Ini hanya mimpi. Aku
melihat kedua tanganku tak percaya, mengamati kesepuluh jariku dengan
garis-garis halus yang terlihat jelas dan sedikit urat nadi yang menonjol,
membolak-balik kedua telapak tanganku seolah aku belum pernah melihat tanganku
sebelumnya. Ini mimpi. Ya, aku pasti akan terbangun dan semua ini lenyap.
Karena penasaran kucubit lenganku sendiri.
"Ouch..!!"
"Kenapa Ris, kejedut
ya? Sorry deh, kamar gue emang sempit. Udah syukur bisa muat lemari sama bed.
Sakit nggak?" satu suara merespons reaksiku.
Aku menelusuri arah
datangnya suara itu dan menatap pemiliknya. Sesosok cowok berkulit cokelat
dengan hidung mancung dan rambut cepak. Wajahnya mengingatkanku pada seorang
artis Indonesia yang sedang naik daun, tapi untuk saat ini aku lupa namanya.
Dia sedang duduk bersila dan menoleh ke arahku, berpaling sejenak dari
komputernya yang menyala terang.
“Lo.. aku nggak mimpi kan?
Bilang enggak , Lo. Ini nyata kan? Sekarang tanggal berapa? 9 Agustus kan?”
cerocosku tanpa henti, dengan perasaan campur aduk mengedarkan mataku ke segala
penjuru kamar Ello, mencari-cari kalender. Ya, aku ingat nama artis itu
sekarang, Ello. Dan cowok di hadapanku ini memang mirip dengannya. Aku merasa
tak keruan. Kaget, gembira, tak percaya. Akupun menghampiri Ello yang tadi
sedang sibuk dengan script dramanya dan yang sekarang memandangku dengan
ekspresi bingung di wajahnya.
“Coba kamu rasa,” dan
akupun mencubit Ello, tidak terlalu keras tapi cukup membuat dia mengaduh.
“Aaw..!! Lo gila ya? Sakit
tau! Kenapa sih lo, kayak orang kesurupan aja, “ Ello berkata jengkel sambil
mengelus-elus lengannya yang baru saja kucubit.
“Sakit kan? Yee… Berarti
ini bukan mimpi. Ini nyata.. Ello, aku ngelihat kamu. Aku ngelihat kasurmu.
Aku…..” aku tak meneruskan perkataanku. Aku merasa begitu bahagia dan berlari
menuju pintu.
“Ello…!! Aku ngelihat pohon
beringin kesayanganmu. Aku juga liat Si Otoy!! “ aku berteriak, tak kuasa
memendam rasa gembiraku.
Ello menghampiriku dan
menempelkan punggung tangannya di dahiku.
“Nggak panas. Ini berapa?”
kata Ello sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Satu,” sahutku dengan
riang dan geli ngeliat muka Ello yang kebingungan.
“Normal. Kayaknya lo masih
kebawa mimpi deh, Ris. Mimpi apa sih lo, sampe ngigau-ngigau nggak jelas gini?”
tanya Ello jail.
“Aku nggak mimpi kok. Pergi
yuk!” kutarik tangan Ello dan mengajaknya keluar rumah. Kos tepatnya. Sudah dua
tahun ini Ello menyewa kos di deket kampus SDJ, salah satu universitas swasta
di Jogja. Satu jurusan denganku, Sastra Inggris. Dia selalu beralasan bahwa
kota metropolitan tak pernah terasa nyaman untuk belajar. That’s why, dia memutuskan untuk kuliah di Jogja dan hidup mandiri.
Dia selalu cerita padaku betapa dia selalu menggantungkan segala hal pada
orangtuanya di Jakarta. Sampai sekarang pun dia masih sering ditelefon ayahnya,
walau hanya sekedar menanyakan kabar. Dan kalau dia sedang telefon, aku selalu
merasa diabaikan. “Sorry Ris, bokap gue telefon.” Setelah itu aku pasti
menyibukkan diri. Aku tak pernah lupa kejadian ketika pertama kali aku kenal
Ello, karena itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang
akhirnya selalu ada di sampingku, saat suka maupun duka. Saat itu aku masih
semester 2 dan dia semester 4. Meskipun begitu, takdir mempertemukan kami di
kelas yang sama, kelas Pronunciation. Kami pun memiliki masalah yang sama.
Sama-sama susah mengucapkan ‘Excuse me,
Sir.’
***
Siang itu aku di kelas
seperti biasa dan seperti biasa pula aku tak kuat menahan kantuk. Akhirnya
kuputuskan untuk pergi ke toilet dan mencuci mukaku biar mataku melek. Pak
Randy adalah dosen Pronunciation yang terkenal dengan predikat ‘killer’. Jadi
aku tak mau ambil resiko keluar kelasnya tanpa ijin.
“Ekyusmi, Sir” kataku,
jelas-jelas mengucapkan dengan salah kalimat sederhana itu. Maklum lah, lidah
Jawa-ku belum terlatih mengucapkan bahasa bule. Bahkan aku melafalkan kata Sir
terlalu jelas dan medok. Pak Randy tampaknya tidak mendengar perkataanku. Maka
kubilang sekali lagi.
“Ekyusmi, Sir. May I wash my hand?” kataku lebih keras.
“Ello!!! You’ve already been the 4th
semester student. So, do you mind to tell that girl how to pronounce the words
correctly??” kata Pak Randy, mengagetkan seisi kelas, tanpa mengalihkan
pandangan dari buku filsafatnya yang berharga (Pronunciation tapi bawa buku
filsafat??). Ello pun terlonjak kaget dan geragapan.
“Which words, Sir?” Tanya Ello hati-hati. Takut membangunkan harimau
tidur.
“All that she said!!” jawab Pak Randy singkat.
Ello memandangku dengan
penuh tanya. Dia kelihatan sangat bingung dan tidak yakin.
“Emm… emm….” Hanya itu yang
keluar dari mulut Ello.
“Ello!!!!” tegur Pak Randy
keras dan galak, masih menekuni buku filsafatnya yang setebal beton.
“Ok2, Sir. Mmm… Miss, you have to say ‘Ikyusmi Sir. May I…..”
“You both get out and learn
how to pronounce the first two words!” Pak Randy mengusirku dan Ello, kali
ini dia mengarahkan pandangan pada kami dengan kacamata yang melorot sampai
menjepit hidungnya. Tak banyak cingcong, kami pun berlari keluar kelas.
Kantukku kontan hilang. Aku merasa geli sendiri saat Ello menyusulku keluar
dengan marah-marah.
“What a funny joke!” seru Ello sambil berkacak pinggang.
“Ketawa dong,” timpalku
iseng. Muka cemberut Ello malah membuatku semangat untuk bercanda. Dia pun
melihatku, dan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
“Ello.”
“Riska,” kataku, menyambut
uluran tangannya. “Aku jarang liat kamu. Kita beda kelas ya?” tanyaku. Aku
memang belum pernah melihat Ello sebelumnya, dan hari itu adalah hari pertama
perkuliahan setelah libur yang cukup panjang.
“Oh, nggak,’ jawabnya
sambil tersenyum dan aku lega melihatnya. Setidaknya, dia tak seserius
tampangnya. Dia mirip sekali dengan Ello, tapi aku putuskan untuk tak mengutarakan
ide konyolku itu, takut bikin dia ge-er. “Gue shopper, kemaren-kemaren gue
belum ngambil mata kuliah ini, habis dosennya sengak kayak gitu. Gue anak semester 4. Tadi kan ‘d killer uda
bilang. “
Lo gue- lo gue. Di kota berhati nyaman ini jarang orang memanggil
orang lain dengan sebutan lo atau gue. Pasti orang ibukota nih. Logatnya juga
kentel banget, kayak anak-anak gaul yang di TV-TV. Pikirku saat itu.
“Oh. He-eh. Tadi nggak
terlalu memperhatikan. Aku ngantuk banget soalnya, biasa, penyakit lama, hehehehe…
Kamu bukan asli Jogja ya?” tanyaku tanpa basa-basi. Tanpa sadar kami berjalan
menuju arah yang sama, tanpa tujuan yang jelas.
“Kok tau? Keliatan banget
ya?” dia tersenyum. Sangat manis.
“Lebih jelas daripada asal muasal Mr Killer,”
jawabku mencoba lucu. Dan reaksinya sungguh tak terduga.
“Hahahaha……” Ello tertawa
terpingkal-pingkal. Berlebihan menurutku, sungguh di luar ekspektasi. “Lo bisa
aja. Nggak nyangka, muka kayak lo ternyata bisa juga ngelawak. Hahahaha…..,”
Ello terus tertawa keras, sampai-sampai orang di sekitar kami menoleh. Aku jadi
malu sendiri.
Aku sebenarnya bukan tipe
orang yang mudah akrab sama orang yang baru aja kenal. Akupun menanggapi ucapan
Ello dengan kalimat yang biasa dan malu-malu.
“Hei, kamu diliatin
orang-orang tuh.” Ello spontan menutup mulutnya. Tampak sedikit salah tingkah,
atau mungkin merasa bersalah padaku.
“Sorry. Gue suka terbawa
suasana. Gue dari Jakarta. Elo anak sini ya? Ngomongnya medok banget.”
Seketika mukaku merah.
Belum pernah ada orang yang dengan jujur mengataiku medok. Aku sadar bahwa
logatku memang sangat Njawani kalo
kata orang Jogja, tapi mendengarnya dari orang lain ternyata nggak enak juga.
Tapi aku tahu, Ello tidak bermaksud apa-apa.
“Wah, kamu jujur banget ya.
Iya, rumahku cuma 10km dari sini. Naik angkot paling 15 menit. Kamu ngekos ya?”
Sejak saat itu aku dan Ello
tak terpisahkan. Seperti kepompong dengan tangkai pohon. Dia adalah sahabat
terbaik yang aku punya. Meskipun dia terlihat dewasa, tapi dia sangat cerewet
untuk ukuran cowok. Dia juga gampang tertawa, bahkan cuma untuk hal-hal kecil
yang walau dipaksa pun, aku tidak akan tersenyum. Itulah kenapa aku
menyukainya. Dia sangat apa adanya dan selalu bisa menghiburku dengan joke-jokenya yang kebanyakan garing. Dia
pun tak pernah mengeluh walau aku orangnya super extremely moody. Dia selalu punya cara untuk membangkitkan moodku.
Semuanya berjalan dengan
sangat baik dan wajar. Sampai aku sadar kalau aku sangatlah bergantung pada
Ello. Kalau tak ada dia, rasanya ada sesuatu yang hilang dalam diriku, seperti
aku lupa membawa sesuatu yang sangat penting dan berharga. Aku sadar bahwa aku
memliki perasaan yang lebih pada Ello. Buruknya lagi, aku merasa kalau Ello
juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Sudah lebih dari dua orang
bertanya pada kami tentang bagaimana hubungan kami sebenarnya. Setiap kali
ditanya seperti itu, jantungku berdetak keras. Aku ingin mengatakan pada teman-teman
cewekku bahwa aku menyukai Ello, tapi yang keluar setiap kali hanyalah, “Gak
ada apa-apa kok. Tanya aja sama Ello.”
Aku tak tahu apakah mereka
kemudian bertanya pada Ello. Dia pun tak pernah mengatakan apa-apa padaku. Kami
belum pernah sekalipun berbicara tentang perasaan jika bertemu. Obrolan kami
selalu berputar-putar pada hal-hal seperti kuliah, musik, makanan, keluarga,
dan remeh temeh lain. Tapi hatiku selalu melambung setiap kali Ello mengirimiku
sms, sekedar untuk mengucapkan “Met mlm” atau “Met bo2” atau “Gue kangen nih”. Aku
tak mau terlalu ge-er. Jadi kubalas sms Ello dengan kalimat yang biasa. Dan
siklus hidupku berlangsung seperti itu terus, hingga sedikit demi sedikit aku
merasa sakit karena harus memendam perasaanku pada Ello.
***
“Ris, kok bengong sih? Ntar
kesambet tau rasa!” Ello tiba-tiba mengagetkanku. “Habisin tuh makanan lo.
Inget,, banyak orang banting tulang cuma demi sebutir nasi. Ayo habisin!”
Ello emang selalu seperti
itu. Dan aku tahu dia serius. Dia cowok yang sangat peka pada lingkungan
sekitar.
“Iya2. Ini juga baru mau
dihabisin. Lagian kenapa sih buru-buru amat?” tanyaku manyun, tapi aku hanya
pura-pura. Perasaanku sangat aneh. Aku merasa sangat gembira melihat semua hal
yang ada di sekelilingku. Dan aku merasa sangat bahagia bisa makan berdua sama
Ello, seolah-olah sudah lama aku tak pernah melakukannya. Kutatap Ello yang
sedang menyuapkan nasi penuh-penuh ke mulutnya. Dia sangat tampan, bahkan
ketika sedang makan. Ya Tuhan, aku merasa sangat beruntung bisa duduk di
hadapannya saat ini. Ello menyadari tatapanku dan kami pun bertatapan. Aku tak
kuasa berkedip. Dan sejurus kemudian, Ello mengerjap dan berkata kaku. Aku
ikut-ikutan sadar.
“Ris, habis ini ke taman
deket kampus yuk.”
“Ngapain?” tanyaku singkat.
Ello tampak berpikir-pikir
sejenak, tapi kemudian dia kembali ke gayanya yang biasa.
“Gue bosen di kos. Pusing
juga ngerjain script drama nggak kelar-kelar. Mana si Heri nggak mau bantu
lagi. Butuh refreshing nih,”kata Ello, kemudian bangkit dan membayar bon pada
Ibu penjaga warung.
Jogja sangat panas siang
ini. Matahari terasa membakar kulitku. Warung tempat kami makan hanya berada di
seberang kampus dan taman yang akan kami tuju persis berada di samping kampus
kami. Jadi kami berdua hanya berjalan kaki. Selain panas, sinar matahari
akhir-akhir ini juga sangat menyilaukan dan membuatku selalu merasa kelelahan.
Aku dan Ello selalu menyalahkan fenomena global warming atas hal itu. Ya,
apalagi? Bulan ini seharusnya musim kemarau (menurut para ahli fisika dan geologi),
tapi tak jarang hujan turun dengan derasnya.
Tak butuh waktu lama bagi
kami untuk sampai di taman dan mengenyakkan diri di bawah pohon beringin yang
sangat besar. Sejuk sekali rasanya di tempat ini.
“Gila.. Panas banget nggak
sih. Fiuh… Serasa mau mati,” keluhku pada Ello.
“Emang lo tau rasanya
mati?” sahut Ello bercanda, ditambah dengan senyumnya yang jail.
“Ya belom. Aku kan cuma
hiperbolis.” Sahutku pula, lalu memasukkan telapakku yang panas ke dalam saku
jaket. Cukup nyaman rasanya.
“Ris..”
“Hmm…”
“Gue suka sama lo.” Ello
berkata tiba-tiba, kemudian menatapku dengan muka serius. Aku kaget. Jantungku
terasa berhenti berdetak. Untuk beberapa detik pertama, aku pikir Ello
bercanda. Tapi dia sama sekali tak mengubah ekspresinya yang serius itu. Aku tak
mampu mengucapkan apa-apa. Aku hanya diam, menunggu Ello mengatakan sesuatu
yang lain lagi. Sedikit berharap bahwa dia akan segera meledak dan tertawa
terpingkal-pingkal, seperti sering dia lakukan jika sedang menggodaku. Tapi dia
justru melanjutkan omongan tak terduganya itu.
“Gue suka sama lo.Gue nggak
bisa membohongi perasaan gue sendiri. Gue memilih lo. Gue tau lo juga suka sama
gue. Jangan bohong dengan bilang tidak. Gue tau lo. Gue pengin lo selalu
sama-sama gue.”
Aku nggak bisa berpikir
jernih. Nggak, ini semua salah. Aku cuma mimpi. Ini nggak nyata. Ello nggak
mungkin bilang begitu sama aku. Dia nggak seperti itu.
“Ello, kamu bercanda,”aku
tersenyum lemah tanpa daya. Karena aku sendiri tahu dia sangat serius.
“Serius.”
“Nggak, Lo. Ini cuma mimpi.
Katakan kalau ini bukan mimpi, Lo. Bilang kalau ini bukan mimpi.” Entah kenapa
aku merasa begitu sedih, padahal sudah lama aku menanti-nantikan Ello
mengatakan hal itu. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku bukan cewek cengeng,
tapi aku tak tau kenapa air bening ini bisa menetes.
“Ello,, jawab aku. Ini
hanya mimpi kan?” rengekku.
Tiba-tiba Ello bangkit dan
bilang “Tentu aja lo cuma mimpi. Bentar lagi lo bangun dan gue udah nggak ada
di sini. Selamat tinggal, Ris.” Kata Ello dramatis dan tersenyum masam.
“Ello……………….”
***
“Ris, kamu udah bangun?”
sebuah suara dalam yang lembut berkata padaku.
Aku merasa sangat pusing.
Semuanya sangat gelap. Gelap yang tak wajar, ini pekat. Aku heran kenapa
listrik padam. Kutunggu beberapa detik, siapa tahu lampu akan segera menyala.
Kemudian kesadaran melandaku. Kesadaran yang membuatku bertambah pusing dan
dadaku terasa sesak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku mencoba melihat
sekelilingku, mencari-cari. Dimana-mana gelap.
“Ris..” suara itu muncul
lagi. Mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. Ello, pikirku. Tidak, ini bukan
suara Ello.
“Ello..”bisikku lemah.
“Ini aku Ris, Alex. Kamu
mimpi Ello lagi ya?” suara itu bertanya hati-hati. Aku tiba-tiba menangis. Aku
merasa sangat sedih dan terpukul. Untuk kesekian kalinya aku memimpikan Ello
yang sudah sebulan ini tak pernah ada kabarnya. Ya, aku menyadari semuanya. Aku
pun tak tahan lagi dan menangis tersedu-sedu. Tak peduli ada Alex di hadapanku.
Kemudian kurasakan jemari menghapus air mataku. Jari-jari Alex yang hangat.
“Ris, I know it’s really
hard for you. Tapi aku akan sabar
menunggumu untuk sadar kalau Ello tuh brengsek. Aku cuma pengin ngeliat kamu
bahagia, tanpa harus terus-menerus memikirkan Ello. Kamu mau kan nglupain dia?”
Aku diam sejenak.
Mendengarkan kata-kata Alex yang sudah sering diucapkannya meskipun dengan
versi yang agak berbeda.
“Makasih ya Lex. Aku tau
aku nggak bisa ngeliat. Tapi hati aku nggak buta. Makasih kamu udah sabar
banget nemenin aku.” Kugenggam tangan Alex erat. Aku tak mau kehilangan orang yang
sudah dengan tulus menerimaku apa adanya. Sejak kecelakaan itu merenggut
penglihatanku, Ello tak pernah muncul lagi. Tapi aku tahu bahwa Tuhan telah
mengirim Alex sebagai penggantinya.
***
-- The End --
good job taak :))
ReplyDeleteThank you cin,, :)
ReplyDelete