpingkal-pingkal, seperti sering dia lakukan jika sedang menggodaku. Tapi dia justru melanjutkan omongan tak terduganya itu.
“Gue suka sama lo.Gue nggak bisa membohongi perasaan gue sendiri. Gue memilih lo. Gue tau lo juga suka sama gue. Jangan bohong dengan bilang tidak. Gue tau lo. Gue pengin lo selalu sama-sama gue.”
Aku nggak bisa berpikir jernih. Nggak, ini semua salah. Aku cuma mimpi. Ini nggak nyata. Ello nggak mungkin bilang begitu sama aku. Dia nggak seperti itu.
“Ello, kamu bercanda,”aku tersenyum lemah tanpa daya. Karena aku sendiri tahu dia sangat serius.
“Serius.”
“Nggak, Lo. Ini cuma mimpi. Katakan kalau ini bukan mimpi, Lo. Bilang kalau ini bukan mimpi.” Entah kenapa aku merasa begitu sedih, padahal sudah lama aku menanti-nantikan Ello mengatakan hal itu. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku bukan cewek cengeng, tapi aku tak tau kenapa air bening ini bisa menetes.
“Ello,, jawab aku. Ini hanya mimpi kan?” rengekku.
Tiba-tiba Ello bangkit dan bilang “Tentu aja lo cuma mimpi. Bentar lagi lo bangun dan gue udah nggak ada di sini. Selamat tinggal, Ris.” Kata Ello dramatis dan tersenyum masam.
“Ello……………….”
***
“Ris, kamu udah bangun?” sebuah suara dalam yang lembut berkata padaku.
Aku merasa sangat pusing. Semuanya sangat gelap. Gelap yang tak wajar, ini pekat. Aku heran kenapa listrik padam. Kutunggu beberapa detik, siapa tahu lampu akan segera menyala. Kemudian kesadaran melandaku. Kesadaran yang membuatku bertambah pusing dan dadaku terasa sesak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku mencoba melihat sekelilingku, mencari-cari. Dimana-mana gelap.
“Ris..” suara itu muncul lagi. Mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. Ello, pikirku. Tidak, ini bukan suara Ello.
“Ello..”bisikku lemah.
“Ini aku Ris, Alex. Kamu mimpi Ello lagi ya?” suara itu bertanya hati-hati. Aku tiba-tiba menangis. Aku merasa sangat sedih dan terpukul. Untuk kesekian kalinya aku memimpikan Ello yang sudah sebulan ini tak pernah ada kabarnya. Ya, aku menyadari semuanya. Aku pun tak tahan lagi dan menangis tersedu-sedu. Tak peduli ada Alex di hadapanku. Kemudian kurasakan jemari menghapus air mataku. Jari-jari Alex yang hangat.
“Ris, I know it’s really hard for you. Tapi  aku akan sabar menunggumu untuk sadar kalau Ello tuh brengsek. Aku cuma pengin ngeliat kamu bahagia, tanpa harus terus-menerus memikirkan Ello. Kamu mau kan nglupain dia?”
Aku diam sejenak. Mendengarkan kata-kata Alex yang sudah sering diucapkannya meskipun dengan versi yang agak berbeda.
“Makasih ya Lex. Aku tau aku nggak bisa ngeliat. Tapi hati aku nggak buta. Makasih kamu udah sabar banget nemenin aku.” Kugenggam tangan Alex erat. Aku tak mau kehilangan orang yang sudah dengan tulus menerimaku apa adanya. Sejak kecelakaan itu merenggut penglihatanku, Ello tak pernah muncul lagi. Tapi aku tahu bahwa Tuhan telah mengirim Alex sebagai penggantinya.
***

-- The End -- 
               
 



               


Sweet... Sweet... Sweet...

Taste the sweetness of life

Friday 31 August 2012

Dayu


Namanya Dayu. Gadis ayu yang duduk tepat di bawah jendela itu sedang menunduk dan mencatat sesuatu. Dia benar-benar manis dilihat dari sisi manapun. Mata bulat besar, hidung sedikit mancung, dan rambut hitam sebahu, ditambah dengan senyumnya yang sangat-sangat.. akh, sulit sekali mendeskripsikannya. Senyumnya mampu membuat aku tersetrum, ikut senyum-senyum sendiri, hingga tiba-tiba aku tersadar oleh ribut-ribut yang memanggil namaku.

                “Felix!”

                “Felix!!”

                “Felix!!!”

Setelah sadar kulihat sekeliling. Aduh, semua mata tertuju padaku, bahkan mata Dayu dan Miss Agnes. Aku langsung khawatir karena Miss Agnes menatapku dengan tajam. Sepertinya dia telah memanggilku dari tadi, saat aku menatap Dayu. Arrrggghhh….Malunya aku!! Apa Miss Agnes tahu kalau aku tadi sedang memandangi gadis itu?

                Felix, who were you thinking about?” tanya Miss Agnes sambil sedikit tersenyum. Aku lega karena Miss Agnes tidak marah, namun aku juga sedikit berdebar karena pertanyaan itu. Apa dia benar-benar tahu kalau aku tadi memandangi Dayu?

                “Hmm… mmm… No body, Miss. I just thought about something else. I’m having a problem with my thesis. I’m sorry, Miss,” jawabku memberi alasan sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Padahal aku belum menyentuh skripsiku sama sekali. Sial! Aku sadar sepenuhnya kalau alasanku tidak bermutu. Tapi aku rasa Miss Agnes tidak akan marah. Kulihat dia tipe orang yang sangat ramah, murah senyum, dan suka bercanda. Sepertinya usianya pun tidak berbeda jauh denganku yang sekarang sudah semester 8.

                Oh really? But I’m sure that you didn’t have any problem at all. You kept smiling while staring at Dayu,” balas Miss Agnes dengan senyum lebar. Gubraaakk…!!! Feeling-ku benar ternyata, Miss Agnes tahu dan dia terang-terangan menggodaku di depan semua teman-teman baruku. Sontak mereka semua tertawa dan ikut menggodaiku. Kata-kata favorit  pun keluar dari mulut-mulut gatal itu.

                “Ciee… Felix…”

                “Ehm.. Ehm.. Ada yang naksir nih…”

                “Haseeekk…”

Mataku spontan melirik ke arah Dayu untuk melihat reaksinya. Dia hanya tersenyum-senyum sambil sesekali mengklarifikasi dan sesekali menunduk. Apakah mataku menipuku? Sepertinya pipinya memerah. Atau dia kebanyakan pakai blush-on? Kuenyahkan semua pikiran tolol itu. Beberapa orang sudah terdiam, ketika Dayu berkata cukup keras pada orang di sebelahnya, kalau  tidak salah namanya Mella. Suaranya cukup keras untuk sampai di telinga Miss Agnes.

                Hey, what are you talking about? I don’t even know him, you know,” kata Dayu sambil sedikit menggoyang-goyangkan tangannya. Aduh,, bahkan goyangan tangannya pun terlihat indah sekali…

                No need to be shy, Dayu. I’m really glad that I find a romance in our first meeting. This is happy news, right?” kata Miss Agnes santai sambil berdiri bersandar di meja guru. Ternyata Miss Agnes memang “amazing”. Masih dibahas???

                No, Miss. Why are you gossiping?” Dayu membantah perkataan Miss Agnes dan mukanya kembali memerah.

                “Hahaha… Just kidding! You know class, there were once two students who fell in love until I found that they finally had a relationship and they usually didn’t focus on my explanation,” sambung Miss Agnes.

                Then, what did you do to them, Miss?” tanya cewek yang aku yakin bernama Mella itu. Sepertinya dia cewek yang banyak omong, dan terlalu ingin tahu menurutku.

                Then I kicked them out!” kata Miss Agnes pula. Hah? Murid pacaran terus diusir dari kelas? Gila, aku calon korban berikutnya nih sama Dayu (ngarep.com).

                “Whoaaa…!” beberapa murid menunjukkan kekagetannya.

                “Hahaha… Just kidding, guys! Again,” Miss Agnes tampak tertawa puas karena berhasil mengerjai beberapa dari kami. Oh my God, ada ya guru kayak gini? Aku jadi khawatir tidak bisa lulus level intermediate ini. Targetku kan aku lulus satu periode ini saja dan tidak perlu mengulang lagi. Hmm.. Menurut perhitunganku sih, aku sebenarnya sudah lumayan bisa berkomunikasi pakai Bahasa Inggris. Tapi kebijakan kampus mewajibkanku untuk mendapatkan sertifikat intermediate sebagai syarat ujian pendadaran. Ada-ada aja peraturan kampus jaman sekarang. Apa yang akan terjadi sama anak-anak yang kompetensi Bahasa Inggrisnya kurang? Yang mengerti Bahasa Inggris seperti aku mengerti Bahasa Jerman? Gila, mereka pasti harus ikut les terus dari level paling bawah sampai level intermediate ini. Itu pun kalau lancar. Misalkan mereka harus mengulang tiap level, mungkin baru tiga tahun mereka dapat sertifikat intermediate. Sampai di-DO kalau begitu ceritanya. Ck.. ck.. ck…

                OK, back to our lesson. Do you still remember what tense we use to talk about future plans or conditions?” Miss Agnes pun kembali ke pokok persoalan. Belajar. Dan dia baru saja menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah kuhafal di luar kepala. Aku pun spontan menjawab pertanyaan itu.

                Simple future tense, Miss. We can use the word “will” or “be going to”,” jawabku yakin.

                Exactly. Thank you, Felix. So, will you invite Dayu to a dinner this evening?”

                Arrrrrrrrrrgggggggggghhhhhhhhh…………………………..

***

                Sisa waktuku hari ini kuhabiskan untuk memikirkan Dayu. Tadi sore sepulang les aku berhasil mengajaknya ngobrol. Dia anak yang asik. Kejadian di kelas, soal aku yang tak bisa menahan diri melamunkannya, tidak membuatnya ill-feel padaku. Aku tak menyangka akan bertemu dengan calon soulmate-ku di tempat les yang baru. Dayu benar-benar telah menawan hatiku hanya dalam hitungan detik. Sayang aku tidak berani meminta nomor hapenya tadi. Tapi gadis secantik Dayu pasti sudah ada yang punya. Hah, nasib.

***

                Semakin hari aku semakin terhipnotis oleh Dayu. Dia telah menjadi semangatku untuk selalu berangkat les. Sebenarnya aku punya tiga kali kesempatan untuk membolos. Dengan memanfaatkan kesempatan itu, setidaknya aku masih tetap bisa dapat sertifikat. Tapi aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Dayu dan aku juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk duduk bersebelahan dengannya. Karena saat Miss Agnes tidak memperhatikan, aku bisa mengajak ngobrol Dayu mengenai hal-hal di luar kursus. Misalnya asalnya dari mana dan hobinya apa. Seperti yang terjadi sore tadi.

                Ok class. Please open the next page and do exercise 3,” perintah Miss Agnes pada kami semua di kelas.

                Ok, Miss,” terdengar beberapa suara menjawab. Beberapa yang lain langsung saja mengerjakan tanpa mengeluarkan suara sehalus apapun. Dahsyat!!

                Aku memperhatikan kalau Miss Agnes selalu mempunyai kebiasaan berkeliling kelas saat kami sedang mengerjakan latihan. Well, mungkin itu bukan kebiasaan, tapi strategi mengajar. Aku memang tidak terlalu tahu-menahu tentang trik mengajar yang jitu karena aku tidak kuliah di fakultas pendidikan. Tetapi menurutku memang perlu untuk mengecek pekerjaan muridmu jika kamu sendiri menjadi seorang guru. Sehingga ketika muridmu mengajukan pertanyaan, kamu bisa langsung menjawab pertanyaan itu dengan lebih jelas dan personal. Selain itu, kamu juga menguntungkan muridmu yang ingin pedekate seperti aku ini.

                Ketika itu aku sudah selesai mengerjakan soal-soal yang ditugaskan Miss Agnes. Dayu yang duduk di sebelahku pun kulihat sudah memain-mainkan pulpennya, sambil memelototi hasil pekerjaannya. Menurutku Dayu cukup pintar juga. Dia selalu berhasil mengerjakan exercise dalam waktu singkat, seperti juga aku, di saat yang lain masih mengetuk-ngetukkan pulpen mereka di pelipis, atau menggigit-gigit pulpen itu karena tidak tahu harus menjawab apa. Maka kusambar kesempatan emas itu untuk mengajak ngobrol Dayu.

                “Day, kamu udah selese ya?” tanyaku pada Dayu yang kemudian memalingkan wajahnya yang ayu untuk menjawab pertanyaanku. Oh God, jantungku berdetak keras.

                “Iya. Udah kucek juga berulang-ulang, kayaknya udah bener sih. Tapi gak terlalu yakin juga. Kamu juga udah?” Dayu balas bertanya padaku.

                “Iya nih. Ah, pasti udah bener semua deh jawabanmu. Hehehe… Ohya, jadi kamu tu aslinya dari Cilacap ya?” tanyaku setelah aku mendapat informasi beberapa hari yang lalu.

                “He’eh,” jawab Dayu singkat.

                “Deket sama nusa kambangan gak?” tanyaku lagi padanya. Selain untuk basa-basi, aku memang pensaran apakah rumahnya dekat dengan tempat yang digunakan sebagai penjara untuk napi kelas kakap itu.

                “Jauh. Aku pernah sekali kesana waktu SMA.”

                “Ohya? Nusa Kambangan tu kayak apa sih?”

Bla-bla-bla. Obrolan itupun terus berlanjut sampai Miss Agnes memutuskan untuk mengecek jawaban kami. Berbicara dengan Dayu terasa sangat nyambung dan asik. Aku semakin menyukainya. 

***

                “Kamu yakin udah bisa move on?” tanya Ichsan tanpa basa-basi. Kami sedang mengerjakan proyek kami untuk diujikan minggu depan. Proyek ini merupakan salah-satu jaminan kami bisa lulus dan menjadi engineer. Ichsan mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan memandangku dengan serius. Aku tahu dia sangat concern padaku. Aku diputusin Dana, mantanku, beberapa bulan yang lalu. Dia memutuskaan buat kuliah di Perancis, ikut papanya yang pindah tugas di sana. Dia memang baru saja masuk kuliah, jadi tak masalah baginya untuk mulai dari awal. Tapi itu masalah bagiku dan aku sudah mencoba memintanya untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Tapi dia tetap bersikukuh untuk putus dengan alasan yang klise sekali. Dia tidak bisa menjalani long distance relationship. Jadi mau tidak mau aku harus menerima keputusan Dana.

                “Yakin, bro. Dayu bener-bener udah mengalihkan duniaku,” jawabku serius tapi dengan setengah bercanda, mengutip tagline iklan.

                “Walah… Gak usah alay gitu deh. Wah, kayaknya si Dayu ini udah bener-bener bikin kamu jatuh cintrong ye. Tapi yakin gak dia belum punya cowok?” tanya Ichsan lagi.

                “Aku belum pernah tanya sih. Tapi kayaknya sih belum. Ya, aku mau pelan-pelan aja sih. Aku cuma yakin aja kalau Dayu tu cewek baik-baik , cantik banget, dan asik diajak ngobrol.”

                “Sip lah, Lix. Kalau kamu seneng, aku juga seneng. Eneg juga liat kamu melow lama-lama. Hahaha…”

                “Sialan!” kataku singkat sambil meninju lengan Ichsan.  

***

                Aku membulatkan tekad untuk mendekati Dayu. Karena dia telah membuatku galau siang dan malam. I want to make a move. Jadi aku putuskan untuk mencoba mengajak Dayu hangout malam nanti, sepulang les Bahasa Inggris. Aku tidak berharap banyak Dayu langsung mengiyakan ajakanku, tapi setidaknya aku sudah mencoba. Dan aku bukanlah tipe orang yang mudah menyerah.

                Setelah Miss Agnes mengucapkan kalimatnya yang biasa, “see you on the next meeting”, di akhir kelas, aku pun segera merapikan tasku dan mencari celah untuk berbicara berdua dengan Dayu. Akhirnya aku berhasil berjalan keluar kelas berdua dengannya. Aku tidak langsung mengutarakan niatku dan memutuskan untuk menyampaikannya saat sudah tiba di tempat parkir. Saat ini, aku belum berani. Jantungku serasa berlompatan, dan seperti ada yang bergulung-gulung di perutku. Maka aku memanfaatkan waktu ini untuk menetralisir perasaanku yang tidak karuan dan mengumpulkan keberanian.

                Ketika sudah tiba di luar gedung, aku tetap belum berani menyampaikan maksudku. Akhirnya yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan hampir standar...

                “Kamu bawa motor sendiri, Day?”

                “Gak. Hari ini aku dijemput,” jawabnya.

Aha! Aku bisa menjadikan hal itu alasan untuk mengantarnya pulang ke rumah, atau mengajaknya hangout dulu kalau dia mau. Baru saja aku ingin menawarinya untuk pulang bersama, dia berseru dengan tiba-tiba.

                “Nah, itu dia jemputanku datang.”

Aku ikut mengalihkan pandangan ke arah yang dia lihat. Tampak  Honda jazz putih berjalan pelan ke arah kami. Ketika mobil itu berhenti, keluar lah seorang cowok berbadan tinggi tegap, berkulit sawo matang, dan mengenakan setelan kasual. Alamak,,, ternyata Dayu memang sudah punya gandengan! Jantungku berdetak lebih cepat saat itu juga dan harapanku hampir pupus. Tenang Lix, mungkin dia kakaknya, kataku menenteramkan diri sendiri.

“Kenalin Lix, ini suamiku, Jo.”

Hatiku hancur seketika. Satu-satunya harapanku yang tersisa adalah semoga aku tidak pingsan dan jatuh di depan kaki mereka berdua.



-- The End --


Special thanks to:

*murid2ku yang udah kupinjam namanya, Dayu, Agnov, Mella, Ichsan, n Dana (maaf, gak ada royalty ^^)
*kelas Mid-B intensif yang udah menginspirasi cerita ini
*Miss Agnes,, tanpanya cerita ini gak akan ada ^_^


Friday 24 August 2012

Titik

Manusia rapuh yang tak punyai tujuan
Mengais-ngais asa
Mengail semangat di air keruh
Mengubur emosi di ruang terdalam
Mengesampingkan ambisi
Mengagungkan takdir
Mengabstrakkan kekonkretan

Wednesday 15 August 2012

Kepastian

Seekor semut menari
Menarikan tarian bisu tentang kebimbangan
Seekor laba-laba merajut jaring
Menuaikan pola kerumitan
Seekor jangkrik bernyanyi
Menyanyikan lagu sumbang ketidaksabaran
Indraku bersaksi
Merekam opera malam 
tanpa orkestra
Menggelitik pori-pori
Menyebar lewat nadi
Memberikan detak yang enggan berhenti
Berharaplah semut itu berpusing
dan menjauh dari matamu
Bermimpilah laba-laba itu menggulung jaringnya
dan tak meninggalkan pekat di arimu
Lalu kau bisa menutup matamu
dan berdoa jangkrik itu terbatuk
menghentikan nyanyiannya
Saat itulah orkestra itu akan meraja
menjalar ke seluruh nafas kulitmu
dan menghentikan penantian ini

Tuesday 14 August 2012

Ironi

Matahari dan air punya janji
Untuk mengandung awan mendung
Dan melahirkan rintik hujan

Matahari dan air punya mimpi
Untuk mengumpulkan rona dunia
Dan membangun pelangi

Matahari datang, air berseri dan tampaklah sinar dalam matanya
Matahari pulang, air berteriak dan menyendiri dalam gelap

Namun matahari dan air punya janji dan mimpi
Berjalan di setapak yang sama
Maka ketika sesosok manusia datang, dan berselingkuh dengan matahari
Air pun surut
Dan pergi untuk selama-lamanya


Tanya



Bagiku cinta hanya sekali seumur hidup. Mungkin orang menganggapku kuno, konservatif, atau naïf. Aku tak peduli. Akulah yang berjalan dengan kakiku, bernapas dengan paru-paruku, berpikir dengan otakku, dan merasakan banyak hal dengan hatiku. Aku heran, kenapa orang suka sekali menggosipkan orang lain. Terutama wanita suka menggosipkan wanita lain. Yah, usiaku memang sudah tidak muda lagi, menjelang 3o tahun. Tapi sekali lagi, apa pedulimu, sih? Apakah kalau nanti aku menikah, kamu yang akan membuatkan suamiku segelas kopi di pagi hari? Apakah ketika suamiku bangun tidur, kamu yang akan mengecup keningnya? Apakah saat suamiku tertimpa masalah besar, dia akan pergi padamu untuk berkeluh kesah dan mencari tempat bernaung? Tidak. Hanya aku. Aku yang bertanggungjawab dengan hidupku sendiri, kecuali kamu adalah bayanganku yang selalu ikut kemanapun aku pergi. Akh, tidak. Bayanganku pun tidak berhak mengatur hidupku.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun bahwa sampai detik ini aku belum punya kekasih. Sebenarnya aku bingung dengan akar kata ini. Kalau kekasih itu berarti “yang terkasih” maka dia bisa siapa saja, yang penting dia aku kasihi. Tapi kamu pasti tahu yang aku maksud. Aku memang belum mau. Alasannya mungkin memang tidak sederhana, dan tidak hanya satu. Yang terpenting tetap prinsipku, punya pacar sekali langsung menikah untuk seumur hidup. Aku tidak suka bermain. Alasan yang kedua lebih tidak sederhana lagi. Aku takut. Takut realita yang tragis akan menimpaku suatu hari kelak jika aku sudah berumahtangga. Aku takut jika ternyata suamiku adalah orang yang keras dan tidak bertanggungjawab seperti bapakku dulu. Hingga akhirnya yang diterima ibuku selama tahun-tahun pernikahannya dengan bapakku adalah sampah. Aku juga takut pada diriku sendiri. Takut tidak bisa menjadi istri yang baik, melayani dan merawat dengan penuh kasih. Itu semua selalu membuatku bimbang untuk punya pacar, bahkan bimbang untuk jatuh cinta.
Tapi jika aku tak menikah, aku juga takut. Bagaimanapun aku butuh sosok yang menyayangiku dengan sepenuh hati dan bersedia merawatku hingga aku mati. Aku tidak peduli dengan perkataan tetanggaku, tetapi aku punya dua adik perempuan. Mereka juga sudah dewasa, yang bungsu pun sebenarnya sudah pantas untuk menikah. Aku tahu kedua adikku tidak mempermasalahkan status lajangku. Mereka juga tumbuh sebagai perempuan modern yang tidak takut menjadi perawan tua. Karena menikah bukanlah tujuan utama hidup di dunia. Meski begitu aku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika aku tak segera memikirkan tentang pernikahan. Aku sudah bekerja. Meskipun gajiku tidak besar, tetapi tetap tidak akan menjadi halangan untuk menikah. Aku perempuan. Suamiku akan menafkahiku. Walaupun ibuku selalu mewanti-wanti aku dan kedua adikku untuk menjadi pribadi yang mandiri, yang bisa menghidupi diri sendiri. Sehingga kelak kalau menikah pun, kami tidak akan bergantung pada suami. Ibuku memang luar biasa. Kehidupan yang keras telah membentuknya menjadi sosok yang tahan banting dan penuh tekad. Ibuku luar biasa, maka aku tak menyalahkannya.
Adikku yang bungsu bernama Hasti. Dia tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik. Mungkin itulah yang menyebabkan dia bisa dekat dengan beberapa pria. Aku tidak yakin apakah mereka semua pernah menjadi pacarnya, namun setidaknya Hasti sering mengalami yang dinamakan jatuh cinta. Lebaran tahun lalu kami berkumpul di rumah seperti biasa. Adikku yang kedua juga sudah bekerja di kota yang sama denganku. Sehingga hari raya besar seperti ini selalu kami tunggu-tunggu, karena hanya pada hari libur lah kami bisa pulang kampung. Seperti biasa pula kesempatan seperti ini kami manfaatkan untuk saling berbagi cerita. Dan sampailah pada topik si bungsu.
Lia, adikku yang kedua bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya ke layar televisi dengan tangan kiri memegang stoples camilan dan tangan kanan sibuk menyusurkan camilan ke mulutnya, “Eh has, pacar lo siapa sekarang?”
Hasti senyum-senyum saja, aku tak tahan untuk menimpali omongan Lia. “Iya nih. Pasti udah ganti lagi!”   
“Hahaha… Mau tau aja sih? Ada emang, kakak tingkat gue. Tapi kita nggak pacaran, serius. Deket doang.” Hasti sibuk mengamati kuku-kukunya yang sebenarnya tampak baik-baik saja. Aku tahu dia malu. Akh, teenage romance.
“Elonya aja kan yang ngarep? Hahaha….” Lia menggoda Hasti tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar televisi. Aku pun ikut tertawa.
           Aku tidak bisa menahan diri untuk mencoba mencari tahu, atau lebih tepatnya memancing respons Hasti. Apakah responsnya akan seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia tahu aku masih belum punya pacar saat itu. Dan sekarang pun belum.
“Elo mau nikah dulu juga gapapa lho, Has. Gue masih lama nih soalnya.” Aku berkata padanya seolah itu hanyalah candaan tak bermakna, padahal aku cukup cemas menunggu apa yang akan dia pakai sebagai jawaban.
“Yaelah. Kaga lah. Gue mah masih kecil, masih jauh nikah-nikahan. Tetep elo duluan lah. Makanya cari pacar sono. Hahaha…”
Aku tahu Hasti tidak bohong. Dia juga tidak ingin buru-buru menikah. Tak bisa kupungkiri hal itu cukup melegakan aku. Setidaknya aku tidak membuat perasaan adikku gundah. Aku sangat menyayangi keluargaku. Kami hidup dalam suasana penuh kasih. Kami berempat, tanpa Bapak. Karena beliau sudah tiada ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah keluargaku terpuruk atau malah justru membaik setelah kepergian Bapak. Tapi bagaimanapun aku sangat mencintai Bapak. Dia Bapakku. Suami ibuku. Dia yang turut andil atas lahirnya aku. Aku tak tahu apakah orang lain bisa memahami ikatan antar anggota keluarga kami. Ya, rumah tangga Bapak Ibuku carut marut. Tetapi kami saling menyayangi. Amat sangat sayang.
***
Siang ini tidak banyak pekerjaan di kantor. Aku bekerja sebagai admin salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Temanku tidak terlalu banyak. Namun di antara koloni kecil itu, salah satunya sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Namanya Mega. Dia sangat peduli padaku. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku tapi dia sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua bocah yang lucu-lucu, mungkin itulah sebabnya dia juga sangat concern dengan kehidupan asmaraku.
Jam makan siang tiba. Aku dan Mega memutuskan untuk makan di kantin kantor. Biasanya kami pergi keluar karena bosan dengan makanan kantin yang itu-itu saja. Tetapi siang ini sangat panas dan kami sedang tak mau mengambil risiko membuat kulit semakin gosong. Baru beberapa detik kami duduk, Mega sudah membuka percakapan dengan kata-kata yang cukup mengagetkanku.
“Tih, temen gue ada yang mau kenalan sama lo. Namanya Ryan. Dia temen SMA gue dan sekarang kerja jadi staff marketing di Sudirman. Gimana?” Dia kemudian mencomot sepotong brownies dan menelannya dengan lahap.
“Hah? Kok bisa tahu gue? Gimana ceritanya?” aku sungguh-sungguh kaget. Mega tak pernah sekalipun membicarakan tentang temannya padaku. Bagaimana pula si Ryan ini bisa berinisiatif untuk mengajak aku berkenalan??
“Lewat Facebook. Kapan itu pas gue buka Facebook, ga sengaja dia lihat akun lo. Terus nanya-nanya tentang lo terus. Kayaknya sih dia tertarik banget sama lo. Dia lagi nyari calon istri tuh, kasihan udah sering ditolak cewek. Padahal sih menurut gue dia ganteng, baik hati aja pake banget, udah gitu penurut pula. Mungkin juga terlalu penurut sih, jadinya cewek-ceweknya malah pada ninggalin. Mau kaga lo?”
Aduh, gawat. Aku jadi bingung. Aku belum begitu kepengin mencari calon pendamping hidup, tapi setelah kupikir tidak ada salahnya untuk dicoba. Toh kalau gak cocok ya tidak usah dijalani. Aku tidak mau terlalu berurusan dengan galau menggalau, seperti anak muda jaman sekarang. Sudah bukan saatnya lagi.
“Mmm… Gimana ya Ga? Gue liat facebooknya dulu deh. Boleh gak?” Akhirnya kuputuskan untuk melihat akun Facebook pria itu terlebih dahulu. Bukannya aku mementingkan fisik. Tapi siapa tahu dengan melihat wajahnya terlebih dulu, aku jadi lebih siap untuk bertemu di dunia nyata. Mega mengangguk dan mulai memencet tombol-tombol di hape Androidnya. Beberapa menit kemudian dia mengangsurkan hapenya padaku. Kuambil hape itu dan melihat akun facebook dengan foto profil seorang pria yang lumayan ganteng.
“Gimana, ganteng kan? Pasti lah, sobat gue!” Mega menggoda jail sambil mengedip-ngedipkan matanya padaku.
“Lumayan sih…”
“Yah, masak lumayan doang. Ganteng itu. Sama Mas Gege aja gantengan dia.”
Tampaknya Mega hanya mencoba merayuku. Mas Gege adalah suaminya. Dan setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan mengakui kalau dia itu charming. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menerima ajakan si Ryan ini, yang setelah pertemuan itu akan kupanggil Mas Ryan.
“Ok deh. Kapan dia mau ketemu gue?” tanyaku sambil mengembalikan hape Mega. Dalam hati aku tidak terlalu mengharapkan rencana ini terjadi. Mega menepuk pundakku dengan kegirangan.
“Nah, gitu dong. Gampang, ntar gue atur deh. Ayo sekarang kita pesen main course-nya. Gado-gado dua ya, buk!”
***
Setelah sebulan jalan bersama, akhirnya aku dan Mas Ryan memutuskan untuk serius. Dia telah berulang kali mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Aku tersanjung jujur saja, tapi aku belum siap. Terkadang aku merasa terlalu cuek padanya. Padahal benar kata Mega, dia orang yang sangat baik. Dia tidak pernah berbicara kasar dan selalu sopan padaku. Aku heran kenapa dia bisa menyukaiku. Satu hal yang membuatku sangat nyaman bersamanya adalah kesabarannya. Pernah suatu kali dia mengajakku untuk berkenalan dengan salah satu tantenya. Itu artinya bertamu dan mengobrol dengan tantenya. Tentu saja aku belum siap. Semua ide tentang menjalin silaturahmi dengan calon keluarga baru malah membuatku pusing dan mual. Mas Ryan sedikit memaksa ketika itu, yang akhirnya kusadari mungkin karena dia ingin menunjukkan keseriusannya denganku. Aku jadi sebal karenanya, dan kata putus sempat keluar dari mulutku. Menyesal aku pernah mengatakannya.
“Ratih, dia tanteku yang paling dekat denganku. Dia baik banget kok, kamu pasti nyambung ngobrol sama dia. Ayolah, ini juga cuma makan malam biasa. Dia gak akan menginterogasimu.” Kala itu Mas Ryan mengatakannya dengan menggenggam tanganku. Aku merasa sedikit kasihan, tetapi tetap saja aku tidak siap.
“Tapi kamu tahu aku belum siap, Mas. Kita baru jalan sebulan lebih sedikit. Kenapa harus buru-buru sih? Waktu kita masih banyak.”
“Tapi Tih, aku gak pernah minta apa-apa dari kamu. Sekali ini saja aku mohon. Tanteku sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku tumbuh besar dengannya. Mengertilah sedikit, Tih.”
Apa?? Mengertilah sedikit?? Memangnya dia sudah mencoba mengerti aku? Seharusnya Mas Ryan memahami perasaanku. Aku butuh persiapan. Dia tidak perlu takut. Kalau aku sudah memutuskan untuk memilihnya, Insya Yesus dia akan bersamaku selamanya. Dan waktu masih sangat panjang. Kenapa harus terburu-buru?
“Mengertilah sedikit katamu, Mas? Jadi kamu mau bilang kalau aku tidak pengertian? Hal-hal kayak gini nih yang bikin aku gak pernah mau serius. Ribet!” Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dan menekankan kata terakhir, supaya Mas Ryan tahu kalau aku stress dibuatnya.
“Astaga, bukan gitu, Tih! Kamu sering banget kayak gini. Aku…”
Belum selesai omongan Mas Ryan, aku sudah memotongnya. Aku tak pernah mau ribut. Pertengkaran selalu mengingatkanku pada Ibu dan Bapakku, yang membuat semacam trauma dalam diriku.
“Aku apa? Mau putus? Ya udah. Aku gapapa kok.” Kataku saat itu sambil memunggungi Mas Ryan. Aku tidak suka dia harus melihatku saat sedang marah.
“Ya ampun, Tih. Aku belum selesai ngomong. Aku tu cuma bingung apa salahku. Aku gak pengin putus dari kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku bener-bener pengin kamu jadi yang terakhir dalam hidupku.”
Aku terdiam. Selama ini aku sangat susah jatuh cinta. Pada awalnya pun aku tidak memiliki perasaan apa-apa pada Mas Ryan. Tapi kesabaran dan keteguhan hatinya telah meluluhkan aku. Aku mulai menyayangi pria ini. Jauh di lubuk hatiku, aku juga tidak ingin kehilangan dia. Setelah mengatur nafasku, aku membalikkan punggungku. Mas Ryan sedang memandangku. Tatapannya lurus menatap kedua mataku, seolah dia sedang mencari-cari jawaban. Dan ini yang paling kubenci. Tatapan mata itu mengandung permohonan maaf. Dia tidak pernah punya salah apapun. Aku benci mengakui bahwa akulah yang egois.
Kami berdua tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia memelukku, dan aku membalas pelukannya. Dalam hati aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan pria yang begitu baik ini padaku. Tuhan, aku mencintai pria ini. Tolong maafkan aku telah melukai perasaannya. Aku sayang padanya Tuhan. Sangat sayang.
***
Bulan demi bulan pun berlalu. Setelah hubunganku dengan Mas Ryan berjalan 10 bulan, kami memutuskan untuk menikah. Aku sudah bertemu dengan kedua orangtuanya, begitupun sebaliknya. Jadi hubungan kami direstui. Kedua adikku pun mendukung keputusanku. Kadang aku berpikir bahwa ide ini sungguh gila. Setelah sekian lama akhirnya aku akan menikah! Aku bahagia dan aku merasa tenang memiliki calon suami seperti Mas Ryan. Dia benar-benar jauh dari sosok pria monster yang selama ini selalu membuatku takut untuk berhubungan serius. Dia bahkan mau merawatku ketika aku sakit, yang berarti bahwa dia harus bolak balik ke rumah, tempat kerja, dan kosku. Dia benar-benar seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
Kami telah merencanakan pernikahan kami. Seperti apa konsepnya, berapa tamu yang akan diundang, dan kira-kira berapa dana yang kami butuhkan. Namun kami belum merencanakan tanggal. Target kami adalah tahun depan, mungkin setelah tahun baru. Harapannya adalah tahun baru, lembaran baru. Hari ini hari Minggu. Aku duduk saja di kosku karena aku dan Mas Ryan sudah ke gereja kemarin sore. Katanya Mas Ryan mau pergi menemui teman lamanya pagi ini. Aku tidak mau ikut, karena takut merusak suasana reuni itu nantinya. Aku sedang melihat berbagai model gaun pengantin di salah satu majalah fashion, ketika hapeku tiba-tiba berdering. Terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di ujung telepon.
“Halo, ini Ratih kan?”
“Iya. Ini siapa ya?” tanyaku dengan sopan.
“Gue Fabi, Tih. Lo harus cepet ke RS Kasih. Ryan kecelakaan.”
Kepalaku serasa dihantam palu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Ketika aku berhasil mencerna semuanya, napasku memburu. Mataku memandang nanar ke dinding. Mas Ryan kecelakaan. Tidak mungkin…
“Hallo, Tih? Tih? Kamu gak papa kan? Tih…” kembali kudengar suara Fabian. Aku tersadar dan menjawab dengan suara parau. Air bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Kepalaku pening dan aku merasa sangat lemas.
“Terus gimana keadaannya Bi?”
“Pokoknya lo kesini dulu. Naik taksi aja Tih, biar cepet. Gue tunggu ya.”
***
Dua bulan setelah itu aku mengunjungi Mas Ryan. Aku kangen sekali padanya. Aku ingin menemuinya dan menumpahkan segala perasaanku. Rangkaian mawar di genggaman tanganku kuletakkan di atas gundukan tanah makam. Mas Ryan telah pergi, membawa semua cinta yang aku punya. Membawa semua harapan yang kini kosong, hampa. Kupikir Mas Ryan lah orang terakhir yang akan menemaniku hingga tua nanti. Dan memang aku berharap bahwa dialah orangnya. I wish he were the one. Aku menangis, menjerit dalam hati. Berulang kali bertanya pada Tuhan, kenapa semua ini terjadi padaku dan Mas Ryan. Ada bermilyar orang di muka bumi ini, kenapa semua ini harus menimpaku dan Mas Ryan. Kepergian Mas Ryan menimbulkan begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Menguarkan aroma kenangan manis, namun kemudian memberi rasa sesak yang entah kapan akan sirna.
***
Hapeku bergetar. Kulihat di layar ada satu pesan masuk. Fabian. Aku hampir lupa aku punya janji menemaninya makan malam. Aku harap malam ini aku tidak membuatnya kesal karena harus mendengarku terisak-isak mengenang Mas Ryan. Biarlah semua tanya ini mendapatkan jawabannya seiring waktu. Hidup harus terus berjalan.

- The End -


Saturday 11 August 2012

A Rose in the Spring

She's pretty fabulous
Wrapped in a new elegant gown
Mesmerizing face
Polished with smooth powder
Gentle eyes and blushing cheeks
Beautiful as a wicked rose in the spring

Yeah
It has thorns
Yelling "Don't take my crown!"
As eager eyes come to steal
Cunning mind is going to run with it
Clumsy fingers are going to bleed out
And she won't care
'Cause she is as wicked as a rose in the spring

Tak Terkatakan




Ini hanya mimpi. Aku melihat kedua tanganku tak percaya, mengamati kesepuluh jariku dengan garis-garis halus yang terlihat jelas dan sedikit urat nadi yang menonjol, membolak-balik kedua telapak tanganku seolah aku belum pernah melihat tanganku sebelumnya. Ini mimpi. Ya, aku pasti akan terbangun dan semua ini lenyap. Karena penasaran kucubit lenganku sendiri.
"Ouch..!!"
"Kenapa Ris, kejedut ya? Sorry deh, kamar gue emang sempit. Udah syukur bisa muat lemari sama bed. Sakit nggak?" satu suara merespons reaksiku.
Aku menelusuri arah datangnya suara itu dan menatap pemiliknya. Sesosok cowok berkulit cokelat dengan hidung mancung dan rambut cepak. Wajahnya mengingatkanku pada seorang artis Indonesia yang sedang naik daun, tapi untuk saat ini aku lupa namanya. Dia sedang duduk bersila dan menoleh ke arahku, berpaling sejenak dari komputernya yang menyala terang.
“Lo.. aku nggak mimpi kan? Bilang enggak , Lo. Ini nyata kan? Sekarang tanggal berapa? 9 Agustus kan?” cerocosku tanpa henti, dengan perasaan campur aduk mengedarkan mataku ke segala penjuru kamar Ello, mencari-cari kalender. Ya, aku ingat nama artis itu sekarang, Ello. Dan cowok di hadapanku ini memang mirip dengannya. Aku merasa tak keruan. Kaget, gembira, tak percaya. Akupun menghampiri Ello yang tadi sedang sibuk dengan script dramanya dan yang sekarang memandangku dengan ekspresi  bingung di wajahnya.
“Coba kamu rasa,” dan akupun mencubit Ello, tidak terlalu keras tapi cukup membuat dia mengaduh.
“Aaw..!! Lo gila ya? Sakit tau! Kenapa sih lo, kayak orang kesurupan aja, “ Ello berkata jengkel sambil mengelus-elus lengannya yang baru saja kucubit.
“Sakit kan? Yee… Berarti ini bukan mimpi. Ini nyata.. Ello, aku ngelihat kamu. Aku ngelihat kasurmu. Aku…..” aku tak meneruskan perkataanku. Aku merasa begitu bahagia dan berlari menuju pintu.
“Ello…!! Aku ngelihat pohon beringin kesayanganmu. Aku juga liat Si Otoy!! “ aku berteriak, tak kuasa memendam rasa gembiraku.
Ello menghampiriku dan menempelkan punggung tangannya di dahiku.
“Nggak panas. Ini berapa?” kata Ello sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Satu,” sahutku dengan riang dan geli ngeliat muka Ello yang kebingungan.
“Normal. Kayaknya lo masih kebawa mimpi deh, Ris. Mimpi apa sih lo, sampe ngigau-ngigau nggak jelas gini?” tanya Ello jail.
“Aku nggak mimpi kok. Pergi yuk!” kutarik tangan Ello dan mengajaknya keluar rumah. Kos tepatnya. Sudah dua tahun ini Ello menyewa kos di deket kampus SDJ, salah satu universitas swasta di Jogja. Satu jurusan denganku, Sastra Inggris. Dia selalu beralasan bahwa kota metropolitan tak pernah terasa nyaman untuk belajar. That’s why, dia memutuskan untuk kuliah di Jogja dan hidup mandiri. Dia selalu cerita padaku betapa dia selalu menggantungkan segala hal pada orangtuanya di Jakarta. Sampai sekarang pun dia masih sering ditelefon ayahnya, walau hanya sekedar menanyakan kabar. Dan kalau dia sedang telefon, aku selalu merasa diabaikan. “Sorry Ris, bokap gue telefon.” Setelah itu aku pasti menyibukkan diri. Aku tak pernah lupa kejadian ketika pertama kali aku kenal Ello, karena itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang akhirnya selalu ada di sampingku, saat suka maupun duka. Saat itu aku masih semester 2 dan dia semester 4. Meskipun begitu, takdir mempertemukan kami di kelas yang sama, kelas Pronunciation. Kami pun memiliki masalah yang sama. Sama-sama susah mengucapkan ‘Excuse me, Sir.’
***
Siang itu aku di kelas seperti biasa dan seperti biasa pula aku tak kuat menahan kantuk. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke toilet dan mencuci mukaku biar mataku melek. Pak Randy adalah dosen Pronunciation yang terkenal dengan predikat ‘killer’. Jadi aku tak mau ambil resiko keluar kelasnya tanpa ijin.
“Ekyusmi, Sir” kataku, jelas-jelas mengucapkan dengan salah kalimat sederhana itu. Maklum lah, lidah Jawa-ku belum terlatih mengucapkan bahasa bule. Bahkan aku melafalkan kata Sir terlalu jelas dan medok. Pak Randy tampaknya tidak mendengar perkataanku. Maka kubilang sekali lagi.
Ekyusmi, Sir. May I wash my hand?” kataku lebih keras.
“Ello!!! You’ve already been the 4th semester student. So, do you mind to tell that girl how to pronounce the words correctly??” kata Pak Randy, mengagetkan seisi kelas, tanpa mengalihkan pandangan dari buku filsafatnya yang berharga (Pronunciation tapi bawa buku filsafat??). Ello pun terlonjak kaget dan geragapan.
Which words, Sir?” Tanya Ello hati-hati. Takut membangunkan harimau tidur.
All that she said!!” jawab Pak Randy singkat.
Ello memandangku dengan penuh tanya. Dia kelihatan sangat bingung dan tidak yakin.
“Emm… emm….” Hanya itu yang keluar dari mulut Ello.
“Ello!!!!” tegur Pak Randy keras dan galak, masih menekuni buku filsafatnya yang setebal beton.
“Ok2, Sir. Mmm… Miss, you have to say ‘Ikyusmi Sir. May I…..”
You both get out and learn how to pronounce the first two words!” Pak Randy mengusirku dan Ello, kali ini dia mengarahkan pandangan pada kami dengan kacamata yang melorot sampai menjepit hidungnya. Tak banyak cingcong, kami pun berlari keluar kelas. Kantukku kontan hilang. Aku merasa geli sendiri saat Ello menyusulku keluar dengan marah-marah.
What a funny joke!” seru Ello sambil berkacak pinggang.
“Ketawa dong,” timpalku iseng. Muka cemberut Ello malah membuatku semangat untuk bercanda. Dia pun melihatku, dan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
“Ello.”
“Riska,” kataku, menyambut uluran tangannya. “Aku jarang liat kamu. Kita beda kelas ya?” tanyaku. Aku memang belum pernah melihat Ello sebelumnya, dan hari itu adalah hari pertama perkuliahan setelah libur yang cukup panjang.
“Oh, nggak,’ jawabnya sambil tersenyum dan aku lega melihatnya. Setidaknya, dia tak seserius tampangnya. Dia mirip sekali dengan Ello, tapi aku putuskan untuk tak mengutarakan ide konyolku itu, takut bikin dia ge-er. “Gue shopper, kemaren-kemaren gue belum ngambil mata kuliah ini, habis dosennya sengak kayak gitu.  Gue anak semester 4. Tadi kan ‘d killer uda bilang. “
Lo gue- lo gue. Di kota berhati nyaman ini jarang orang memanggil orang lain dengan sebutan lo atau gue. Pasti orang ibukota nih. Logatnya juga kentel banget, kayak anak-anak gaul yang di TV-TV. Pikirku saat itu.
“Oh. He-eh. Tadi nggak terlalu memperhatikan. Aku ngantuk banget soalnya, biasa, penyakit lama, hehehehe… Kamu bukan asli Jogja ya?” tanyaku tanpa basa-basi. Tanpa sadar kami berjalan menuju arah yang sama, tanpa tujuan yang jelas.
“Kok tau? Keliatan banget ya?” dia tersenyum. Sangat manis.
“Lebih  jelas daripada asal muasal Mr Killer,” jawabku mencoba lucu. Dan reaksinya sungguh tak terduga.
“Hahahaha……” Ello tertawa terpingkal-pingkal. Berlebihan menurutku, sungguh di luar ekspektasi. “Lo bisa aja. Nggak nyangka, muka kayak lo ternyata bisa juga ngelawak. Hahahaha…..,” Ello terus tertawa keras, sampai-sampai orang di sekitar kami menoleh. Aku jadi malu sendiri.
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang mudah akrab sama orang yang baru aja kenal. Akupun menanggapi ucapan Ello dengan kalimat yang biasa dan malu-malu.
“Hei, kamu diliatin orang-orang tuh.” Ello spontan menutup mulutnya. Tampak sedikit salah tingkah, atau mungkin merasa bersalah padaku.
“Sorry. Gue suka terbawa suasana. Gue dari Jakarta. Elo anak sini ya? Ngomongnya medok banget.”
Seketika mukaku merah. Belum pernah ada orang yang dengan jujur mengataiku medok. Aku sadar bahwa logatku memang sangat Njawani kalo kata orang Jogja, tapi mendengarnya dari orang lain ternyata nggak enak juga. Tapi aku tahu, Ello tidak bermaksud apa-apa.
“Wah, kamu jujur banget ya. Iya, rumahku cuma 10km dari sini. Naik angkot paling 15 menit. Kamu ngekos  ya?”
Sejak saat itu aku dan Ello tak terpisahkan. Seperti kepompong dengan tangkai pohon. Dia adalah sahabat terbaik yang aku punya. Meskipun dia terlihat dewasa, tapi dia sangat cerewet untuk ukuran cowok. Dia juga gampang tertawa, bahkan cuma untuk hal-hal kecil yang walau dipaksa pun, aku tidak akan tersenyum. Itulah kenapa aku menyukainya. Dia sangat apa adanya dan selalu bisa menghiburku dengan joke-jokenya yang kebanyakan garing. Dia pun tak pernah mengeluh walau aku orangnya super extremely moody. Dia selalu punya cara untuk membangkitkan moodku.
Semuanya berjalan dengan sangat baik dan wajar. Sampai aku sadar kalau aku sangatlah bergantung pada Ello. Kalau tak ada dia, rasanya ada sesuatu yang hilang dalam diriku, seperti aku lupa membawa sesuatu yang sangat penting dan berharga. Aku sadar bahwa aku memliki perasaan yang lebih pada Ello. Buruknya lagi, aku merasa kalau Ello juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Sudah lebih dari dua orang bertanya pada kami tentang bagaimana hubungan kami sebenarnya. Setiap kali ditanya seperti itu, jantungku berdetak keras. Aku ingin mengatakan pada teman-teman cewekku bahwa aku menyukai Ello, tapi yang keluar setiap kali hanyalah, “Gak ada apa-apa kok. Tanya aja sama Ello.”
Aku tak tahu apakah mereka kemudian bertanya pada Ello. Dia pun tak pernah mengatakan apa-apa padaku. Kami belum pernah sekalipun berbicara tentang perasaan jika bertemu. Obrolan kami selalu berputar-putar pada hal-hal seperti kuliah, musik, makanan, keluarga, dan remeh temeh lain. Tapi hatiku selalu melambung setiap kali Ello mengirimiku sms, sekedar untuk mengucapkan “Met mlm” atau “Met bo2” atau “Gue kangen nih”. Aku tak mau terlalu ge-er. Jadi kubalas sms Ello dengan kalimat yang biasa. Dan siklus hidupku berlangsung seperti itu terus, hingga sedikit demi sedikit aku merasa sakit karena harus memendam perasaanku pada Ello.
***
“Ris, kok bengong sih? Ntar kesambet tau rasa!” Ello tiba-tiba mengagetkanku. “Habisin tuh makanan lo. Inget,, banyak orang banting tulang cuma demi sebutir nasi. Ayo habisin!”
Ello emang selalu seperti itu. Dan aku tahu dia serius. Dia cowok yang sangat peka pada lingkungan sekitar.
“Iya2. Ini juga baru mau dihabisin. Lagian kenapa sih buru-buru amat?” tanyaku manyun, tapi aku hanya pura-pura. Perasaanku sangat aneh. Aku merasa sangat gembira melihat semua hal yang ada di sekelilingku. Dan aku merasa sangat bahagia bisa makan berdua sama Ello, seolah-olah sudah lama aku tak pernah melakukannya. Kutatap Ello yang sedang menyuapkan nasi penuh-penuh ke mulutnya. Dia sangat tampan, bahkan ketika sedang makan. Ya Tuhan, aku merasa sangat beruntung bisa duduk di hadapannya saat ini. Ello menyadari tatapanku dan kami pun bertatapan. Aku tak kuasa berkedip. Dan sejurus kemudian, Ello mengerjap dan berkata kaku. Aku ikut-ikutan sadar.
“Ris, habis ini ke taman deket kampus yuk.”
“Ngapain?” tanyaku singkat.
Ello tampak berpikir-pikir sejenak, tapi kemudian dia kembali ke gayanya yang biasa.
“Gue bosen di kos. Pusing juga ngerjain script drama nggak kelar-kelar. Mana si Heri nggak mau bantu lagi. Butuh refreshing nih,”kata Ello, kemudian bangkit dan membayar bon pada Ibu penjaga warung.
Jogja sangat panas siang ini. Matahari terasa membakar kulitku. Warung tempat kami makan hanya berada di seberang kampus dan taman yang akan kami tuju persis berada di samping kampus kami. Jadi kami berdua hanya berjalan kaki. Selain panas, sinar matahari akhir-akhir ini juga sangat menyilaukan dan membuatku selalu merasa kelelahan. Aku dan Ello selalu menyalahkan fenomena global warming atas hal itu. Ya, apalagi? Bulan ini seharusnya musim kemarau (menurut para ahli fisika dan geologi), tapi tak jarang hujan turun dengan derasnya.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di taman dan mengenyakkan diri di bawah pohon beringin yang sangat besar. Sejuk sekali rasanya di tempat ini.
“Gila.. Panas banget nggak sih. Fiuh… Serasa mau mati,” keluhku pada Ello.
“Emang lo tau rasanya mati?” sahut Ello bercanda, ditambah dengan senyumnya yang jail.
“Ya belom. Aku kan cuma hiperbolis.” Sahutku pula, lalu memasukkan telapakku yang panas ke dalam saku jaket. Cukup nyaman rasanya.
“Ris..”
“Hmm…”
“Gue suka sama lo.” Ello berkata tiba-tiba, kemudian menatapku dengan muka serius. Aku kaget. Jantungku terasa berhenti berdetak. Untuk beberapa detik pertama, aku pikir Ello bercanda. Tapi dia sama sekali tak mengubah ekspresinya yang serius itu. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa. Aku hanya diam, menunggu Ello mengatakan sesuatu yang lain lagi. Sedikit berharap bahwa dia akan segera meledak dan tertawa terpingkal-pingkal, seperti sering dia lakukan jika sedang menggodaku. Tapi dia justru melanjutkan omongan tak terduganya itu.
“Gue suka sama lo.Gue nggak bisa membohongi perasaan gue sendiri. Gue memilih lo. Gue tau lo juga suka sama gue. Jangan bohong dengan bilang tidak. Gue tau lo. Gue pengin lo selalu sama-sama gue.”
Aku nggak bisa berpikir jernih. Nggak, ini semua salah. Aku cuma mimpi. Ini nggak nyata. Ello nggak mungkin bilang begitu sama aku. Dia nggak seperti itu.
“Ello, kamu bercanda,”aku tersenyum lemah tanpa daya. Karena aku sendiri tahu dia sangat serius.
“Serius.”
“Nggak, Lo. Ini cuma mimpi. Katakan kalau ini bukan mimpi, Lo. Bilang kalau ini bukan mimpi.” Entah kenapa aku merasa begitu sedih, padahal sudah lama aku menanti-nantikan Ello mengatakan hal itu. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku bukan cewek cengeng, tapi aku tak tau kenapa air bening ini bisa menetes.
“Ello,, jawab aku. Ini hanya mimpi kan?” rengekku.
Tiba-tiba Ello bangkit dan bilang “Tentu aja lo cuma mimpi. Bentar lagi lo bangun dan gue udah nggak ada di sini. Selamat tinggal, Ris.” Kata Ello dramatis dan tersenyum masam.
“Ello……………….”
***
“Ris, kamu udah bangun?” sebuah suara dalam yang lembut berkata padaku.
Aku merasa sangat pusing. Semuanya sangat gelap. Gelap yang tak wajar, ini pekat. Aku heran kenapa listrik padam. Kutunggu beberapa detik, siapa tahu lampu akan segera menyala. Kemudian kesadaran melandaku. Kesadaran yang membuatku bertambah pusing dan dadaku terasa sesak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku mencoba melihat sekelilingku, mencari-cari. Dimana-mana gelap.
“Ris..” suara itu muncul lagi. Mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. Ello, pikirku. Tidak, ini bukan suara Ello.
“Ello..”bisikku lemah.
“Ini aku Ris, Alex. Kamu mimpi Ello lagi ya?” suara itu bertanya hati-hati. Aku tiba-tiba menangis. Aku merasa sangat sedih dan terpukul. Untuk kesekian kalinya aku memimpikan Ello yang sudah sebulan ini tak pernah ada kabarnya. Ya, aku menyadari semuanya. Aku pun tak tahan lagi dan menangis tersedu-sedu. Tak peduli ada Alex di hadapanku. Kemudian kurasakan jemari menghapus air mataku. Jari-jari Alex yang hangat.
“Ris, I know it’s really hard for you. Tapi  aku akan sabar menunggumu untuk sadar kalau Ello tuh brengsek. Aku cuma pengin ngeliat kamu bahagia, tanpa harus terus-menerus memikirkan Ello. Kamu mau kan nglupain dia?”
Aku diam sejenak. Mendengarkan kata-kata Alex yang sudah sering diucapkannya meskipun dengan versi yang agak berbeda.
“Makasih ya Lex. Aku tau aku nggak bisa ngeliat. Tapi hati aku nggak buta. Makasih kamu udah sabar banget nemenin aku.” Kugenggam tangan Alex erat. Aku tak mau kehilangan orang yang sudah dengan tulus menerimaku apa adanya. Sejak kecelakaan itu merenggut penglihatanku, Ello tak pernah muncul lagi. Tapi aku tahu bahwa Tuhan telah mengirim Alex sebagai penggantinya.
***

-- The End --