Hi, Welcome to my blog, enjoy reading.
RSS

Saturday 11 August 2012

Tak Terkatakan




Ini hanya mimpi. Aku melihat kedua tanganku tak percaya, mengamati kesepuluh jariku dengan garis-garis halus yang terlihat jelas dan sedikit urat nadi yang menonjol, membolak-balik kedua telapak tanganku seolah aku belum pernah melihat tanganku sebelumnya. Ini mimpi. Ya, aku pasti akan terbangun dan semua ini lenyap. Karena penasaran kucubit lenganku sendiri.
"Ouch..!!"
"Kenapa Ris, kejedut ya? Sorry deh, kamar gue emang sempit. Udah syukur bisa muat lemari sama bed. Sakit nggak?" satu suara merespons reaksiku.
Aku menelusuri arah datangnya suara itu dan menatap pemiliknya. Sesosok cowok berkulit cokelat dengan hidung mancung dan rambut cepak. Wajahnya mengingatkanku pada seorang artis Indonesia yang sedang naik daun, tapi untuk saat ini aku lupa namanya. Dia sedang duduk bersila dan menoleh ke arahku, berpaling sejenak dari komputernya yang menyala terang.
“Lo.. aku nggak mimpi kan? Bilang enggak , Lo. Ini nyata kan? Sekarang tanggal berapa? 9 Agustus kan?” cerocosku tanpa henti, dengan perasaan campur aduk mengedarkan mataku ke segala penjuru kamar Ello, mencari-cari kalender. Ya, aku ingat nama artis itu sekarang, Ello. Dan cowok di hadapanku ini memang mirip dengannya. Aku merasa tak keruan. Kaget, gembira, tak percaya. Akupun menghampiri Ello yang tadi sedang sibuk dengan script dramanya dan yang sekarang memandangku dengan ekspresi  bingung di wajahnya.
“Coba kamu rasa,” dan akupun mencubit Ello, tidak terlalu keras tapi cukup membuat dia mengaduh.
“Aaw..!! Lo gila ya? Sakit tau! Kenapa sih lo, kayak orang kesurupan aja, “ Ello berkata jengkel sambil mengelus-elus lengannya yang baru saja kucubit.
“Sakit kan? Yee… Berarti ini bukan mimpi. Ini nyata.. Ello, aku ngelihat kamu. Aku ngelihat kasurmu. Aku…..” aku tak meneruskan perkataanku. Aku merasa begitu bahagia dan berlari menuju pintu.
“Ello…!! Aku ngelihat pohon beringin kesayanganmu. Aku juga liat Si Otoy!! “ aku berteriak, tak kuasa memendam rasa gembiraku.
Ello menghampiriku dan menempelkan punggung tangannya di dahiku.
“Nggak panas. Ini berapa?” kata Ello sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Satu,” sahutku dengan riang dan geli ngeliat muka Ello yang kebingungan.
“Normal. Kayaknya lo masih kebawa mimpi deh, Ris. Mimpi apa sih lo, sampe ngigau-ngigau nggak jelas gini?” tanya Ello jail.
“Aku nggak mimpi kok. Pergi yuk!” kutarik tangan Ello dan mengajaknya keluar rumah. Kos tepatnya. Sudah dua tahun ini Ello menyewa kos di deket kampus SDJ, salah satu universitas swasta di Jogja. Satu jurusan denganku, Sastra Inggris. Dia selalu beralasan bahwa kota metropolitan tak pernah terasa nyaman untuk belajar. That’s why, dia memutuskan untuk kuliah di Jogja dan hidup mandiri. Dia selalu cerita padaku betapa dia selalu menggantungkan segala hal pada orangtuanya di Jakarta. Sampai sekarang pun dia masih sering ditelefon ayahnya, walau hanya sekedar menanyakan kabar. Dan kalau dia sedang telefon, aku selalu merasa diabaikan. “Sorry Ris, bokap gue telefon.” Setelah itu aku pasti menyibukkan diri. Aku tak pernah lupa kejadian ketika pertama kali aku kenal Ello, karena itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang akhirnya selalu ada di sampingku, saat suka maupun duka. Saat itu aku masih semester 2 dan dia semester 4. Meskipun begitu, takdir mempertemukan kami di kelas yang sama, kelas Pronunciation. Kami pun memiliki masalah yang sama. Sama-sama susah mengucapkan ‘Excuse me, Sir.’
***
Siang itu aku di kelas seperti biasa dan seperti biasa pula aku tak kuat menahan kantuk. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke toilet dan mencuci mukaku biar mataku melek. Pak Randy adalah dosen Pronunciation yang terkenal dengan predikat ‘killer’. Jadi aku tak mau ambil resiko keluar kelasnya tanpa ijin.
“Ekyusmi, Sir” kataku, jelas-jelas mengucapkan dengan salah kalimat sederhana itu. Maklum lah, lidah Jawa-ku belum terlatih mengucapkan bahasa bule. Bahkan aku melafalkan kata Sir terlalu jelas dan medok. Pak Randy tampaknya tidak mendengar perkataanku. Maka kubilang sekali lagi.
Ekyusmi, Sir. May I wash my hand?” kataku lebih keras.
“Ello!!! You’ve already been the 4th semester student. So, do you mind to tell that girl how to pronounce the words correctly??” kata Pak Randy, mengagetkan seisi kelas, tanpa mengalihkan pandangan dari buku filsafatnya yang berharga (Pronunciation tapi bawa buku filsafat??). Ello pun terlonjak kaget dan geragapan.
Which words, Sir?” Tanya Ello hati-hati. Takut membangunkan harimau tidur.
All that she said!!” jawab Pak Randy singkat.
Ello memandangku dengan penuh tanya. Dia kelihatan sangat bingung dan tidak yakin.
“Emm… emm….” Hanya itu yang keluar dari mulut Ello.
“Ello!!!!” tegur Pak Randy keras dan galak, masih menekuni buku filsafatnya yang setebal beton.
“Ok2, Sir. Mmm… Miss, you have to say ‘Ikyusmi Sir. May I…..”
You both get out and learn how to pronounce the first two words!” Pak Randy mengusirku dan Ello, kali ini dia mengarahkan pandangan pada kami dengan kacamata yang melorot sampai menjepit hidungnya. Tak banyak cingcong, kami pun berlari keluar kelas. Kantukku kontan hilang. Aku merasa geli sendiri saat Ello menyusulku keluar dengan marah-marah.
What a funny joke!” seru Ello sambil berkacak pinggang.
“Ketawa dong,” timpalku iseng. Muka cemberut Ello malah membuatku semangat untuk bercanda. Dia pun melihatku, dan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
“Ello.”
“Riska,” kataku, menyambut uluran tangannya. “Aku jarang liat kamu. Kita beda kelas ya?” tanyaku. Aku memang belum pernah melihat Ello sebelumnya, dan hari itu adalah hari pertama perkuliahan setelah libur yang cukup panjang.
“Oh, nggak,’ jawabnya sambil tersenyum dan aku lega melihatnya. Setidaknya, dia tak seserius tampangnya. Dia mirip sekali dengan Ello, tapi aku putuskan untuk tak mengutarakan ide konyolku itu, takut bikin dia ge-er. “Gue shopper, kemaren-kemaren gue belum ngambil mata kuliah ini, habis dosennya sengak kayak gitu.  Gue anak semester 4. Tadi kan ‘d killer uda bilang. “
Lo gue- lo gue. Di kota berhati nyaman ini jarang orang memanggil orang lain dengan sebutan lo atau gue. Pasti orang ibukota nih. Logatnya juga kentel banget, kayak anak-anak gaul yang di TV-TV. Pikirku saat itu.
“Oh. He-eh. Tadi nggak terlalu memperhatikan. Aku ngantuk banget soalnya, biasa, penyakit lama, hehehehe… Kamu bukan asli Jogja ya?” tanyaku tanpa basa-basi. Tanpa sadar kami berjalan menuju arah yang sama, tanpa tujuan yang jelas.
“Kok tau? Keliatan banget ya?” dia tersenyum. Sangat manis.
“Lebih  jelas daripada asal muasal Mr Killer,” jawabku mencoba lucu. Dan reaksinya sungguh tak terduga.
“Hahahaha……” Ello tertawa terpingkal-pingkal. Berlebihan menurutku, sungguh di luar ekspektasi. “Lo bisa aja. Nggak nyangka, muka kayak lo ternyata bisa juga ngelawak. Hahahaha…..,” Ello terus tertawa keras, sampai-sampai orang di sekitar kami menoleh. Aku jadi malu sendiri.
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang mudah akrab sama orang yang baru aja kenal. Akupun menanggapi ucapan Ello dengan kalimat yang biasa dan malu-malu.
“Hei, kamu diliatin orang-orang tuh.” Ello spontan menutup mulutnya. Tampak sedikit salah tingkah, atau mungkin merasa bersalah padaku.
“Sorry. Gue suka terbawa suasana. Gue dari Jakarta. Elo anak sini ya? Ngomongnya medok banget.”
Seketika mukaku merah. Belum pernah ada orang yang dengan jujur mengataiku medok. Aku sadar bahwa logatku memang sangat Njawani kalo kata orang Jogja, tapi mendengarnya dari orang lain ternyata nggak enak juga. Tapi aku tahu, Ello tidak bermaksud apa-apa.
“Wah, kamu jujur banget ya. Iya, rumahku cuma 10km dari sini. Naik angkot paling 15 menit. Kamu ngekos  ya?”
Sejak saat itu aku dan Ello tak terpisahkan. Seperti kepompong dengan tangkai pohon. Dia adalah sahabat terbaik yang aku punya. Meskipun dia terlihat dewasa, tapi dia sangat cerewet untuk ukuran cowok. Dia juga gampang tertawa, bahkan cuma untuk hal-hal kecil yang walau dipaksa pun, aku tidak akan tersenyum. Itulah kenapa aku menyukainya. Dia sangat apa adanya dan selalu bisa menghiburku dengan joke-jokenya yang kebanyakan garing. Dia pun tak pernah mengeluh walau aku orangnya super extremely moody. Dia selalu punya cara untuk membangkitkan moodku.
Semuanya berjalan dengan sangat baik dan wajar. Sampai aku sadar kalau aku sangatlah bergantung pada Ello. Kalau tak ada dia, rasanya ada sesuatu yang hilang dalam diriku, seperti aku lupa membawa sesuatu yang sangat penting dan berharga. Aku sadar bahwa aku memliki perasaan yang lebih pada Ello. Buruknya lagi, aku merasa kalau Ello juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Sudah lebih dari dua orang bertanya pada kami tentang bagaimana hubungan kami sebenarnya. Setiap kali ditanya seperti itu, jantungku berdetak keras. Aku ingin mengatakan pada teman-teman cewekku bahwa aku menyukai Ello, tapi yang keluar setiap kali hanyalah, “Gak ada apa-apa kok. Tanya aja sama Ello.”
Aku tak tahu apakah mereka kemudian bertanya pada Ello. Dia pun tak pernah mengatakan apa-apa padaku. Kami belum pernah sekalipun berbicara tentang perasaan jika bertemu. Obrolan kami selalu berputar-putar pada hal-hal seperti kuliah, musik, makanan, keluarga, dan remeh temeh lain. Tapi hatiku selalu melambung setiap kali Ello mengirimiku sms, sekedar untuk mengucapkan “Met mlm” atau “Met bo2” atau “Gue kangen nih”. Aku tak mau terlalu ge-er. Jadi kubalas sms Ello dengan kalimat yang biasa. Dan siklus hidupku berlangsung seperti itu terus, hingga sedikit demi sedikit aku merasa sakit karena harus memendam perasaanku pada Ello.
***
“Ris, kok bengong sih? Ntar kesambet tau rasa!” Ello tiba-tiba mengagetkanku. “Habisin tuh makanan lo. Inget,, banyak orang banting tulang cuma demi sebutir nasi. Ayo habisin!”
Ello emang selalu seperti itu. Dan aku tahu dia serius. Dia cowok yang sangat peka pada lingkungan sekitar.
“Iya2. Ini juga baru mau dihabisin. Lagian kenapa sih buru-buru amat?” tanyaku manyun, tapi aku hanya pura-pura. Perasaanku sangat aneh. Aku merasa sangat gembira melihat semua hal yang ada di sekelilingku. Dan aku merasa sangat bahagia bisa makan berdua sama Ello, seolah-olah sudah lama aku tak pernah melakukannya. Kutatap Ello yang sedang menyuapkan nasi penuh-penuh ke mulutnya. Dia sangat tampan, bahkan ketika sedang makan. Ya Tuhan, aku merasa sangat beruntung bisa duduk di hadapannya saat ini. Ello menyadari tatapanku dan kami pun bertatapan. Aku tak kuasa berkedip. Dan sejurus kemudian, Ello mengerjap dan berkata kaku. Aku ikut-ikutan sadar.
“Ris, habis ini ke taman deket kampus yuk.”
“Ngapain?” tanyaku singkat.
Ello tampak berpikir-pikir sejenak, tapi kemudian dia kembali ke gayanya yang biasa.
“Gue bosen di kos. Pusing juga ngerjain script drama nggak kelar-kelar. Mana si Heri nggak mau bantu lagi. Butuh refreshing nih,”kata Ello, kemudian bangkit dan membayar bon pada Ibu penjaga warung.
Jogja sangat panas siang ini. Matahari terasa membakar kulitku. Warung tempat kami makan hanya berada di seberang kampus dan taman yang akan kami tuju persis berada di samping kampus kami. Jadi kami berdua hanya berjalan kaki. Selain panas, sinar matahari akhir-akhir ini juga sangat menyilaukan dan membuatku selalu merasa kelelahan. Aku dan Ello selalu menyalahkan fenomena global warming atas hal itu. Ya, apalagi? Bulan ini seharusnya musim kemarau (menurut para ahli fisika dan geologi), tapi tak jarang hujan turun dengan derasnya.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di taman dan mengenyakkan diri di bawah pohon beringin yang sangat besar. Sejuk sekali rasanya di tempat ini.
“Gila.. Panas banget nggak sih. Fiuh… Serasa mau mati,” keluhku pada Ello.
“Emang lo tau rasanya mati?” sahut Ello bercanda, ditambah dengan senyumnya yang jail.
“Ya belom. Aku kan cuma hiperbolis.” Sahutku pula, lalu memasukkan telapakku yang panas ke dalam saku jaket. Cukup nyaman rasanya.
“Ris..”
“Hmm…”
“Gue suka sama lo.” Ello berkata tiba-tiba, kemudian menatapku dengan muka serius. Aku kaget. Jantungku terasa berhenti berdetak. Untuk beberapa detik pertama, aku pikir Ello bercanda. Tapi dia sama sekali tak mengubah ekspresinya yang serius itu. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa. Aku hanya diam, menunggu Ello mengatakan sesuatu yang lain lagi. Sedikit berharap bahwa dia akan segera meledak dan tertawa terpingkal-pingkal, seperti sering dia lakukan jika sedang menggodaku. Tapi dia justru melanjutkan omongan tak terduganya itu.
“Gue suka sama lo.Gue nggak bisa membohongi perasaan gue sendiri. Gue memilih lo. Gue tau lo juga suka sama gue. Jangan bohong dengan bilang tidak. Gue tau lo. Gue pengin lo selalu sama-sama gue.”
Aku nggak bisa berpikir jernih. Nggak, ini semua salah. Aku cuma mimpi. Ini nggak nyata. Ello nggak mungkin bilang begitu sama aku. Dia nggak seperti itu.
“Ello, kamu bercanda,”aku tersenyum lemah tanpa daya. Karena aku sendiri tahu dia sangat serius.
“Serius.”
“Nggak, Lo. Ini cuma mimpi. Katakan kalau ini bukan mimpi, Lo. Bilang kalau ini bukan mimpi.” Entah kenapa aku merasa begitu sedih, padahal sudah lama aku menanti-nantikan Ello mengatakan hal itu. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku bukan cewek cengeng, tapi aku tak tau kenapa air bening ini bisa menetes.
“Ello,, jawab aku. Ini hanya mimpi kan?” rengekku.
Tiba-tiba Ello bangkit dan bilang “Tentu aja lo cuma mimpi. Bentar lagi lo bangun dan gue udah nggak ada di sini. Selamat tinggal, Ris.” Kata Ello dramatis dan tersenyum masam.
“Ello……………….”
***
“Ris, kamu udah bangun?” sebuah suara dalam yang lembut berkata padaku.
Aku merasa sangat pusing. Semuanya sangat gelap. Gelap yang tak wajar, ini pekat. Aku heran kenapa listrik padam. Kutunggu beberapa detik, siapa tahu lampu akan segera menyala. Kemudian kesadaran melandaku. Kesadaran yang membuatku bertambah pusing dan dadaku terasa sesak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku mencoba melihat sekelilingku, mencari-cari. Dimana-mana gelap.
“Ris..” suara itu muncul lagi. Mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. Ello, pikirku. Tidak, ini bukan suara Ello.
“Ello..”bisikku lemah.
“Ini aku Ris, Alex. Kamu mimpi Ello lagi ya?” suara itu bertanya hati-hati. Aku tiba-tiba menangis. Aku merasa sangat sedih dan terpukul. Untuk kesekian kalinya aku memimpikan Ello yang sudah sebulan ini tak pernah ada kabarnya. Ya, aku menyadari semuanya. Aku pun tak tahan lagi dan menangis tersedu-sedu. Tak peduli ada Alex di hadapanku. Kemudian kurasakan jemari menghapus air mataku. Jari-jari Alex yang hangat.
“Ris, I know it’s really hard for you. Tapi  aku akan sabar menunggumu untuk sadar kalau Ello tuh brengsek. Aku cuma pengin ngeliat kamu bahagia, tanpa harus terus-menerus memikirkan Ello. Kamu mau kan nglupain dia?”
Aku diam sejenak. Mendengarkan kata-kata Alex yang sudah sering diucapkannya meskipun dengan versi yang agak berbeda.
“Makasih ya Lex. Aku tau aku nggak bisa ngeliat. Tapi hati aku nggak buta. Makasih kamu udah sabar banget nemenin aku.” Kugenggam tangan Alex erat. Aku tak mau kehilangan orang yang sudah dengan tulus menerimaku apa adanya. Sejak kecelakaan itu merenggut penglihatanku, Ello tak pernah muncul lagi. Tapi aku tahu bahwa Tuhan telah mengirim Alex sebagai penggantinya.
***

-- The End -- 
               
 



               


2 comments:

Sweet... Sweet... Sweet...

Taste the sweetness of life

Saturday 11 August 2012

Tak Terkatakan




Ini hanya mimpi. Aku melihat kedua tanganku tak percaya, mengamati kesepuluh jariku dengan garis-garis halus yang terlihat jelas dan sedikit urat nadi yang menonjol, membolak-balik kedua telapak tanganku seolah aku belum pernah melihat tanganku sebelumnya. Ini mimpi. Ya, aku pasti akan terbangun dan semua ini lenyap. Karena penasaran kucubit lenganku sendiri.
"Ouch..!!"
"Kenapa Ris, kejedut ya? Sorry deh, kamar gue emang sempit. Udah syukur bisa muat lemari sama bed. Sakit nggak?" satu suara merespons reaksiku.
Aku menelusuri arah datangnya suara itu dan menatap pemiliknya. Sesosok cowok berkulit cokelat dengan hidung mancung dan rambut cepak. Wajahnya mengingatkanku pada seorang artis Indonesia yang sedang naik daun, tapi untuk saat ini aku lupa namanya. Dia sedang duduk bersila dan menoleh ke arahku, berpaling sejenak dari komputernya yang menyala terang.
“Lo.. aku nggak mimpi kan? Bilang enggak , Lo. Ini nyata kan? Sekarang tanggal berapa? 9 Agustus kan?” cerocosku tanpa henti, dengan perasaan campur aduk mengedarkan mataku ke segala penjuru kamar Ello, mencari-cari kalender. Ya, aku ingat nama artis itu sekarang, Ello. Dan cowok di hadapanku ini memang mirip dengannya. Aku merasa tak keruan. Kaget, gembira, tak percaya. Akupun menghampiri Ello yang tadi sedang sibuk dengan script dramanya dan yang sekarang memandangku dengan ekspresi  bingung di wajahnya.
“Coba kamu rasa,” dan akupun mencubit Ello, tidak terlalu keras tapi cukup membuat dia mengaduh.
“Aaw..!! Lo gila ya? Sakit tau! Kenapa sih lo, kayak orang kesurupan aja, “ Ello berkata jengkel sambil mengelus-elus lengannya yang baru saja kucubit.
“Sakit kan? Yee… Berarti ini bukan mimpi. Ini nyata.. Ello, aku ngelihat kamu. Aku ngelihat kasurmu. Aku…..” aku tak meneruskan perkataanku. Aku merasa begitu bahagia dan berlari menuju pintu.
“Ello…!! Aku ngelihat pohon beringin kesayanganmu. Aku juga liat Si Otoy!! “ aku berteriak, tak kuasa memendam rasa gembiraku.
Ello menghampiriku dan menempelkan punggung tangannya di dahiku.
“Nggak panas. Ini berapa?” kata Ello sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Satu,” sahutku dengan riang dan geli ngeliat muka Ello yang kebingungan.
“Normal. Kayaknya lo masih kebawa mimpi deh, Ris. Mimpi apa sih lo, sampe ngigau-ngigau nggak jelas gini?” tanya Ello jail.
“Aku nggak mimpi kok. Pergi yuk!” kutarik tangan Ello dan mengajaknya keluar rumah. Kos tepatnya. Sudah dua tahun ini Ello menyewa kos di deket kampus SDJ, salah satu universitas swasta di Jogja. Satu jurusan denganku, Sastra Inggris. Dia selalu beralasan bahwa kota metropolitan tak pernah terasa nyaman untuk belajar. That’s why, dia memutuskan untuk kuliah di Jogja dan hidup mandiri. Dia selalu cerita padaku betapa dia selalu menggantungkan segala hal pada orangtuanya di Jakarta. Sampai sekarang pun dia masih sering ditelefon ayahnya, walau hanya sekedar menanyakan kabar. Dan kalau dia sedang telefon, aku selalu merasa diabaikan. “Sorry Ris, bokap gue telefon.” Setelah itu aku pasti menyibukkan diri. Aku tak pernah lupa kejadian ketika pertama kali aku kenal Ello, karena itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang akhirnya selalu ada di sampingku, saat suka maupun duka. Saat itu aku masih semester 2 dan dia semester 4. Meskipun begitu, takdir mempertemukan kami di kelas yang sama, kelas Pronunciation. Kami pun memiliki masalah yang sama. Sama-sama susah mengucapkan ‘Excuse me, Sir.’
***
Siang itu aku di kelas seperti biasa dan seperti biasa pula aku tak kuat menahan kantuk. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke toilet dan mencuci mukaku biar mataku melek. Pak Randy adalah dosen Pronunciation yang terkenal dengan predikat ‘killer’. Jadi aku tak mau ambil resiko keluar kelasnya tanpa ijin.
“Ekyusmi, Sir” kataku, jelas-jelas mengucapkan dengan salah kalimat sederhana itu. Maklum lah, lidah Jawa-ku belum terlatih mengucapkan bahasa bule. Bahkan aku melafalkan kata Sir terlalu jelas dan medok. Pak Randy tampaknya tidak mendengar perkataanku. Maka kubilang sekali lagi.
Ekyusmi, Sir. May I wash my hand?” kataku lebih keras.
“Ello!!! You’ve already been the 4th semester student. So, do you mind to tell that girl how to pronounce the words correctly??” kata Pak Randy, mengagetkan seisi kelas, tanpa mengalihkan pandangan dari buku filsafatnya yang berharga (Pronunciation tapi bawa buku filsafat??). Ello pun terlonjak kaget dan geragapan.
Which words, Sir?” Tanya Ello hati-hati. Takut membangunkan harimau tidur.
All that she said!!” jawab Pak Randy singkat.
Ello memandangku dengan penuh tanya. Dia kelihatan sangat bingung dan tidak yakin.
“Emm… emm….” Hanya itu yang keluar dari mulut Ello.
“Ello!!!!” tegur Pak Randy keras dan galak, masih menekuni buku filsafatnya yang setebal beton.
“Ok2, Sir. Mmm… Miss, you have to say ‘Ikyusmi Sir. May I…..”
You both get out and learn how to pronounce the first two words!” Pak Randy mengusirku dan Ello, kali ini dia mengarahkan pandangan pada kami dengan kacamata yang melorot sampai menjepit hidungnya. Tak banyak cingcong, kami pun berlari keluar kelas. Kantukku kontan hilang. Aku merasa geli sendiri saat Ello menyusulku keluar dengan marah-marah.
What a funny joke!” seru Ello sambil berkacak pinggang.
“Ketawa dong,” timpalku iseng. Muka cemberut Ello malah membuatku semangat untuk bercanda. Dia pun melihatku, dan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
“Ello.”
“Riska,” kataku, menyambut uluran tangannya. “Aku jarang liat kamu. Kita beda kelas ya?” tanyaku. Aku memang belum pernah melihat Ello sebelumnya, dan hari itu adalah hari pertama perkuliahan setelah libur yang cukup panjang.
“Oh, nggak,’ jawabnya sambil tersenyum dan aku lega melihatnya. Setidaknya, dia tak seserius tampangnya. Dia mirip sekali dengan Ello, tapi aku putuskan untuk tak mengutarakan ide konyolku itu, takut bikin dia ge-er. “Gue shopper, kemaren-kemaren gue belum ngambil mata kuliah ini, habis dosennya sengak kayak gitu.  Gue anak semester 4. Tadi kan ‘d killer uda bilang. “
Lo gue- lo gue. Di kota berhati nyaman ini jarang orang memanggil orang lain dengan sebutan lo atau gue. Pasti orang ibukota nih. Logatnya juga kentel banget, kayak anak-anak gaul yang di TV-TV. Pikirku saat itu.
“Oh. He-eh. Tadi nggak terlalu memperhatikan. Aku ngantuk banget soalnya, biasa, penyakit lama, hehehehe… Kamu bukan asli Jogja ya?” tanyaku tanpa basa-basi. Tanpa sadar kami berjalan menuju arah yang sama, tanpa tujuan yang jelas.
“Kok tau? Keliatan banget ya?” dia tersenyum. Sangat manis.
“Lebih  jelas daripada asal muasal Mr Killer,” jawabku mencoba lucu. Dan reaksinya sungguh tak terduga.
“Hahahaha……” Ello tertawa terpingkal-pingkal. Berlebihan menurutku, sungguh di luar ekspektasi. “Lo bisa aja. Nggak nyangka, muka kayak lo ternyata bisa juga ngelawak. Hahahaha…..,” Ello terus tertawa keras, sampai-sampai orang di sekitar kami menoleh. Aku jadi malu sendiri.
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang mudah akrab sama orang yang baru aja kenal. Akupun menanggapi ucapan Ello dengan kalimat yang biasa dan malu-malu.
“Hei, kamu diliatin orang-orang tuh.” Ello spontan menutup mulutnya. Tampak sedikit salah tingkah, atau mungkin merasa bersalah padaku.
“Sorry. Gue suka terbawa suasana. Gue dari Jakarta. Elo anak sini ya? Ngomongnya medok banget.”
Seketika mukaku merah. Belum pernah ada orang yang dengan jujur mengataiku medok. Aku sadar bahwa logatku memang sangat Njawani kalo kata orang Jogja, tapi mendengarnya dari orang lain ternyata nggak enak juga. Tapi aku tahu, Ello tidak bermaksud apa-apa.
“Wah, kamu jujur banget ya. Iya, rumahku cuma 10km dari sini. Naik angkot paling 15 menit. Kamu ngekos  ya?”
Sejak saat itu aku dan Ello tak terpisahkan. Seperti kepompong dengan tangkai pohon. Dia adalah sahabat terbaik yang aku punya. Meskipun dia terlihat dewasa, tapi dia sangat cerewet untuk ukuran cowok. Dia juga gampang tertawa, bahkan cuma untuk hal-hal kecil yang walau dipaksa pun, aku tidak akan tersenyum. Itulah kenapa aku menyukainya. Dia sangat apa adanya dan selalu bisa menghiburku dengan joke-jokenya yang kebanyakan garing. Dia pun tak pernah mengeluh walau aku orangnya super extremely moody. Dia selalu punya cara untuk membangkitkan moodku.
Semuanya berjalan dengan sangat baik dan wajar. Sampai aku sadar kalau aku sangatlah bergantung pada Ello. Kalau tak ada dia, rasanya ada sesuatu yang hilang dalam diriku, seperti aku lupa membawa sesuatu yang sangat penting dan berharga. Aku sadar bahwa aku memliki perasaan yang lebih pada Ello. Buruknya lagi, aku merasa kalau Ello juga memiliki perasaan yang sama terhadapku. Sudah lebih dari dua orang bertanya pada kami tentang bagaimana hubungan kami sebenarnya. Setiap kali ditanya seperti itu, jantungku berdetak keras. Aku ingin mengatakan pada teman-teman cewekku bahwa aku menyukai Ello, tapi yang keluar setiap kali hanyalah, “Gak ada apa-apa kok. Tanya aja sama Ello.”
Aku tak tahu apakah mereka kemudian bertanya pada Ello. Dia pun tak pernah mengatakan apa-apa padaku. Kami belum pernah sekalipun berbicara tentang perasaan jika bertemu. Obrolan kami selalu berputar-putar pada hal-hal seperti kuliah, musik, makanan, keluarga, dan remeh temeh lain. Tapi hatiku selalu melambung setiap kali Ello mengirimiku sms, sekedar untuk mengucapkan “Met mlm” atau “Met bo2” atau “Gue kangen nih”. Aku tak mau terlalu ge-er. Jadi kubalas sms Ello dengan kalimat yang biasa. Dan siklus hidupku berlangsung seperti itu terus, hingga sedikit demi sedikit aku merasa sakit karena harus memendam perasaanku pada Ello.
***
“Ris, kok bengong sih? Ntar kesambet tau rasa!” Ello tiba-tiba mengagetkanku. “Habisin tuh makanan lo. Inget,, banyak orang banting tulang cuma demi sebutir nasi. Ayo habisin!”
Ello emang selalu seperti itu. Dan aku tahu dia serius. Dia cowok yang sangat peka pada lingkungan sekitar.
“Iya2. Ini juga baru mau dihabisin. Lagian kenapa sih buru-buru amat?” tanyaku manyun, tapi aku hanya pura-pura. Perasaanku sangat aneh. Aku merasa sangat gembira melihat semua hal yang ada di sekelilingku. Dan aku merasa sangat bahagia bisa makan berdua sama Ello, seolah-olah sudah lama aku tak pernah melakukannya. Kutatap Ello yang sedang menyuapkan nasi penuh-penuh ke mulutnya. Dia sangat tampan, bahkan ketika sedang makan. Ya Tuhan, aku merasa sangat beruntung bisa duduk di hadapannya saat ini. Ello menyadari tatapanku dan kami pun bertatapan. Aku tak kuasa berkedip. Dan sejurus kemudian, Ello mengerjap dan berkata kaku. Aku ikut-ikutan sadar.
“Ris, habis ini ke taman deket kampus yuk.”
“Ngapain?” tanyaku singkat.
Ello tampak berpikir-pikir sejenak, tapi kemudian dia kembali ke gayanya yang biasa.
“Gue bosen di kos. Pusing juga ngerjain script drama nggak kelar-kelar. Mana si Heri nggak mau bantu lagi. Butuh refreshing nih,”kata Ello, kemudian bangkit dan membayar bon pada Ibu penjaga warung.
Jogja sangat panas siang ini. Matahari terasa membakar kulitku. Warung tempat kami makan hanya berada di seberang kampus dan taman yang akan kami tuju persis berada di samping kampus kami. Jadi kami berdua hanya berjalan kaki. Selain panas, sinar matahari akhir-akhir ini juga sangat menyilaukan dan membuatku selalu merasa kelelahan. Aku dan Ello selalu menyalahkan fenomena global warming atas hal itu. Ya, apalagi? Bulan ini seharusnya musim kemarau (menurut para ahli fisika dan geologi), tapi tak jarang hujan turun dengan derasnya.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di taman dan mengenyakkan diri di bawah pohon beringin yang sangat besar. Sejuk sekali rasanya di tempat ini.
“Gila.. Panas banget nggak sih. Fiuh… Serasa mau mati,” keluhku pada Ello.
“Emang lo tau rasanya mati?” sahut Ello bercanda, ditambah dengan senyumnya yang jail.
“Ya belom. Aku kan cuma hiperbolis.” Sahutku pula, lalu memasukkan telapakku yang panas ke dalam saku jaket. Cukup nyaman rasanya.
“Ris..”
“Hmm…”
“Gue suka sama lo.” Ello berkata tiba-tiba, kemudian menatapku dengan muka serius. Aku kaget. Jantungku terasa berhenti berdetak. Untuk beberapa detik pertama, aku pikir Ello bercanda. Tapi dia sama sekali tak mengubah ekspresinya yang serius itu. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa. Aku hanya diam, menunggu Ello mengatakan sesuatu yang lain lagi. Sedikit berharap bahwa dia akan segera meledak dan tertawa terpingkal-pingkal, seperti sering dia lakukan jika sedang menggodaku. Tapi dia justru melanjutkan omongan tak terduganya itu.
“Gue suka sama lo.Gue nggak bisa membohongi perasaan gue sendiri. Gue memilih lo. Gue tau lo juga suka sama gue. Jangan bohong dengan bilang tidak. Gue tau lo. Gue pengin lo selalu sama-sama gue.”
Aku nggak bisa berpikir jernih. Nggak, ini semua salah. Aku cuma mimpi. Ini nggak nyata. Ello nggak mungkin bilang begitu sama aku. Dia nggak seperti itu.
“Ello, kamu bercanda,”aku tersenyum lemah tanpa daya. Karena aku sendiri tahu dia sangat serius.
“Serius.”
“Nggak, Lo. Ini cuma mimpi. Katakan kalau ini bukan mimpi, Lo. Bilang kalau ini bukan mimpi.” Entah kenapa aku merasa begitu sedih, padahal sudah lama aku menanti-nantikan Ello mengatakan hal itu. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku bukan cewek cengeng, tapi aku tak tau kenapa air bening ini bisa menetes.
“Ello,, jawab aku. Ini hanya mimpi kan?” rengekku.
Tiba-tiba Ello bangkit dan bilang “Tentu aja lo cuma mimpi. Bentar lagi lo bangun dan gue udah nggak ada di sini. Selamat tinggal, Ris.” Kata Ello dramatis dan tersenyum masam.
“Ello……………….”
***
“Ris, kamu udah bangun?” sebuah suara dalam yang lembut berkata padaku.
Aku merasa sangat pusing. Semuanya sangat gelap. Gelap yang tak wajar, ini pekat. Aku heran kenapa listrik padam. Kutunggu beberapa detik, siapa tahu lampu akan segera menyala. Kemudian kesadaran melandaku. Kesadaran yang membuatku bertambah pusing dan dadaku terasa sesak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku mencoba melihat sekelilingku, mencari-cari. Dimana-mana gelap.
“Ris..” suara itu muncul lagi. Mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. Ello, pikirku. Tidak, ini bukan suara Ello.
“Ello..”bisikku lemah.
“Ini aku Ris, Alex. Kamu mimpi Ello lagi ya?” suara itu bertanya hati-hati. Aku tiba-tiba menangis. Aku merasa sangat sedih dan terpukul. Untuk kesekian kalinya aku memimpikan Ello yang sudah sebulan ini tak pernah ada kabarnya. Ya, aku menyadari semuanya. Aku pun tak tahan lagi dan menangis tersedu-sedu. Tak peduli ada Alex di hadapanku. Kemudian kurasakan jemari menghapus air mataku. Jari-jari Alex yang hangat.
“Ris, I know it’s really hard for you. Tapi  aku akan sabar menunggumu untuk sadar kalau Ello tuh brengsek. Aku cuma pengin ngeliat kamu bahagia, tanpa harus terus-menerus memikirkan Ello. Kamu mau kan nglupain dia?”
Aku diam sejenak. Mendengarkan kata-kata Alex yang sudah sering diucapkannya meskipun dengan versi yang agak berbeda.
“Makasih ya Lex. Aku tau aku nggak bisa ngeliat. Tapi hati aku nggak buta. Makasih kamu udah sabar banget nemenin aku.” Kugenggam tangan Alex erat. Aku tak mau kehilangan orang yang sudah dengan tulus menerimaku apa adanya. Sejak kecelakaan itu merenggut penglihatanku, Ello tak pernah muncul lagi. Tapi aku tahu bahwa Tuhan telah mengirim Alex sebagai penggantinya.
***

-- The End -- 
               
 



               


2 comments: