Hi, Welcome to my blog, enjoy reading.
RSS

Wednesday 7 November 2012

Numb

I was afraid and still I am
for the past would never be forgotten
and the future would never be read
empty
the same feeling 
repeated time to time
empty
the world is always too huge
the ice is always too cold
numb
no fear
no grief
no joyfulness
no mercy
no hatred
no love
no thing
numb

Sunday 4 November 2012

The Messenger


Pagi ini penuh prahara. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini terasa seperti neraka bagi Rangga. Dia sudah terbiasa dengan suasana “horor” di rumahnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Menurut Rangga, ayahnya sudah keterlaluan.

Semua berjalan wajar awalnya, Rangga bangun jam 6 setelah mendengar teriakan alarm yang hampir membangunkan orang satu kompleks. Dia pun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Hari ini kuliahnya dimulai pukul 7. Ekonomi makro, matakuliah yang paling membosankan bagi Rangga. Pukul 6.30 Rangga sudah duduk di meja makan, berhadapan dengan ayahnya. Sepiring nasi dan telur serta segelas susu andalan mbak Siti sudah terhidang di hadapan mereka, melolong-lolong untuk dimakan.

Rangga mulai menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. Ayahnya pun melakukan hal yang sama. Hening. Rangga menelan suapan yang ketiga. Hening.

“Gimana hasil UTSmu?” tiba-tiba ayah Rangga buka suara. Dalam, parau, dan tidak terlalu jelas. Namun masih cukup jelas bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar. Rangga sejenak menghentikan suapannya, tanpa memandang ayahnya. Ekspresinya was-was, tapi dia berusaha tenang.

“Lumayan Pa, gak lebih buruk dari semester kemarin,” jawab Rangga akhirnya.

“Kamu tau bukan itu jawaban yang ingin papa dengar,” timpal ayah Rangga dengan nada datar yang sama.

Rangga diam. Dia sudah bosan dengan semua ini. Bukan salahnya kalau nilai-nilainya buruk. Dari awal dia sudah tidak berniat untuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Bahkan ekonomi adalah mata pelajaran yang paling dibencinya saat dia duduk di bangku SMA.

“Tadi pagi papa buang sampah.”

Rangga sedikit tertegun dan hampir-hampir tertawa. Kenapa tiba-tiba ayahnya membicarakan sampah? Apakah otaknya sudah terganggu?

“Semua barang-barang di bawah meja ruang tengah yang sudah tidak dipakai papa buang. Termasuk sampah-sampah kertasmu yang kamu biarkan teronggok tak berguna,” ayah Rangga melanjutkan sambil sedikit melirik anaknya.

Kesadaran menghantam Rangga. Kini dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Perlahan-lahan darahnya  mulai mendidih. Dia pun mendongak memandang ayahnya.

“Maksud papa, sketsa-sketsaku? Pa, sketsa itu baru kuselesaikan tadi malam. Aku lupa membawanya ke kamar, bukannya tidak berguna seperti kata papa. Dimana papa buang semua kertas-kertas itu?” Rangga pun beranjak dari kursinya dan sudah bersiap hendak mencari sketsa-sketsanya.

Ayah Rangga akhirnya mendongak menatap putranya. Masih dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang sulit ditebak. Namun kata-kata berikutnya yang keluar mampu membuat Rangga semakin emosi.

“Sudah berapa kali papa menyuruhmu untuk berhenti mengurusi omong-kosongmu itu? Mau jadi apa kamu nanti?! Kamu pikir kamu bisa gampang cari duit hanya dengan menjual hasil desainmu yang belum tentu disukai orang?! Hah?”

“Tapi menjadi arsitek itu adalah cita-citaku sejak kecil, Pa. Dan aku yakin Papa tahu itu. Aku yakin aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus meneruskan ambisi papa. Aku juga yakin kalau mama masih ada, pasti beliau juga akan mendukung keputusan aku!” bantah Rangga membabibuta. “Aku bukan boneka papa!!”

“Jangan bawa-bawa ibumu. Kamu masih kecil, tidak tahu apa-apa. Kamu belum merasakan kejamnya hidup. Aku dan mamamu bisa menjadi seperti ini juga karena didikan orang tua, karena kami menurut pada orang tua, kakek dan nenekmu,” papa Rangga berdiri kali ini.

“Hah! Iya pa, mama memang menurut. Tapi sebenarnya mama tertekan. Mama sakit karena beban pikiran. Dan itu semua karena papa dan keluarga papa yang hanya melulu memikirkan bisnis dan uang…!”

 “Cukup Rangga!! Berani sekali kamu bicara pada papa seperti itu! Sekarang keluar kamu sebelum habis kesabaran papa. Keluar!”

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Segera setelah mendengar kalimat ayahnya yang terakhir, Rangga pun bergegas keluar. Buru-buru dia nyalakan motornya. Di luar pagar, tak sengaja dia melihat ke bak sampah. Dia melihat beberapa lembar kertas dengan sketsa-sketsa desain bangunan yang digambarnya tadi malam. Rangga mengambil semua kertas itu dan langsung berlalu pergi, mengendarai motornya dengan kencang.

***

Sepanjang perjalanan, ingatan akan ucapan ayahnya masih melekat di pikiran Rangga. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia sudah muak dengan ayahnya, dengan situasi rumahnya yang seperti rumah hantu. Mungkin kalau Rio, kakaknya, masih tinggal bersama mereka, situasi akan menjadi lebih baik. Namun pekerjaan menuntut Rio untuk tinggal di luar pulau.

Rangga membenci sikap ayahnya. Dari kecil, Rangga merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Beruntung dia masih memiliki ibu hingga dia naik kelas dua SMA dan Rio yang bisa menjadi tempatnya bercerita setelah mamanya tiada. Namun sekarang, dia harus menghadapi kenyataan pahit tinggal berdua dengan ayahnya, bertiga dengan Mbak Siti yang pendiam.

Pikiran Rangga selalu dipenuhi dengan ambisinya menjadi seorang arsitek. Rangga sudah menunjukkan bakat menggambar dan berhitung yang hebat sejak masih TK. Kekagumannya akan bangunan megah dan indah semakin mendorongnya untuk kuliah di jurusan arsitektur. Tapi dia harus rela melepas semua impiannya demi meneruskan bisnis konveksi ayahnya yang berkembang pesat.

“Awaaaaas…!!!” Rangga berteriak kaget menyadari seorang anak perempuan kecil menyeberang di depannya. Untung dia berhasil mengerem motornya tepat waktu. Rangga terlalu sibuk melamunkan pertengkarannya dengan sang papa dan tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya.

Anak kecil itu juga memekik kaget. Rangga pun segera turun dari motor dan menghampiri gadis mungil itu untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tampaknya gadis itu adalah salah satu dari ribuan anak terlantar di Jakarta.

Rangga cukup terkejut setelah melihat anak itu dari dekat. Anak itu kira-kira berusia 5 tahun. Mungkin dia memang anak jalanan, namun wajahnya cantik dan damai seperti malaikat. Sorot matanya teduh namun bersinar-sinar penuh semangat. Rambut panjangnya memang memerah terbakar sinar matahari, tapi bersih. Pipinya merona merah dan senyumnya sangat lembut. Dia juga tidak kucel seperti anak yang tidak pernah mandi. Pakaiannya bersih dan badannya juga tidak kurus. Anak itu sungguh sangat lucu.

Rangga berjongkok untuk berbicara dengan anak itu. Sambil memegang kepalanya, Rangga pun bertanya dengan nada khawatir,”Adek, kamu gak papa?”

Anak itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tampaknya dia paham benar bahwa Rangga adalah orang baik yang tidak akan menyakitinya.

“Nama kamu siapa?” tanya Rangga lagi.

“Amel. Kakak siapa?” suara Amel yang ceria terdengar merdu di telinga Rangga dan begitu menenangkan hatinya.

“Kenalin, nama Kakak Rangga,” jawab Rangga sambil mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri. “Maafin kakak ya, tadi hampir nabrak kamu. Rumah kamu dimana? Kok pagi-pagi udah lari-larian di sini?”

“Amel gak punya rumah, Kak Rangga. Amel suka pindah-pindah tidurnya.

Jadi benar dugaan Rangga, Amel adalah salah satu dari banyak anak jalanan yang tersebar di seantero kota. Refleks, Rangga melihat sekeliling. Tampak satu gerobak bubur di pinggir jalan itu.

“Amel sudah makan?” tanya Rangga sambil tersenyum.

“Belum Kak.

“Sarapan bubur mau?”

Amel mengangguk dan berkata,”Tapi Kakak juga ikut makan.” Seolah Amel sudah tahu bahwa Rangga telah makan sedikit nasi dan telur pagi itu. Rangga pun mengiyakan. Lagipula, dia memang masih merasa lapar. Pertengkaran dengan ayahnya telah membuatnya kehilangan selera makan dan tidak menghabiskan menu andalan Mbak Siti. Dia bahkan memutuskan untuk membolos kuliah karena jelas-jelas dia sudah terlambat.

Rangga dan Amel duduk berjejer di kursi panjang sederhana, di samping gerobak bapak tukang bubur. Dalam beberapa menit saja, pesanan bubur mereka sudah datang. Amel memakan buburnya dengan bersemangat. Rangga mengamatinya sambil tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

“Kalau udah gede Amel mau jadi apa?” tanya Rangga membuka kembali percakapan mereka.

“Kalo udah gede, Amel pengin buat baju yang buanyaaak…banget!” jawab Amel menggemaskan sambil tetap mengunyah makanannya.

“Hahaha… Kenapa pengin buat baju?” tanya Rangga yang sedikit surprised juga dengan jawaban Amel. Rata-rata anak kecil kalau ditanyai soal cita-cita akan menjawab dokter, guru, penyanyi, dan jawaban standar lainnya.

“Soalnya Amel bajunya cuma satu kak. Temen-temen Amel juga. Jadi kalau Amel bisa buat baju sendiri, Amel bisa kasih ke temen-temen Amel. Gratis!!” jawab Amel, memamerkan gigi-gigi kecilnya pada Rangga.

Rangga terdiam sebentar, teringat pada ayahnya. Rangga adalah anak seorang pengusaha konveksi yang cukup terkenal. Sering berganti baju mahal dan branded merupakan hal biasa baginya. Sementara Amel harus memakai satu-satunya baju yang dia punya setiap hari. Menurut Rangga ini sungguh sangat ironis. Langsung terbersit dalam pikirannya untuk mengambil beberapa baju anak-anak produksi perusahaannya dan memberikannya pada Amel. 

“Kak Rangga kok diem? Kakak udah kenyang?” tanya Amel sambil mengayun-ayunkan kakinya yang belum bisa menjejak tanah dari tempat dimana dia duduk.

Rangga terhenyak, kemudian tersenyum setelah berhasil mencerna pertanyaan Amel. “Oh, gak Mel. Belum. Kakak masih lapeer…” sahut Rangga sambil meringis dan mengelus-elus perutnya sendiri, kemudian menyuapkan sisa bubur ke mulutnya dengan lahap.

***

Setelah pertemuan pertamanya dengan Amel, Rangga menjadi sedikit ceria, merasa hidup kembali, meskipun belum merasa utuh. Tiap beberapa hari sekali, Rangga menemui Amel. Makan bubur bersama di tempat yang biasa. Rangga suka akan kepolosan gadis kecil itu. Melihat muka malaikatnya selalu dapat mengingatkannya bahwa dunia ini tak melulu kejam. Namun, keadaan berubah 180 derajat ketika Rangga kembali ke rumah. Dia harus menghadapi suasana horor itu. Kembali menopang gelombang kehampaan yang sama. Rangga tak lagi memedulikan amarah ayahnya. Dia bersikeras untuk tetap menggambar dan mewujudkan cita-citanya meskipun itu berarti dia harus rela didiamkan ayahnya sepanjang waktu. Dia bahkan sempat berpikir bahwa suatu hari kelak ayahnya tidak akan sudi lagi menganggapnya anak.

Selasa siang yang panas. Rangga duduk di teras belakang. Suara bariton vokalis Avenged Sevenfold yang begitu dikaguminya mengalun dari smartphone dalam saku Rangga, mengalir tenang melalui headset yang bertengger di kepalanya. So far away. Lagu emosional ini selalu mengingatkan Rangga pada almarhumah ibunya. Akh, andaikan mama masih di sini… Pikir Rangga sambil menggoreskan pensil pada selembar kertas seukuran A3.

Ayah Rangga berjalan pelan mendekatinya dari ruang dalam. Ayahnya pun berdeham. Rangga menggumam kecil, menirukan suara Matt Shadows yang nyaring di telinganya. Ayahnya berdeham sekali lagi.

How do I live without the ones I love…” Rangga bersenandung semakin keras. Akhirnya ayah Rangga memutuskan untuk memanggilnya.

“Rangga…”

Rangga tak menoleh. Dia tak mendengar suara ayahnya sama sekali. Ayah Rangga hendak memanggilnya sekali lagi, namun tampaknya hal itu begitu berat baginya. Usahanya terhenti. Ayah Rangga memandangi sebentar sosok Rangga dari belakang, kemudian berbalik pergi.

Rangga merasa seseorang berdiri di belakangnya dan ia pun menoleh. Namun dia tak melihat siapa-siapa. Rangga hanya mengedikkan sedikit bahunya dan kembali mengguratkan pensilnya.

***

Rangga kembali bertemu dengan Amel. Kali ini Rangga membawakan Amel sebungkus eskrim dan mengajaknya untuk menghabiskan eskrim itu di taman. Dari tempat itu, Rangga bisa melihat dengan jelas bangunan hotel termewah di Jakarta. Dia hendak menggambar hotel itu dan berencana untuk merevisi desainnya menjadi sesuatu yang baru. Amel sangat senang menemani Rangga menggambar. Dia kagum akan keindahan sketsa-sketsa Rangga.

“Kak Rangga kok gambarnya bisa bagus banget? Pasti papa kak Rangga yang ngajarin,”Amel berujar sambil menjilat eskrimnya dengan ekspresi khas anak kecil yang kegirangan.

“Ah, Amel sok tau. Papa kak Rangga malah gak suka gambar. Gambar kakak suka dijadiin bantal sama dia,” sahut Rangga, mencoba bercanda meskipun hatinya tersayat.

“Wah, kasihan gambarnya dong, kak. Pasti rusak,” Amel kecil menimpali lagi sambil mengamati muka Rangga yang sedang serius menggambar.

Rangga hanya menjawab dengan senyuman. Beberapa detik kemudian Amel melontarkan pertanyaan yang tidak diduga-duga Rangga sebelumnya.

“Kak Rangga benci ya sama papa kakak?”

“Kok Amel nanyanya gitu?” tanya Rangga dengan kening berkerut, berpikir darimana Amel mendapatkan inspirasi untuk menanyakan hal semacam itu.

“Kan papanya kakak make gambar-gambar itu buat bantal. Padahal gambarnya bagus-bagus. Harusnya kan dipajang kak. Ditempel-tempel di dinding,” jawab Amel dengan ekspresi polos.

Rangga diam. Berpikir lama. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Dia sendiri tak mengerti apakah dia membenci ayahnya atau tidak. Ayahnya yang telah mencoba untuk mengubur impiannya. Ayahnya yang selalu ditakutinya karena selalu keras dan disiplin. Ayahnya yang memberi kebebasan lebih pada kakaknya, Rio, namun tidak padanya. Ayahnya yang selalu menganggapnya anak kecil. Ayahnya yang terbiasa meninggalkan keluarga berhari-hari karena urusan bisnis. Ayahnya yang telah membuat ibunya tertekan dan depresi. Namun tetap saja, sosok itu adalah ayahnya.

“Gak, Mel. Kakak gak benci sama papa. Beliau sudah membesarkan kakak sampe segede monster gini, masa’ kakak benci,” sahut Rangga akhirnya.

“Hihihi… bagus kak,” balas Amel sambil menepuk-nepuk lengan Rangga layaknya orang dewasa. Rangga geli juga dengan reaksi Amel, namun dia hanya tertawa.

“Kita emang gak boleh benci sama papa mama kita, kak. Nanti dosa. Amel malah pengin peluk papa Amel kalau ketemu, tapi gak bisa,” kata Amel sambil menunduk sedih dan menggenggam sedikit eskrim yang masih tersisa.

“Kenapa gak bisa, Mel?” tanya Rangga spontan.

“Papa Amel udah di surga,” jawab Amel singkat. Kemudian dia mendongak dan menatap Rangga yang trenyuh. Rangga bisa merasakan kesedihan gadis itu. Dan seolah, kesedihan itu adalah juga miliknya. “Tapi gakpapa. Amel seneng ketemu kakak. Kak Rangga baik, kayak papa Amel,” lanjut Amel sambil kembali memamerkan giginya yang kecil-kecil. Namun Rangga melihat sebutir kristal bening menggantung di sudut mata gadis itu.

Rangga tersenyum dan mengelus kepala Amel dengan lembut. Tiba-tiba dia sangat merindukan ayahnya.

***

Sudah tiga jam yang lalu sejak Mbak Siti menelepon Rangga untuk mengabari bahwa ayahnya mendadak pingsan ketika sedang membaca koran. Kini sang ayah tergolek lemah di atas seprei putih rumah sakit. Rangga duduk di kursi, di samping ayahnya dan memandang wajah sang ayah yang tampak pucat dan seperti menanggung duka mendalam. Baru kali ini Rangga menyadarinya. Di balik ekspresi kaku dan keras ayahnya tersimpan sepercik kepedihan yang menggantung.

“Rangga…” ayah Rangga tersadar dan memanggilnya dengan lirih.

“Iya pa. Aku di sini,” sahut Rangga segera, menghapus air mata yang sempat mengalir.

“Rangga, maafkan papamu, nak,” kata ayah Rangga dengan mantap meskipun dengan suara yang tidak terlalu jelas terdengar karena menahan sakit di jantungnya.

“Gak pa, Rangga yang minta maaf..

“Dengar dulu, papa belum selesai. Papa akui kalau papa egois. Kamu sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan sendiri jalan hidupmu. Tugas papa untuk mensupport setiap keputusanmu. Lanjutkanlah keinginanmu, nak.”

“Pa…

“Tapi satu yang papa minta. Selesaikan kuliahmu. Papa tidak akan melarangmu lagi untuk belajar hal lain. Mungkin suatu saat kamu bisa membuatkan papa sebuah istana,” pungkas ayah Rangga dengan sebuah senyuman sambil sedikit meringis kesakitan.

Sontak Rangga memeluk ayahnya. Sambil mengucapkan kata terimakasih dan maaf yang tak berkesudahan.

***

Rangga tak pernah berhasil lagi menemukan Amel setelah ayahnya pulang dari rumah sakit. Padahal dia ingin sekali berterimakasih pada gadis itu. Bahkan dia bermaksud untuk mengangkat Amel sebagai adik. Namun Amel memang tak pernah ada. Tidak penting sebenarnya apakah gadis itu ada atau tidak. Pesannya sudah tersampaikan.


Sunday 2 September 2012

A Flake of Memory


I once met a soul
With heavenly patience
With a handful of emotions
With a piece of feeling
Threatening the peacefulness
Yet carrying another cup of calm


Fresh breeze dropped by
Never been a treason nor a lie
Yet ended up with an expensive cry

I once met a soul
With a haunting shadow
Barely seen yet never gone

I wish I'd never met
I wish I'd never met

Saturday 1 September 2012

All are the Same

Two years, two months, what's the difference?
There's always pain
There were always scars
Rivers of tears
Another trial, another fail

Becoming a stranger, becoming precious, what's the difference?
There's always an encounter
Somebody must always leave
Let the storm strike
And swept away the fire forever 

Friday 31 August 2012

Dayu


Namanya Dayu. Gadis ayu yang duduk tepat di bawah jendela itu sedang menunduk dan mencatat sesuatu. Dia benar-benar manis dilihat dari sisi manapun. Mata bulat besar, hidung sedikit mancung, dan rambut hitam sebahu, ditambah dengan senyumnya yang sangat-sangat.. akh, sulit sekali mendeskripsikannya. Senyumnya mampu membuat aku tersetrum, ikut senyum-senyum sendiri, hingga tiba-tiba aku tersadar oleh ribut-ribut yang memanggil namaku.

                “Felix!”

                “Felix!!”

                “Felix!!!”

Setelah sadar kulihat sekeliling. Aduh, semua mata tertuju padaku, bahkan mata Dayu dan Miss Agnes. Aku langsung khawatir karena Miss Agnes menatapku dengan tajam. Sepertinya dia telah memanggilku dari tadi, saat aku menatap Dayu. Arrrggghhh….Malunya aku!! Apa Miss Agnes tahu kalau aku tadi sedang memandangi gadis itu?

                Felix, who were you thinking about?” tanya Miss Agnes sambil sedikit tersenyum. Aku lega karena Miss Agnes tidak marah, namun aku juga sedikit berdebar karena pertanyaan itu. Apa dia benar-benar tahu kalau aku tadi memandangi Dayu?

                “Hmm… mmm… No body, Miss. I just thought about something else. I’m having a problem with my thesis. I’m sorry, Miss,” jawabku memberi alasan sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Padahal aku belum menyentuh skripsiku sama sekali. Sial! Aku sadar sepenuhnya kalau alasanku tidak bermutu. Tapi aku rasa Miss Agnes tidak akan marah. Kulihat dia tipe orang yang sangat ramah, murah senyum, dan suka bercanda. Sepertinya usianya pun tidak berbeda jauh denganku yang sekarang sudah semester 8.

                Oh really? But I’m sure that you didn’t have any problem at all. You kept smiling while staring at Dayu,” balas Miss Agnes dengan senyum lebar. Gubraaakk…!!! Feeling-ku benar ternyata, Miss Agnes tahu dan dia terang-terangan menggodaku di depan semua teman-teman baruku. Sontak mereka semua tertawa dan ikut menggodaiku. Kata-kata favorit  pun keluar dari mulut-mulut gatal itu.

                “Ciee… Felix…”

                “Ehm.. Ehm.. Ada yang naksir nih…”

                “Haseeekk…”

Mataku spontan melirik ke arah Dayu untuk melihat reaksinya. Dia hanya tersenyum-senyum sambil sesekali mengklarifikasi dan sesekali menunduk. Apakah mataku menipuku? Sepertinya pipinya memerah. Atau dia kebanyakan pakai blush-on? Kuenyahkan semua pikiran tolol itu. Beberapa orang sudah terdiam, ketika Dayu berkata cukup keras pada orang di sebelahnya, kalau  tidak salah namanya Mella. Suaranya cukup keras untuk sampai di telinga Miss Agnes.

                Hey, what are you talking about? I don’t even know him, you know,” kata Dayu sambil sedikit menggoyang-goyangkan tangannya. Aduh,, bahkan goyangan tangannya pun terlihat indah sekali…

                No need to be shy, Dayu. I’m really glad that I find a romance in our first meeting. This is happy news, right?” kata Miss Agnes santai sambil berdiri bersandar di meja guru. Ternyata Miss Agnes memang “amazing”. Masih dibahas???

                No, Miss. Why are you gossiping?” Dayu membantah perkataan Miss Agnes dan mukanya kembali memerah.

                “Hahaha… Just kidding! You know class, there were once two students who fell in love until I found that they finally had a relationship and they usually didn’t focus on my explanation,” sambung Miss Agnes.

                Then, what did you do to them, Miss?” tanya cewek yang aku yakin bernama Mella itu. Sepertinya dia cewek yang banyak omong, dan terlalu ingin tahu menurutku.

                Then I kicked them out!” kata Miss Agnes pula. Hah? Murid pacaran terus diusir dari kelas? Gila, aku calon korban berikutnya nih sama Dayu (ngarep.com).

                “Whoaaa…!” beberapa murid menunjukkan kekagetannya.

                “Hahaha… Just kidding, guys! Again,” Miss Agnes tampak tertawa puas karena berhasil mengerjai beberapa dari kami. Oh my God, ada ya guru kayak gini? Aku jadi khawatir tidak bisa lulus level intermediate ini. Targetku kan aku lulus satu periode ini saja dan tidak perlu mengulang lagi. Hmm.. Menurut perhitunganku sih, aku sebenarnya sudah lumayan bisa berkomunikasi pakai Bahasa Inggris. Tapi kebijakan kampus mewajibkanku untuk mendapatkan sertifikat intermediate sebagai syarat ujian pendadaran. Ada-ada aja peraturan kampus jaman sekarang. Apa yang akan terjadi sama anak-anak yang kompetensi Bahasa Inggrisnya kurang? Yang mengerti Bahasa Inggris seperti aku mengerti Bahasa Jerman? Gila, mereka pasti harus ikut les terus dari level paling bawah sampai level intermediate ini. Itu pun kalau lancar. Misalkan mereka harus mengulang tiap level, mungkin baru tiga tahun mereka dapat sertifikat intermediate. Sampai di-DO kalau begitu ceritanya. Ck.. ck.. ck…

                OK, back to our lesson. Do you still remember what tense we use to talk about future plans or conditions?” Miss Agnes pun kembali ke pokok persoalan. Belajar. Dan dia baru saja menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah kuhafal di luar kepala. Aku pun spontan menjawab pertanyaan itu.

                Simple future tense, Miss. We can use the word “will” or “be going to”,” jawabku yakin.

                Exactly. Thank you, Felix. So, will you invite Dayu to a dinner this evening?”

                Arrrrrrrrrrgggggggggghhhhhhhhh…………………………..

***

                Sisa waktuku hari ini kuhabiskan untuk memikirkan Dayu. Tadi sore sepulang les aku berhasil mengajaknya ngobrol. Dia anak yang asik. Kejadian di kelas, soal aku yang tak bisa menahan diri melamunkannya, tidak membuatnya ill-feel padaku. Aku tak menyangka akan bertemu dengan calon soulmate-ku di tempat les yang baru. Dayu benar-benar telah menawan hatiku hanya dalam hitungan detik. Sayang aku tidak berani meminta nomor hapenya tadi. Tapi gadis secantik Dayu pasti sudah ada yang punya. Hah, nasib.

***

                Semakin hari aku semakin terhipnotis oleh Dayu. Dia telah menjadi semangatku untuk selalu berangkat les. Sebenarnya aku punya tiga kali kesempatan untuk membolos. Dengan memanfaatkan kesempatan itu, setidaknya aku masih tetap bisa dapat sertifikat. Tapi aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Dayu dan aku juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk duduk bersebelahan dengannya. Karena saat Miss Agnes tidak memperhatikan, aku bisa mengajak ngobrol Dayu mengenai hal-hal di luar kursus. Misalnya asalnya dari mana dan hobinya apa. Seperti yang terjadi sore tadi.

                Ok class. Please open the next page and do exercise 3,” perintah Miss Agnes pada kami semua di kelas.

                Ok, Miss,” terdengar beberapa suara menjawab. Beberapa yang lain langsung saja mengerjakan tanpa mengeluarkan suara sehalus apapun. Dahsyat!!

                Aku memperhatikan kalau Miss Agnes selalu mempunyai kebiasaan berkeliling kelas saat kami sedang mengerjakan latihan. Well, mungkin itu bukan kebiasaan, tapi strategi mengajar. Aku memang tidak terlalu tahu-menahu tentang trik mengajar yang jitu karena aku tidak kuliah di fakultas pendidikan. Tetapi menurutku memang perlu untuk mengecek pekerjaan muridmu jika kamu sendiri menjadi seorang guru. Sehingga ketika muridmu mengajukan pertanyaan, kamu bisa langsung menjawab pertanyaan itu dengan lebih jelas dan personal. Selain itu, kamu juga menguntungkan muridmu yang ingin pedekate seperti aku ini.

                Ketika itu aku sudah selesai mengerjakan soal-soal yang ditugaskan Miss Agnes. Dayu yang duduk di sebelahku pun kulihat sudah memain-mainkan pulpennya, sambil memelototi hasil pekerjaannya. Menurutku Dayu cukup pintar juga. Dia selalu berhasil mengerjakan exercise dalam waktu singkat, seperti juga aku, di saat yang lain masih mengetuk-ngetukkan pulpen mereka di pelipis, atau menggigit-gigit pulpen itu karena tidak tahu harus menjawab apa. Maka kusambar kesempatan emas itu untuk mengajak ngobrol Dayu.

                “Day, kamu udah selese ya?” tanyaku pada Dayu yang kemudian memalingkan wajahnya yang ayu untuk menjawab pertanyaanku. Oh God, jantungku berdetak keras.

                “Iya. Udah kucek juga berulang-ulang, kayaknya udah bener sih. Tapi gak terlalu yakin juga. Kamu juga udah?” Dayu balas bertanya padaku.

                “Iya nih. Ah, pasti udah bener semua deh jawabanmu. Hehehe… Ohya, jadi kamu tu aslinya dari Cilacap ya?” tanyaku setelah aku mendapat informasi beberapa hari yang lalu.

                “He’eh,” jawab Dayu singkat.

                “Deket sama nusa kambangan gak?” tanyaku lagi padanya. Selain untuk basa-basi, aku memang pensaran apakah rumahnya dekat dengan tempat yang digunakan sebagai penjara untuk napi kelas kakap itu.

                “Jauh. Aku pernah sekali kesana waktu SMA.”

                “Ohya? Nusa Kambangan tu kayak apa sih?”

Bla-bla-bla. Obrolan itupun terus berlanjut sampai Miss Agnes memutuskan untuk mengecek jawaban kami. Berbicara dengan Dayu terasa sangat nyambung dan asik. Aku semakin menyukainya. 

***

                “Kamu yakin udah bisa move on?” tanya Ichsan tanpa basa-basi. Kami sedang mengerjakan proyek kami untuk diujikan minggu depan. Proyek ini merupakan salah-satu jaminan kami bisa lulus dan menjadi engineer. Ichsan mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan memandangku dengan serius. Aku tahu dia sangat concern padaku. Aku diputusin Dana, mantanku, beberapa bulan yang lalu. Dia memutuskaan buat kuliah di Perancis, ikut papanya yang pindah tugas di sana. Dia memang baru saja masuk kuliah, jadi tak masalah baginya untuk mulai dari awal. Tapi itu masalah bagiku dan aku sudah mencoba memintanya untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Tapi dia tetap bersikukuh untuk putus dengan alasan yang klise sekali. Dia tidak bisa menjalani long distance relationship. Jadi mau tidak mau aku harus menerima keputusan Dana.

                “Yakin, bro. Dayu bener-bener udah mengalihkan duniaku,” jawabku serius tapi dengan setengah bercanda, mengutip tagline iklan.

                “Walah… Gak usah alay gitu deh. Wah, kayaknya si Dayu ini udah bener-bener bikin kamu jatuh cintrong ye. Tapi yakin gak dia belum punya cowok?” tanya Ichsan lagi.

                “Aku belum pernah tanya sih. Tapi kayaknya sih belum. Ya, aku mau pelan-pelan aja sih. Aku cuma yakin aja kalau Dayu tu cewek baik-baik , cantik banget, dan asik diajak ngobrol.”

                “Sip lah, Lix. Kalau kamu seneng, aku juga seneng. Eneg juga liat kamu melow lama-lama. Hahaha…”

                “Sialan!” kataku singkat sambil meninju lengan Ichsan.  

***

                Aku membulatkan tekad untuk mendekati Dayu. Karena dia telah membuatku galau siang dan malam. I want to make a move. Jadi aku putuskan untuk mencoba mengajak Dayu hangout malam nanti, sepulang les Bahasa Inggris. Aku tidak berharap banyak Dayu langsung mengiyakan ajakanku, tapi setidaknya aku sudah mencoba. Dan aku bukanlah tipe orang yang mudah menyerah.

                Setelah Miss Agnes mengucapkan kalimatnya yang biasa, “see you on the next meeting”, di akhir kelas, aku pun segera merapikan tasku dan mencari celah untuk berbicara berdua dengan Dayu. Akhirnya aku berhasil berjalan keluar kelas berdua dengannya. Aku tidak langsung mengutarakan niatku dan memutuskan untuk menyampaikannya saat sudah tiba di tempat parkir. Saat ini, aku belum berani. Jantungku serasa berlompatan, dan seperti ada yang bergulung-gulung di perutku. Maka aku memanfaatkan waktu ini untuk menetralisir perasaanku yang tidak karuan dan mengumpulkan keberanian.

                Ketika sudah tiba di luar gedung, aku tetap belum berani menyampaikan maksudku. Akhirnya yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan hampir standar...

                “Kamu bawa motor sendiri, Day?”

                “Gak. Hari ini aku dijemput,” jawabnya.

Aha! Aku bisa menjadikan hal itu alasan untuk mengantarnya pulang ke rumah, atau mengajaknya hangout dulu kalau dia mau. Baru saja aku ingin menawarinya untuk pulang bersama, dia berseru dengan tiba-tiba.

                “Nah, itu dia jemputanku datang.”

Aku ikut mengalihkan pandangan ke arah yang dia lihat. Tampak  Honda jazz putih berjalan pelan ke arah kami. Ketika mobil itu berhenti, keluar lah seorang cowok berbadan tinggi tegap, berkulit sawo matang, dan mengenakan setelan kasual. Alamak,,, ternyata Dayu memang sudah punya gandengan! Jantungku berdetak lebih cepat saat itu juga dan harapanku hampir pupus. Tenang Lix, mungkin dia kakaknya, kataku menenteramkan diri sendiri.

“Kenalin Lix, ini suamiku, Jo.”

Hatiku hancur seketika. Satu-satunya harapanku yang tersisa adalah semoga aku tidak pingsan dan jatuh di depan kaki mereka berdua.



-- The End --


Special thanks to:

*murid2ku yang udah kupinjam namanya, Dayu, Agnov, Mella, Ichsan, n Dana (maaf, gak ada royalty ^^)
*kelas Mid-B intensif yang udah menginspirasi cerita ini
*Miss Agnes,, tanpanya cerita ini gak akan ada ^_^


Friday 24 August 2012

Titik

Manusia rapuh yang tak punyai tujuan
Mengais-ngais asa
Mengail semangat di air keruh
Mengubur emosi di ruang terdalam
Mengesampingkan ambisi
Mengagungkan takdir
Mengabstrakkan kekonkretan

Wednesday 15 August 2012

Kepastian

Seekor semut menari
Menarikan tarian bisu tentang kebimbangan
Seekor laba-laba merajut jaring
Menuaikan pola kerumitan
Seekor jangkrik bernyanyi
Menyanyikan lagu sumbang ketidaksabaran
Indraku bersaksi
Merekam opera malam 
tanpa orkestra
Menggelitik pori-pori
Menyebar lewat nadi
Memberikan detak yang enggan berhenti
Berharaplah semut itu berpusing
dan menjauh dari matamu
Bermimpilah laba-laba itu menggulung jaringnya
dan tak meninggalkan pekat di arimu
Lalu kau bisa menutup matamu
dan berdoa jangkrik itu terbatuk
menghentikan nyanyiannya
Saat itulah orkestra itu akan meraja
menjalar ke seluruh nafas kulitmu
dan menghentikan penantian ini

Tuesday 14 August 2012

Ironi

Matahari dan air punya janji
Untuk mengandung awan mendung
Dan melahirkan rintik hujan

Matahari dan air punya mimpi
Untuk mengumpulkan rona dunia
Dan membangun pelangi

Matahari datang, air berseri dan tampaklah sinar dalam matanya
Matahari pulang, air berteriak dan menyendiri dalam gelap

Namun matahari dan air punya janji dan mimpi
Berjalan di setapak yang sama
Maka ketika sesosok manusia datang, dan berselingkuh dengan matahari
Air pun surut
Dan pergi untuk selama-lamanya


Tanya



Bagiku cinta hanya sekali seumur hidup. Mungkin orang menganggapku kuno, konservatif, atau naïf. Aku tak peduli. Akulah yang berjalan dengan kakiku, bernapas dengan paru-paruku, berpikir dengan otakku, dan merasakan banyak hal dengan hatiku. Aku heran, kenapa orang suka sekali menggosipkan orang lain. Terutama wanita suka menggosipkan wanita lain. Yah, usiaku memang sudah tidak muda lagi, menjelang 3o tahun. Tapi sekali lagi, apa pedulimu, sih? Apakah kalau nanti aku menikah, kamu yang akan membuatkan suamiku segelas kopi di pagi hari? Apakah ketika suamiku bangun tidur, kamu yang akan mengecup keningnya? Apakah saat suamiku tertimpa masalah besar, dia akan pergi padamu untuk berkeluh kesah dan mencari tempat bernaung? Tidak. Hanya aku. Aku yang bertanggungjawab dengan hidupku sendiri, kecuali kamu adalah bayanganku yang selalu ikut kemanapun aku pergi. Akh, tidak. Bayanganku pun tidak berhak mengatur hidupku.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun bahwa sampai detik ini aku belum punya kekasih. Sebenarnya aku bingung dengan akar kata ini. Kalau kekasih itu berarti “yang terkasih” maka dia bisa siapa saja, yang penting dia aku kasihi. Tapi kamu pasti tahu yang aku maksud. Aku memang belum mau. Alasannya mungkin memang tidak sederhana, dan tidak hanya satu. Yang terpenting tetap prinsipku, punya pacar sekali langsung menikah untuk seumur hidup. Aku tidak suka bermain. Alasan yang kedua lebih tidak sederhana lagi. Aku takut. Takut realita yang tragis akan menimpaku suatu hari kelak jika aku sudah berumahtangga. Aku takut jika ternyata suamiku adalah orang yang keras dan tidak bertanggungjawab seperti bapakku dulu. Hingga akhirnya yang diterima ibuku selama tahun-tahun pernikahannya dengan bapakku adalah sampah. Aku juga takut pada diriku sendiri. Takut tidak bisa menjadi istri yang baik, melayani dan merawat dengan penuh kasih. Itu semua selalu membuatku bimbang untuk punya pacar, bahkan bimbang untuk jatuh cinta.
Tapi jika aku tak menikah, aku juga takut. Bagaimanapun aku butuh sosok yang menyayangiku dengan sepenuh hati dan bersedia merawatku hingga aku mati. Aku tidak peduli dengan perkataan tetanggaku, tetapi aku punya dua adik perempuan. Mereka juga sudah dewasa, yang bungsu pun sebenarnya sudah pantas untuk menikah. Aku tahu kedua adikku tidak mempermasalahkan status lajangku. Mereka juga tumbuh sebagai perempuan modern yang tidak takut menjadi perawan tua. Karena menikah bukanlah tujuan utama hidup di dunia. Meski begitu aku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika aku tak segera memikirkan tentang pernikahan. Aku sudah bekerja. Meskipun gajiku tidak besar, tetapi tetap tidak akan menjadi halangan untuk menikah. Aku perempuan. Suamiku akan menafkahiku. Walaupun ibuku selalu mewanti-wanti aku dan kedua adikku untuk menjadi pribadi yang mandiri, yang bisa menghidupi diri sendiri. Sehingga kelak kalau menikah pun, kami tidak akan bergantung pada suami. Ibuku memang luar biasa. Kehidupan yang keras telah membentuknya menjadi sosok yang tahan banting dan penuh tekad. Ibuku luar biasa, maka aku tak menyalahkannya.
Adikku yang bungsu bernama Hasti. Dia tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik. Mungkin itulah yang menyebabkan dia bisa dekat dengan beberapa pria. Aku tidak yakin apakah mereka semua pernah menjadi pacarnya, namun setidaknya Hasti sering mengalami yang dinamakan jatuh cinta. Lebaran tahun lalu kami berkumpul di rumah seperti biasa. Adikku yang kedua juga sudah bekerja di kota yang sama denganku. Sehingga hari raya besar seperti ini selalu kami tunggu-tunggu, karena hanya pada hari libur lah kami bisa pulang kampung. Seperti biasa pula kesempatan seperti ini kami manfaatkan untuk saling berbagi cerita. Dan sampailah pada topik si bungsu.
Lia, adikku yang kedua bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya ke layar televisi dengan tangan kiri memegang stoples camilan dan tangan kanan sibuk menyusurkan camilan ke mulutnya, “Eh has, pacar lo siapa sekarang?”
Hasti senyum-senyum saja, aku tak tahan untuk menimpali omongan Lia. “Iya nih. Pasti udah ganti lagi!”   
“Hahaha… Mau tau aja sih? Ada emang, kakak tingkat gue. Tapi kita nggak pacaran, serius. Deket doang.” Hasti sibuk mengamati kuku-kukunya yang sebenarnya tampak baik-baik saja. Aku tahu dia malu. Akh, teenage romance.
“Elonya aja kan yang ngarep? Hahaha….” Lia menggoda Hasti tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar televisi. Aku pun ikut tertawa.
           Aku tidak bisa menahan diri untuk mencoba mencari tahu, atau lebih tepatnya memancing respons Hasti. Apakah responsnya akan seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia tahu aku masih belum punya pacar saat itu. Dan sekarang pun belum.
“Elo mau nikah dulu juga gapapa lho, Has. Gue masih lama nih soalnya.” Aku berkata padanya seolah itu hanyalah candaan tak bermakna, padahal aku cukup cemas menunggu apa yang akan dia pakai sebagai jawaban.
“Yaelah. Kaga lah. Gue mah masih kecil, masih jauh nikah-nikahan. Tetep elo duluan lah. Makanya cari pacar sono. Hahaha…”
Aku tahu Hasti tidak bohong. Dia juga tidak ingin buru-buru menikah. Tak bisa kupungkiri hal itu cukup melegakan aku. Setidaknya aku tidak membuat perasaan adikku gundah. Aku sangat menyayangi keluargaku. Kami hidup dalam suasana penuh kasih. Kami berempat, tanpa Bapak. Karena beliau sudah tiada ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah keluargaku terpuruk atau malah justru membaik setelah kepergian Bapak. Tapi bagaimanapun aku sangat mencintai Bapak. Dia Bapakku. Suami ibuku. Dia yang turut andil atas lahirnya aku. Aku tak tahu apakah orang lain bisa memahami ikatan antar anggota keluarga kami. Ya, rumah tangga Bapak Ibuku carut marut. Tetapi kami saling menyayangi. Amat sangat sayang.
***
Siang ini tidak banyak pekerjaan di kantor. Aku bekerja sebagai admin salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Temanku tidak terlalu banyak. Namun di antara koloni kecil itu, salah satunya sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Namanya Mega. Dia sangat peduli padaku. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku tapi dia sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua bocah yang lucu-lucu, mungkin itulah sebabnya dia juga sangat concern dengan kehidupan asmaraku.
Jam makan siang tiba. Aku dan Mega memutuskan untuk makan di kantin kantor. Biasanya kami pergi keluar karena bosan dengan makanan kantin yang itu-itu saja. Tetapi siang ini sangat panas dan kami sedang tak mau mengambil risiko membuat kulit semakin gosong. Baru beberapa detik kami duduk, Mega sudah membuka percakapan dengan kata-kata yang cukup mengagetkanku.
“Tih, temen gue ada yang mau kenalan sama lo. Namanya Ryan. Dia temen SMA gue dan sekarang kerja jadi staff marketing di Sudirman. Gimana?” Dia kemudian mencomot sepotong brownies dan menelannya dengan lahap.
“Hah? Kok bisa tahu gue? Gimana ceritanya?” aku sungguh-sungguh kaget. Mega tak pernah sekalipun membicarakan tentang temannya padaku. Bagaimana pula si Ryan ini bisa berinisiatif untuk mengajak aku berkenalan??
“Lewat Facebook. Kapan itu pas gue buka Facebook, ga sengaja dia lihat akun lo. Terus nanya-nanya tentang lo terus. Kayaknya sih dia tertarik banget sama lo. Dia lagi nyari calon istri tuh, kasihan udah sering ditolak cewek. Padahal sih menurut gue dia ganteng, baik hati aja pake banget, udah gitu penurut pula. Mungkin juga terlalu penurut sih, jadinya cewek-ceweknya malah pada ninggalin. Mau kaga lo?”
Aduh, gawat. Aku jadi bingung. Aku belum begitu kepengin mencari calon pendamping hidup, tapi setelah kupikir tidak ada salahnya untuk dicoba. Toh kalau gak cocok ya tidak usah dijalani. Aku tidak mau terlalu berurusan dengan galau menggalau, seperti anak muda jaman sekarang. Sudah bukan saatnya lagi.
“Mmm… Gimana ya Ga? Gue liat facebooknya dulu deh. Boleh gak?” Akhirnya kuputuskan untuk melihat akun Facebook pria itu terlebih dahulu. Bukannya aku mementingkan fisik. Tapi siapa tahu dengan melihat wajahnya terlebih dulu, aku jadi lebih siap untuk bertemu di dunia nyata. Mega mengangguk dan mulai memencet tombol-tombol di hape Androidnya. Beberapa menit kemudian dia mengangsurkan hapenya padaku. Kuambil hape itu dan melihat akun facebook dengan foto profil seorang pria yang lumayan ganteng.
“Gimana, ganteng kan? Pasti lah, sobat gue!” Mega menggoda jail sambil mengedip-ngedipkan matanya padaku.
“Lumayan sih…”
“Yah, masak lumayan doang. Ganteng itu. Sama Mas Gege aja gantengan dia.”
Tampaknya Mega hanya mencoba merayuku. Mas Gege adalah suaminya. Dan setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan mengakui kalau dia itu charming. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menerima ajakan si Ryan ini, yang setelah pertemuan itu akan kupanggil Mas Ryan.
“Ok deh. Kapan dia mau ketemu gue?” tanyaku sambil mengembalikan hape Mega. Dalam hati aku tidak terlalu mengharapkan rencana ini terjadi. Mega menepuk pundakku dengan kegirangan.
“Nah, gitu dong. Gampang, ntar gue atur deh. Ayo sekarang kita pesen main course-nya. Gado-gado dua ya, buk!”
***
Setelah sebulan jalan bersama, akhirnya aku dan Mas Ryan memutuskan untuk serius. Dia telah berulang kali mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Aku tersanjung jujur saja, tapi aku belum siap. Terkadang aku merasa terlalu cuek padanya. Padahal benar kata Mega, dia orang yang sangat baik. Dia tidak pernah berbicara kasar dan selalu sopan padaku. Aku heran kenapa dia bisa menyukaiku. Satu hal yang membuatku sangat nyaman bersamanya adalah kesabarannya. Pernah suatu kali dia mengajakku untuk berkenalan dengan salah satu tantenya. Itu artinya bertamu dan mengobrol dengan tantenya. Tentu saja aku belum siap. Semua ide tentang menjalin silaturahmi dengan calon keluarga baru malah membuatku pusing dan mual. Mas Ryan sedikit memaksa ketika itu, yang akhirnya kusadari mungkin karena dia ingin menunjukkan keseriusannya denganku. Aku jadi sebal karenanya, dan kata putus sempat keluar dari mulutku. Menyesal aku pernah mengatakannya.
“Ratih, dia tanteku yang paling dekat denganku. Dia baik banget kok, kamu pasti nyambung ngobrol sama dia. Ayolah, ini juga cuma makan malam biasa. Dia gak akan menginterogasimu.” Kala itu Mas Ryan mengatakannya dengan menggenggam tanganku. Aku merasa sedikit kasihan, tetapi tetap saja aku tidak siap.
“Tapi kamu tahu aku belum siap, Mas. Kita baru jalan sebulan lebih sedikit. Kenapa harus buru-buru sih? Waktu kita masih banyak.”
“Tapi Tih, aku gak pernah minta apa-apa dari kamu. Sekali ini saja aku mohon. Tanteku sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku tumbuh besar dengannya. Mengertilah sedikit, Tih.”
Apa?? Mengertilah sedikit?? Memangnya dia sudah mencoba mengerti aku? Seharusnya Mas Ryan memahami perasaanku. Aku butuh persiapan. Dia tidak perlu takut. Kalau aku sudah memutuskan untuk memilihnya, Insya Yesus dia akan bersamaku selamanya. Dan waktu masih sangat panjang. Kenapa harus terburu-buru?
“Mengertilah sedikit katamu, Mas? Jadi kamu mau bilang kalau aku tidak pengertian? Hal-hal kayak gini nih yang bikin aku gak pernah mau serius. Ribet!” Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dan menekankan kata terakhir, supaya Mas Ryan tahu kalau aku stress dibuatnya.
“Astaga, bukan gitu, Tih! Kamu sering banget kayak gini. Aku…”
Belum selesai omongan Mas Ryan, aku sudah memotongnya. Aku tak pernah mau ribut. Pertengkaran selalu mengingatkanku pada Ibu dan Bapakku, yang membuat semacam trauma dalam diriku.
“Aku apa? Mau putus? Ya udah. Aku gapapa kok.” Kataku saat itu sambil memunggungi Mas Ryan. Aku tidak suka dia harus melihatku saat sedang marah.
“Ya ampun, Tih. Aku belum selesai ngomong. Aku tu cuma bingung apa salahku. Aku gak pengin putus dari kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku bener-bener pengin kamu jadi yang terakhir dalam hidupku.”
Aku terdiam. Selama ini aku sangat susah jatuh cinta. Pada awalnya pun aku tidak memiliki perasaan apa-apa pada Mas Ryan. Tapi kesabaran dan keteguhan hatinya telah meluluhkan aku. Aku mulai menyayangi pria ini. Jauh di lubuk hatiku, aku juga tidak ingin kehilangan dia. Setelah mengatur nafasku, aku membalikkan punggungku. Mas Ryan sedang memandangku. Tatapannya lurus menatap kedua mataku, seolah dia sedang mencari-cari jawaban. Dan ini yang paling kubenci. Tatapan mata itu mengandung permohonan maaf. Dia tidak pernah punya salah apapun. Aku benci mengakui bahwa akulah yang egois.
Kami berdua tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia memelukku, dan aku membalas pelukannya. Dalam hati aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan pria yang begitu baik ini padaku. Tuhan, aku mencintai pria ini. Tolong maafkan aku telah melukai perasaannya. Aku sayang padanya Tuhan. Sangat sayang.
***
Bulan demi bulan pun berlalu. Setelah hubunganku dengan Mas Ryan berjalan 10 bulan, kami memutuskan untuk menikah. Aku sudah bertemu dengan kedua orangtuanya, begitupun sebaliknya. Jadi hubungan kami direstui. Kedua adikku pun mendukung keputusanku. Kadang aku berpikir bahwa ide ini sungguh gila. Setelah sekian lama akhirnya aku akan menikah! Aku bahagia dan aku merasa tenang memiliki calon suami seperti Mas Ryan. Dia benar-benar jauh dari sosok pria monster yang selama ini selalu membuatku takut untuk berhubungan serius. Dia bahkan mau merawatku ketika aku sakit, yang berarti bahwa dia harus bolak balik ke rumah, tempat kerja, dan kosku. Dia benar-benar seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
Kami telah merencanakan pernikahan kami. Seperti apa konsepnya, berapa tamu yang akan diundang, dan kira-kira berapa dana yang kami butuhkan. Namun kami belum merencanakan tanggal. Target kami adalah tahun depan, mungkin setelah tahun baru. Harapannya adalah tahun baru, lembaran baru. Hari ini hari Minggu. Aku duduk saja di kosku karena aku dan Mas Ryan sudah ke gereja kemarin sore. Katanya Mas Ryan mau pergi menemui teman lamanya pagi ini. Aku tidak mau ikut, karena takut merusak suasana reuni itu nantinya. Aku sedang melihat berbagai model gaun pengantin di salah satu majalah fashion, ketika hapeku tiba-tiba berdering. Terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di ujung telepon.
“Halo, ini Ratih kan?”
“Iya. Ini siapa ya?” tanyaku dengan sopan.
“Gue Fabi, Tih. Lo harus cepet ke RS Kasih. Ryan kecelakaan.”
Kepalaku serasa dihantam palu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Ketika aku berhasil mencerna semuanya, napasku memburu. Mataku memandang nanar ke dinding. Mas Ryan kecelakaan. Tidak mungkin…
“Hallo, Tih? Tih? Kamu gak papa kan? Tih…” kembali kudengar suara Fabian. Aku tersadar dan menjawab dengan suara parau. Air bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Kepalaku pening dan aku merasa sangat lemas.
“Terus gimana keadaannya Bi?”
“Pokoknya lo kesini dulu. Naik taksi aja Tih, biar cepet. Gue tunggu ya.”
***
Dua bulan setelah itu aku mengunjungi Mas Ryan. Aku kangen sekali padanya. Aku ingin menemuinya dan menumpahkan segala perasaanku. Rangkaian mawar di genggaman tanganku kuletakkan di atas gundukan tanah makam. Mas Ryan telah pergi, membawa semua cinta yang aku punya. Membawa semua harapan yang kini kosong, hampa. Kupikir Mas Ryan lah orang terakhir yang akan menemaniku hingga tua nanti. Dan memang aku berharap bahwa dialah orangnya. I wish he were the one. Aku menangis, menjerit dalam hati. Berulang kali bertanya pada Tuhan, kenapa semua ini terjadi padaku dan Mas Ryan. Ada bermilyar orang di muka bumi ini, kenapa semua ini harus menimpaku dan Mas Ryan. Kepergian Mas Ryan menimbulkan begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Menguarkan aroma kenangan manis, namun kemudian memberi rasa sesak yang entah kapan akan sirna.
***
Hapeku bergetar. Kulihat di layar ada satu pesan masuk. Fabian. Aku hampir lupa aku punya janji menemaninya makan malam. Aku harap malam ini aku tidak membuatnya kesal karena harus mendengarku terisak-isak mengenang Mas Ryan. Biarlah semua tanya ini mendapatkan jawabannya seiring waktu. Hidup harus terus berjalan.

- The End -


Sweet... Sweet... Sweet...

Taste the sweetness of life

Wednesday 7 November 2012

Numb

I was afraid and still I am
for the past would never be forgotten
and the future would never be read
empty
the same feeling 
repeated time to time
empty
the world is always too huge
the ice is always too cold
numb
no fear
no grief
no joyfulness
no mercy
no hatred
no love
no thing
numb

Sunday 4 November 2012

The Messenger


Pagi ini penuh prahara. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini terasa seperti neraka bagi Rangga. Dia sudah terbiasa dengan suasana “horor” di rumahnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Menurut Rangga, ayahnya sudah keterlaluan.

Semua berjalan wajar awalnya, Rangga bangun jam 6 setelah mendengar teriakan alarm yang hampir membangunkan orang satu kompleks. Dia pun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Hari ini kuliahnya dimulai pukul 7. Ekonomi makro, matakuliah yang paling membosankan bagi Rangga. Pukul 6.30 Rangga sudah duduk di meja makan, berhadapan dengan ayahnya. Sepiring nasi dan telur serta segelas susu andalan mbak Siti sudah terhidang di hadapan mereka, melolong-lolong untuk dimakan.

Rangga mulai menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. Ayahnya pun melakukan hal yang sama. Hening. Rangga menelan suapan yang ketiga. Hening.

“Gimana hasil UTSmu?” tiba-tiba ayah Rangga buka suara. Dalam, parau, dan tidak terlalu jelas. Namun masih cukup jelas bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar. Rangga sejenak menghentikan suapannya, tanpa memandang ayahnya. Ekspresinya was-was, tapi dia berusaha tenang.

“Lumayan Pa, gak lebih buruk dari semester kemarin,” jawab Rangga akhirnya.

“Kamu tau bukan itu jawaban yang ingin papa dengar,” timpal ayah Rangga dengan nada datar yang sama.

Rangga diam. Dia sudah bosan dengan semua ini. Bukan salahnya kalau nilai-nilainya buruk. Dari awal dia sudah tidak berniat untuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Bahkan ekonomi adalah mata pelajaran yang paling dibencinya saat dia duduk di bangku SMA.

“Tadi pagi papa buang sampah.”

Rangga sedikit tertegun dan hampir-hampir tertawa. Kenapa tiba-tiba ayahnya membicarakan sampah? Apakah otaknya sudah terganggu?

“Semua barang-barang di bawah meja ruang tengah yang sudah tidak dipakai papa buang. Termasuk sampah-sampah kertasmu yang kamu biarkan teronggok tak berguna,” ayah Rangga melanjutkan sambil sedikit melirik anaknya.

Kesadaran menghantam Rangga. Kini dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Perlahan-lahan darahnya  mulai mendidih. Dia pun mendongak memandang ayahnya.

“Maksud papa, sketsa-sketsaku? Pa, sketsa itu baru kuselesaikan tadi malam. Aku lupa membawanya ke kamar, bukannya tidak berguna seperti kata papa. Dimana papa buang semua kertas-kertas itu?” Rangga pun beranjak dari kursinya dan sudah bersiap hendak mencari sketsa-sketsanya.

Ayah Rangga akhirnya mendongak menatap putranya. Masih dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang sulit ditebak. Namun kata-kata berikutnya yang keluar mampu membuat Rangga semakin emosi.

“Sudah berapa kali papa menyuruhmu untuk berhenti mengurusi omong-kosongmu itu? Mau jadi apa kamu nanti?! Kamu pikir kamu bisa gampang cari duit hanya dengan menjual hasil desainmu yang belum tentu disukai orang?! Hah?”

“Tapi menjadi arsitek itu adalah cita-citaku sejak kecil, Pa. Dan aku yakin Papa tahu itu. Aku yakin aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus meneruskan ambisi papa. Aku juga yakin kalau mama masih ada, pasti beliau juga akan mendukung keputusan aku!” bantah Rangga membabibuta. “Aku bukan boneka papa!!”

“Jangan bawa-bawa ibumu. Kamu masih kecil, tidak tahu apa-apa. Kamu belum merasakan kejamnya hidup. Aku dan mamamu bisa menjadi seperti ini juga karena didikan orang tua, karena kami menurut pada orang tua, kakek dan nenekmu,” papa Rangga berdiri kali ini.

“Hah! Iya pa, mama memang menurut. Tapi sebenarnya mama tertekan. Mama sakit karena beban pikiran. Dan itu semua karena papa dan keluarga papa yang hanya melulu memikirkan bisnis dan uang…!”

 “Cukup Rangga!! Berani sekali kamu bicara pada papa seperti itu! Sekarang keluar kamu sebelum habis kesabaran papa. Keluar!”

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Segera setelah mendengar kalimat ayahnya yang terakhir, Rangga pun bergegas keluar. Buru-buru dia nyalakan motornya. Di luar pagar, tak sengaja dia melihat ke bak sampah. Dia melihat beberapa lembar kertas dengan sketsa-sketsa desain bangunan yang digambarnya tadi malam. Rangga mengambil semua kertas itu dan langsung berlalu pergi, mengendarai motornya dengan kencang.

***

Sepanjang perjalanan, ingatan akan ucapan ayahnya masih melekat di pikiran Rangga. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia sudah muak dengan ayahnya, dengan situasi rumahnya yang seperti rumah hantu. Mungkin kalau Rio, kakaknya, masih tinggal bersama mereka, situasi akan menjadi lebih baik. Namun pekerjaan menuntut Rio untuk tinggal di luar pulau.

Rangga membenci sikap ayahnya. Dari kecil, Rangga merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Beruntung dia masih memiliki ibu hingga dia naik kelas dua SMA dan Rio yang bisa menjadi tempatnya bercerita setelah mamanya tiada. Namun sekarang, dia harus menghadapi kenyataan pahit tinggal berdua dengan ayahnya, bertiga dengan Mbak Siti yang pendiam.

Pikiran Rangga selalu dipenuhi dengan ambisinya menjadi seorang arsitek. Rangga sudah menunjukkan bakat menggambar dan berhitung yang hebat sejak masih TK. Kekagumannya akan bangunan megah dan indah semakin mendorongnya untuk kuliah di jurusan arsitektur. Tapi dia harus rela melepas semua impiannya demi meneruskan bisnis konveksi ayahnya yang berkembang pesat.

“Awaaaaas…!!!” Rangga berteriak kaget menyadari seorang anak perempuan kecil menyeberang di depannya. Untung dia berhasil mengerem motornya tepat waktu. Rangga terlalu sibuk melamunkan pertengkarannya dengan sang papa dan tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya.

Anak kecil itu juga memekik kaget. Rangga pun segera turun dari motor dan menghampiri gadis mungil itu untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tampaknya gadis itu adalah salah satu dari ribuan anak terlantar di Jakarta.

Rangga cukup terkejut setelah melihat anak itu dari dekat. Anak itu kira-kira berusia 5 tahun. Mungkin dia memang anak jalanan, namun wajahnya cantik dan damai seperti malaikat. Sorot matanya teduh namun bersinar-sinar penuh semangat. Rambut panjangnya memang memerah terbakar sinar matahari, tapi bersih. Pipinya merona merah dan senyumnya sangat lembut. Dia juga tidak kucel seperti anak yang tidak pernah mandi. Pakaiannya bersih dan badannya juga tidak kurus. Anak itu sungguh sangat lucu.

Rangga berjongkok untuk berbicara dengan anak itu. Sambil memegang kepalanya, Rangga pun bertanya dengan nada khawatir,”Adek, kamu gak papa?”

Anak itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tampaknya dia paham benar bahwa Rangga adalah orang baik yang tidak akan menyakitinya.

“Nama kamu siapa?” tanya Rangga lagi.

“Amel. Kakak siapa?” suara Amel yang ceria terdengar merdu di telinga Rangga dan begitu menenangkan hatinya.

“Kenalin, nama Kakak Rangga,” jawab Rangga sambil mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri. “Maafin kakak ya, tadi hampir nabrak kamu. Rumah kamu dimana? Kok pagi-pagi udah lari-larian di sini?”

“Amel gak punya rumah, Kak Rangga. Amel suka pindah-pindah tidurnya.

Jadi benar dugaan Rangga, Amel adalah salah satu dari banyak anak jalanan yang tersebar di seantero kota. Refleks, Rangga melihat sekeliling. Tampak satu gerobak bubur di pinggir jalan itu.

“Amel sudah makan?” tanya Rangga sambil tersenyum.

“Belum Kak.

“Sarapan bubur mau?”

Amel mengangguk dan berkata,”Tapi Kakak juga ikut makan.” Seolah Amel sudah tahu bahwa Rangga telah makan sedikit nasi dan telur pagi itu. Rangga pun mengiyakan. Lagipula, dia memang masih merasa lapar. Pertengkaran dengan ayahnya telah membuatnya kehilangan selera makan dan tidak menghabiskan menu andalan Mbak Siti. Dia bahkan memutuskan untuk membolos kuliah karena jelas-jelas dia sudah terlambat.

Rangga dan Amel duduk berjejer di kursi panjang sederhana, di samping gerobak bapak tukang bubur. Dalam beberapa menit saja, pesanan bubur mereka sudah datang. Amel memakan buburnya dengan bersemangat. Rangga mengamatinya sambil tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

“Kalau udah gede Amel mau jadi apa?” tanya Rangga membuka kembali percakapan mereka.

“Kalo udah gede, Amel pengin buat baju yang buanyaaak…banget!” jawab Amel menggemaskan sambil tetap mengunyah makanannya.

“Hahaha… Kenapa pengin buat baju?” tanya Rangga yang sedikit surprised juga dengan jawaban Amel. Rata-rata anak kecil kalau ditanyai soal cita-cita akan menjawab dokter, guru, penyanyi, dan jawaban standar lainnya.

“Soalnya Amel bajunya cuma satu kak. Temen-temen Amel juga. Jadi kalau Amel bisa buat baju sendiri, Amel bisa kasih ke temen-temen Amel. Gratis!!” jawab Amel, memamerkan gigi-gigi kecilnya pada Rangga.

Rangga terdiam sebentar, teringat pada ayahnya. Rangga adalah anak seorang pengusaha konveksi yang cukup terkenal. Sering berganti baju mahal dan branded merupakan hal biasa baginya. Sementara Amel harus memakai satu-satunya baju yang dia punya setiap hari. Menurut Rangga ini sungguh sangat ironis. Langsung terbersit dalam pikirannya untuk mengambil beberapa baju anak-anak produksi perusahaannya dan memberikannya pada Amel. 

“Kak Rangga kok diem? Kakak udah kenyang?” tanya Amel sambil mengayun-ayunkan kakinya yang belum bisa menjejak tanah dari tempat dimana dia duduk.

Rangga terhenyak, kemudian tersenyum setelah berhasil mencerna pertanyaan Amel. “Oh, gak Mel. Belum. Kakak masih lapeer…” sahut Rangga sambil meringis dan mengelus-elus perutnya sendiri, kemudian menyuapkan sisa bubur ke mulutnya dengan lahap.

***

Setelah pertemuan pertamanya dengan Amel, Rangga menjadi sedikit ceria, merasa hidup kembali, meskipun belum merasa utuh. Tiap beberapa hari sekali, Rangga menemui Amel. Makan bubur bersama di tempat yang biasa. Rangga suka akan kepolosan gadis kecil itu. Melihat muka malaikatnya selalu dapat mengingatkannya bahwa dunia ini tak melulu kejam. Namun, keadaan berubah 180 derajat ketika Rangga kembali ke rumah. Dia harus menghadapi suasana horor itu. Kembali menopang gelombang kehampaan yang sama. Rangga tak lagi memedulikan amarah ayahnya. Dia bersikeras untuk tetap menggambar dan mewujudkan cita-citanya meskipun itu berarti dia harus rela didiamkan ayahnya sepanjang waktu. Dia bahkan sempat berpikir bahwa suatu hari kelak ayahnya tidak akan sudi lagi menganggapnya anak.

Selasa siang yang panas. Rangga duduk di teras belakang. Suara bariton vokalis Avenged Sevenfold yang begitu dikaguminya mengalun dari smartphone dalam saku Rangga, mengalir tenang melalui headset yang bertengger di kepalanya. So far away. Lagu emosional ini selalu mengingatkan Rangga pada almarhumah ibunya. Akh, andaikan mama masih di sini… Pikir Rangga sambil menggoreskan pensil pada selembar kertas seukuran A3.

Ayah Rangga berjalan pelan mendekatinya dari ruang dalam. Ayahnya pun berdeham. Rangga menggumam kecil, menirukan suara Matt Shadows yang nyaring di telinganya. Ayahnya berdeham sekali lagi.

How do I live without the ones I love…” Rangga bersenandung semakin keras. Akhirnya ayah Rangga memutuskan untuk memanggilnya.

“Rangga…”

Rangga tak menoleh. Dia tak mendengar suara ayahnya sama sekali. Ayah Rangga hendak memanggilnya sekali lagi, namun tampaknya hal itu begitu berat baginya. Usahanya terhenti. Ayah Rangga memandangi sebentar sosok Rangga dari belakang, kemudian berbalik pergi.

Rangga merasa seseorang berdiri di belakangnya dan ia pun menoleh. Namun dia tak melihat siapa-siapa. Rangga hanya mengedikkan sedikit bahunya dan kembali mengguratkan pensilnya.

***

Rangga kembali bertemu dengan Amel. Kali ini Rangga membawakan Amel sebungkus eskrim dan mengajaknya untuk menghabiskan eskrim itu di taman. Dari tempat itu, Rangga bisa melihat dengan jelas bangunan hotel termewah di Jakarta. Dia hendak menggambar hotel itu dan berencana untuk merevisi desainnya menjadi sesuatu yang baru. Amel sangat senang menemani Rangga menggambar. Dia kagum akan keindahan sketsa-sketsa Rangga.

“Kak Rangga kok gambarnya bisa bagus banget? Pasti papa kak Rangga yang ngajarin,”Amel berujar sambil menjilat eskrimnya dengan ekspresi khas anak kecil yang kegirangan.

“Ah, Amel sok tau. Papa kak Rangga malah gak suka gambar. Gambar kakak suka dijadiin bantal sama dia,” sahut Rangga, mencoba bercanda meskipun hatinya tersayat.

“Wah, kasihan gambarnya dong, kak. Pasti rusak,” Amel kecil menimpali lagi sambil mengamati muka Rangga yang sedang serius menggambar.

Rangga hanya menjawab dengan senyuman. Beberapa detik kemudian Amel melontarkan pertanyaan yang tidak diduga-duga Rangga sebelumnya.

“Kak Rangga benci ya sama papa kakak?”

“Kok Amel nanyanya gitu?” tanya Rangga dengan kening berkerut, berpikir darimana Amel mendapatkan inspirasi untuk menanyakan hal semacam itu.

“Kan papanya kakak make gambar-gambar itu buat bantal. Padahal gambarnya bagus-bagus. Harusnya kan dipajang kak. Ditempel-tempel di dinding,” jawab Amel dengan ekspresi polos.

Rangga diam. Berpikir lama. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Dia sendiri tak mengerti apakah dia membenci ayahnya atau tidak. Ayahnya yang telah mencoba untuk mengubur impiannya. Ayahnya yang selalu ditakutinya karena selalu keras dan disiplin. Ayahnya yang memberi kebebasan lebih pada kakaknya, Rio, namun tidak padanya. Ayahnya yang selalu menganggapnya anak kecil. Ayahnya yang terbiasa meninggalkan keluarga berhari-hari karena urusan bisnis. Ayahnya yang telah membuat ibunya tertekan dan depresi. Namun tetap saja, sosok itu adalah ayahnya.

“Gak, Mel. Kakak gak benci sama papa. Beliau sudah membesarkan kakak sampe segede monster gini, masa’ kakak benci,” sahut Rangga akhirnya.

“Hihihi… bagus kak,” balas Amel sambil menepuk-nepuk lengan Rangga layaknya orang dewasa. Rangga geli juga dengan reaksi Amel, namun dia hanya tertawa.

“Kita emang gak boleh benci sama papa mama kita, kak. Nanti dosa. Amel malah pengin peluk papa Amel kalau ketemu, tapi gak bisa,” kata Amel sambil menunduk sedih dan menggenggam sedikit eskrim yang masih tersisa.

“Kenapa gak bisa, Mel?” tanya Rangga spontan.

“Papa Amel udah di surga,” jawab Amel singkat. Kemudian dia mendongak dan menatap Rangga yang trenyuh. Rangga bisa merasakan kesedihan gadis itu. Dan seolah, kesedihan itu adalah juga miliknya. “Tapi gakpapa. Amel seneng ketemu kakak. Kak Rangga baik, kayak papa Amel,” lanjut Amel sambil kembali memamerkan giginya yang kecil-kecil. Namun Rangga melihat sebutir kristal bening menggantung di sudut mata gadis itu.

Rangga tersenyum dan mengelus kepala Amel dengan lembut. Tiba-tiba dia sangat merindukan ayahnya.

***

Sudah tiga jam yang lalu sejak Mbak Siti menelepon Rangga untuk mengabari bahwa ayahnya mendadak pingsan ketika sedang membaca koran. Kini sang ayah tergolek lemah di atas seprei putih rumah sakit. Rangga duduk di kursi, di samping ayahnya dan memandang wajah sang ayah yang tampak pucat dan seperti menanggung duka mendalam. Baru kali ini Rangga menyadarinya. Di balik ekspresi kaku dan keras ayahnya tersimpan sepercik kepedihan yang menggantung.

“Rangga…” ayah Rangga tersadar dan memanggilnya dengan lirih.

“Iya pa. Aku di sini,” sahut Rangga segera, menghapus air mata yang sempat mengalir.

“Rangga, maafkan papamu, nak,” kata ayah Rangga dengan mantap meskipun dengan suara yang tidak terlalu jelas terdengar karena menahan sakit di jantungnya.

“Gak pa, Rangga yang minta maaf..

“Dengar dulu, papa belum selesai. Papa akui kalau papa egois. Kamu sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan sendiri jalan hidupmu. Tugas papa untuk mensupport setiap keputusanmu. Lanjutkanlah keinginanmu, nak.”

“Pa…

“Tapi satu yang papa minta. Selesaikan kuliahmu. Papa tidak akan melarangmu lagi untuk belajar hal lain. Mungkin suatu saat kamu bisa membuatkan papa sebuah istana,” pungkas ayah Rangga dengan sebuah senyuman sambil sedikit meringis kesakitan.

Sontak Rangga memeluk ayahnya. Sambil mengucapkan kata terimakasih dan maaf yang tak berkesudahan.

***

Rangga tak pernah berhasil lagi menemukan Amel setelah ayahnya pulang dari rumah sakit. Padahal dia ingin sekali berterimakasih pada gadis itu. Bahkan dia bermaksud untuk mengangkat Amel sebagai adik. Namun Amel memang tak pernah ada. Tidak penting sebenarnya apakah gadis itu ada atau tidak. Pesannya sudah tersampaikan.


Sunday 2 September 2012

A Flake of Memory


I once met a soul
With heavenly patience
With a handful of emotions
With a piece of feeling
Threatening the peacefulness
Yet carrying another cup of calm


Fresh breeze dropped by
Never been a treason nor a lie
Yet ended up with an expensive cry

I once met a soul
With a haunting shadow
Barely seen yet never gone

I wish I'd never met
I wish I'd never met

Saturday 1 September 2012

All are the Same

Two years, two months, what's the difference?
There's always pain
There were always scars
Rivers of tears
Another trial, another fail

Becoming a stranger, becoming precious, what's the difference?
There's always an encounter
Somebody must always leave
Let the storm strike
And swept away the fire forever 

Friday 31 August 2012

Dayu


Namanya Dayu. Gadis ayu yang duduk tepat di bawah jendela itu sedang menunduk dan mencatat sesuatu. Dia benar-benar manis dilihat dari sisi manapun. Mata bulat besar, hidung sedikit mancung, dan rambut hitam sebahu, ditambah dengan senyumnya yang sangat-sangat.. akh, sulit sekali mendeskripsikannya. Senyumnya mampu membuat aku tersetrum, ikut senyum-senyum sendiri, hingga tiba-tiba aku tersadar oleh ribut-ribut yang memanggil namaku.

                “Felix!”

                “Felix!!”

                “Felix!!!”

Setelah sadar kulihat sekeliling. Aduh, semua mata tertuju padaku, bahkan mata Dayu dan Miss Agnes. Aku langsung khawatir karena Miss Agnes menatapku dengan tajam. Sepertinya dia telah memanggilku dari tadi, saat aku menatap Dayu. Arrrggghhh….Malunya aku!! Apa Miss Agnes tahu kalau aku tadi sedang memandangi gadis itu?

                Felix, who were you thinking about?” tanya Miss Agnes sambil sedikit tersenyum. Aku lega karena Miss Agnes tidak marah, namun aku juga sedikit berdebar karena pertanyaan itu. Apa dia benar-benar tahu kalau aku tadi memandangi Dayu?

                “Hmm… mmm… No body, Miss. I just thought about something else. I’m having a problem with my thesis. I’m sorry, Miss,” jawabku memberi alasan sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Padahal aku belum menyentuh skripsiku sama sekali. Sial! Aku sadar sepenuhnya kalau alasanku tidak bermutu. Tapi aku rasa Miss Agnes tidak akan marah. Kulihat dia tipe orang yang sangat ramah, murah senyum, dan suka bercanda. Sepertinya usianya pun tidak berbeda jauh denganku yang sekarang sudah semester 8.

                Oh really? But I’m sure that you didn’t have any problem at all. You kept smiling while staring at Dayu,” balas Miss Agnes dengan senyum lebar. Gubraaakk…!!! Feeling-ku benar ternyata, Miss Agnes tahu dan dia terang-terangan menggodaku di depan semua teman-teman baruku. Sontak mereka semua tertawa dan ikut menggodaiku. Kata-kata favorit  pun keluar dari mulut-mulut gatal itu.

                “Ciee… Felix…”

                “Ehm.. Ehm.. Ada yang naksir nih…”

                “Haseeekk…”

Mataku spontan melirik ke arah Dayu untuk melihat reaksinya. Dia hanya tersenyum-senyum sambil sesekali mengklarifikasi dan sesekali menunduk. Apakah mataku menipuku? Sepertinya pipinya memerah. Atau dia kebanyakan pakai blush-on? Kuenyahkan semua pikiran tolol itu. Beberapa orang sudah terdiam, ketika Dayu berkata cukup keras pada orang di sebelahnya, kalau  tidak salah namanya Mella. Suaranya cukup keras untuk sampai di telinga Miss Agnes.

                Hey, what are you talking about? I don’t even know him, you know,” kata Dayu sambil sedikit menggoyang-goyangkan tangannya. Aduh,, bahkan goyangan tangannya pun terlihat indah sekali…

                No need to be shy, Dayu. I’m really glad that I find a romance in our first meeting. This is happy news, right?” kata Miss Agnes santai sambil berdiri bersandar di meja guru. Ternyata Miss Agnes memang “amazing”. Masih dibahas???

                No, Miss. Why are you gossiping?” Dayu membantah perkataan Miss Agnes dan mukanya kembali memerah.

                “Hahaha… Just kidding! You know class, there were once two students who fell in love until I found that they finally had a relationship and they usually didn’t focus on my explanation,” sambung Miss Agnes.

                Then, what did you do to them, Miss?” tanya cewek yang aku yakin bernama Mella itu. Sepertinya dia cewek yang banyak omong, dan terlalu ingin tahu menurutku.

                Then I kicked them out!” kata Miss Agnes pula. Hah? Murid pacaran terus diusir dari kelas? Gila, aku calon korban berikutnya nih sama Dayu (ngarep.com).

                “Whoaaa…!” beberapa murid menunjukkan kekagetannya.

                “Hahaha… Just kidding, guys! Again,” Miss Agnes tampak tertawa puas karena berhasil mengerjai beberapa dari kami. Oh my God, ada ya guru kayak gini? Aku jadi khawatir tidak bisa lulus level intermediate ini. Targetku kan aku lulus satu periode ini saja dan tidak perlu mengulang lagi. Hmm.. Menurut perhitunganku sih, aku sebenarnya sudah lumayan bisa berkomunikasi pakai Bahasa Inggris. Tapi kebijakan kampus mewajibkanku untuk mendapatkan sertifikat intermediate sebagai syarat ujian pendadaran. Ada-ada aja peraturan kampus jaman sekarang. Apa yang akan terjadi sama anak-anak yang kompetensi Bahasa Inggrisnya kurang? Yang mengerti Bahasa Inggris seperti aku mengerti Bahasa Jerman? Gila, mereka pasti harus ikut les terus dari level paling bawah sampai level intermediate ini. Itu pun kalau lancar. Misalkan mereka harus mengulang tiap level, mungkin baru tiga tahun mereka dapat sertifikat intermediate. Sampai di-DO kalau begitu ceritanya. Ck.. ck.. ck…

                OK, back to our lesson. Do you still remember what tense we use to talk about future plans or conditions?” Miss Agnes pun kembali ke pokok persoalan. Belajar. Dan dia baru saja menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah kuhafal di luar kepala. Aku pun spontan menjawab pertanyaan itu.

                Simple future tense, Miss. We can use the word “will” or “be going to”,” jawabku yakin.

                Exactly. Thank you, Felix. So, will you invite Dayu to a dinner this evening?”

                Arrrrrrrrrrgggggggggghhhhhhhhh…………………………..

***

                Sisa waktuku hari ini kuhabiskan untuk memikirkan Dayu. Tadi sore sepulang les aku berhasil mengajaknya ngobrol. Dia anak yang asik. Kejadian di kelas, soal aku yang tak bisa menahan diri melamunkannya, tidak membuatnya ill-feel padaku. Aku tak menyangka akan bertemu dengan calon soulmate-ku di tempat les yang baru. Dayu benar-benar telah menawan hatiku hanya dalam hitungan detik. Sayang aku tidak berani meminta nomor hapenya tadi. Tapi gadis secantik Dayu pasti sudah ada yang punya. Hah, nasib.

***

                Semakin hari aku semakin terhipnotis oleh Dayu. Dia telah menjadi semangatku untuk selalu berangkat les. Sebenarnya aku punya tiga kali kesempatan untuk membolos. Dengan memanfaatkan kesempatan itu, setidaknya aku masih tetap bisa dapat sertifikat. Tapi aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Dayu dan aku juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk duduk bersebelahan dengannya. Karena saat Miss Agnes tidak memperhatikan, aku bisa mengajak ngobrol Dayu mengenai hal-hal di luar kursus. Misalnya asalnya dari mana dan hobinya apa. Seperti yang terjadi sore tadi.

                Ok class. Please open the next page and do exercise 3,” perintah Miss Agnes pada kami semua di kelas.

                Ok, Miss,” terdengar beberapa suara menjawab. Beberapa yang lain langsung saja mengerjakan tanpa mengeluarkan suara sehalus apapun. Dahsyat!!

                Aku memperhatikan kalau Miss Agnes selalu mempunyai kebiasaan berkeliling kelas saat kami sedang mengerjakan latihan. Well, mungkin itu bukan kebiasaan, tapi strategi mengajar. Aku memang tidak terlalu tahu-menahu tentang trik mengajar yang jitu karena aku tidak kuliah di fakultas pendidikan. Tetapi menurutku memang perlu untuk mengecek pekerjaan muridmu jika kamu sendiri menjadi seorang guru. Sehingga ketika muridmu mengajukan pertanyaan, kamu bisa langsung menjawab pertanyaan itu dengan lebih jelas dan personal. Selain itu, kamu juga menguntungkan muridmu yang ingin pedekate seperti aku ini.

                Ketika itu aku sudah selesai mengerjakan soal-soal yang ditugaskan Miss Agnes. Dayu yang duduk di sebelahku pun kulihat sudah memain-mainkan pulpennya, sambil memelototi hasil pekerjaannya. Menurutku Dayu cukup pintar juga. Dia selalu berhasil mengerjakan exercise dalam waktu singkat, seperti juga aku, di saat yang lain masih mengetuk-ngetukkan pulpen mereka di pelipis, atau menggigit-gigit pulpen itu karena tidak tahu harus menjawab apa. Maka kusambar kesempatan emas itu untuk mengajak ngobrol Dayu.

                “Day, kamu udah selese ya?” tanyaku pada Dayu yang kemudian memalingkan wajahnya yang ayu untuk menjawab pertanyaanku. Oh God, jantungku berdetak keras.

                “Iya. Udah kucek juga berulang-ulang, kayaknya udah bener sih. Tapi gak terlalu yakin juga. Kamu juga udah?” Dayu balas bertanya padaku.

                “Iya nih. Ah, pasti udah bener semua deh jawabanmu. Hehehe… Ohya, jadi kamu tu aslinya dari Cilacap ya?” tanyaku setelah aku mendapat informasi beberapa hari yang lalu.

                “He’eh,” jawab Dayu singkat.

                “Deket sama nusa kambangan gak?” tanyaku lagi padanya. Selain untuk basa-basi, aku memang pensaran apakah rumahnya dekat dengan tempat yang digunakan sebagai penjara untuk napi kelas kakap itu.

                “Jauh. Aku pernah sekali kesana waktu SMA.”

                “Ohya? Nusa Kambangan tu kayak apa sih?”

Bla-bla-bla. Obrolan itupun terus berlanjut sampai Miss Agnes memutuskan untuk mengecek jawaban kami. Berbicara dengan Dayu terasa sangat nyambung dan asik. Aku semakin menyukainya. 

***

                “Kamu yakin udah bisa move on?” tanya Ichsan tanpa basa-basi. Kami sedang mengerjakan proyek kami untuk diujikan minggu depan. Proyek ini merupakan salah-satu jaminan kami bisa lulus dan menjadi engineer. Ichsan mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan memandangku dengan serius. Aku tahu dia sangat concern padaku. Aku diputusin Dana, mantanku, beberapa bulan yang lalu. Dia memutuskaan buat kuliah di Perancis, ikut papanya yang pindah tugas di sana. Dia memang baru saja masuk kuliah, jadi tak masalah baginya untuk mulai dari awal. Tapi itu masalah bagiku dan aku sudah mencoba memintanya untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Tapi dia tetap bersikukuh untuk putus dengan alasan yang klise sekali. Dia tidak bisa menjalani long distance relationship. Jadi mau tidak mau aku harus menerima keputusan Dana.

                “Yakin, bro. Dayu bener-bener udah mengalihkan duniaku,” jawabku serius tapi dengan setengah bercanda, mengutip tagline iklan.

                “Walah… Gak usah alay gitu deh. Wah, kayaknya si Dayu ini udah bener-bener bikin kamu jatuh cintrong ye. Tapi yakin gak dia belum punya cowok?” tanya Ichsan lagi.

                “Aku belum pernah tanya sih. Tapi kayaknya sih belum. Ya, aku mau pelan-pelan aja sih. Aku cuma yakin aja kalau Dayu tu cewek baik-baik , cantik banget, dan asik diajak ngobrol.”

                “Sip lah, Lix. Kalau kamu seneng, aku juga seneng. Eneg juga liat kamu melow lama-lama. Hahaha…”

                “Sialan!” kataku singkat sambil meninju lengan Ichsan.  

***

                Aku membulatkan tekad untuk mendekati Dayu. Karena dia telah membuatku galau siang dan malam. I want to make a move. Jadi aku putuskan untuk mencoba mengajak Dayu hangout malam nanti, sepulang les Bahasa Inggris. Aku tidak berharap banyak Dayu langsung mengiyakan ajakanku, tapi setidaknya aku sudah mencoba. Dan aku bukanlah tipe orang yang mudah menyerah.

                Setelah Miss Agnes mengucapkan kalimatnya yang biasa, “see you on the next meeting”, di akhir kelas, aku pun segera merapikan tasku dan mencari celah untuk berbicara berdua dengan Dayu. Akhirnya aku berhasil berjalan keluar kelas berdua dengannya. Aku tidak langsung mengutarakan niatku dan memutuskan untuk menyampaikannya saat sudah tiba di tempat parkir. Saat ini, aku belum berani. Jantungku serasa berlompatan, dan seperti ada yang bergulung-gulung di perutku. Maka aku memanfaatkan waktu ini untuk menetralisir perasaanku yang tidak karuan dan mengumpulkan keberanian.

                Ketika sudah tiba di luar gedung, aku tetap belum berani menyampaikan maksudku. Akhirnya yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan hampir standar...

                “Kamu bawa motor sendiri, Day?”

                “Gak. Hari ini aku dijemput,” jawabnya.

Aha! Aku bisa menjadikan hal itu alasan untuk mengantarnya pulang ke rumah, atau mengajaknya hangout dulu kalau dia mau. Baru saja aku ingin menawarinya untuk pulang bersama, dia berseru dengan tiba-tiba.

                “Nah, itu dia jemputanku datang.”

Aku ikut mengalihkan pandangan ke arah yang dia lihat. Tampak  Honda jazz putih berjalan pelan ke arah kami. Ketika mobil itu berhenti, keluar lah seorang cowok berbadan tinggi tegap, berkulit sawo matang, dan mengenakan setelan kasual. Alamak,,, ternyata Dayu memang sudah punya gandengan! Jantungku berdetak lebih cepat saat itu juga dan harapanku hampir pupus. Tenang Lix, mungkin dia kakaknya, kataku menenteramkan diri sendiri.

“Kenalin Lix, ini suamiku, Jo.”

Hatiku hancur seketika. Satu-satunya harapanku yang tersisa adalah semoga aku tidak pingsan dan jatuh di depan kaki mereka berdua.



-- The End --


Special thanks to:

*murid2ku yang udah kupinjam namanya, Dayu, Agnov, Mella, Ichsan, n Dana (maaf, gak ada royalty ^^)
*kelas Mid-B intensif yang udah menginspirasi cerita ini
*Miss Agnes,, tanpanya cerita ini gak akan ada ^_^


Friday 24 August 2012

Titik

Manusia rapuh yang tak punyai tujuan
Mengais-ngais asa
Mengail semangat di air keruh
Mengubur emosi di ruang terdalam
Mengesampingkan ambisi
Mengagungkan takdir
Mengabstrakkan kekonkretan

Wednesday 15 August 2012

Kepastian

Seekor semut menari
Menarikan tarian bisu tentang kebimbangan
Seekor laba-laba merajut jaring
Menuaikan pola kerumitan
Seekor jangkrik bernyanyi
Menyanyikan lagu sumbang ketidaksabaran
Indraku bersaksi
Merekam opera malam 
tanpa orkestra
Menggelitik pori-pori
Menyebar lewat nadi
Memberikan detak yang enggan berhenti
Berharaplah semut itu berpusing
dan menjauh dari matamu
Bermimpilah laba-laba itu menggulung jaringnya
dan tak meninggalkan pekat di arimu
Lalu kau bisa menutup matamu
dan berdoa jangkrik itu terbatuk
menghentikan nyanyiannya
Saat itulah orkestra itu akan meraja
menjalar ke seluruh nafas kulitmu
dan menghentikan penantian ini

Tuesday 14 August 2012

Ironi

Matahari dan air punya janji
Untuk mengandung awan mendung
Dan melahirkan rintik hujan

Matahari dan air punya mimpi
Untuk mengumpulkan rona dunia
Dan membangun pelangi

Matahari datang, air berseri dan tampaklah sinar dalam matanya
Matahari pulang, air berteriak dan menyendiri dalam gelap

Namun matahari dan air punya janji dan mimpi
Berjalan di setapak yang sama
Maka ketika sesosok manusia datang, dan berselingkuh dengan matahari
Air pun surut
Dan pergi untuk selama-lamanya


Tanya



Bagiku cinta hanya sekali seumur hidup. Mungkin orang menganggapku kuno, konservatif, atau naïf. Aku tak peduli. Akulah yang berjalan dengan kakiku, bernapas dengan paru-paruku, berpikir dengan otakku, dan merasakan banyak hal dengan hatiku. Aku heran, kenapa orang suka sekali menggosipkan orang lain. Terutama wanita suka menggosipkan wanita lain. Yah, usiaku memang sudah tidak muda lagi, menjelang 3o tahun. Tapi sekali lagi, apa pedulimu, sih? Apakah kalau nanti aku menikah, kamu yang akan membuatkan suamiku segelas kopi di pagi hari? Apakah ketika suamiku bangun tidur, kamu yang akan mengecup keningnya? Apakah saat suamiku tertimpa masalah besar, dia akan pergi padamu untuk berkeluh kesah dan mencari tempat bernaung? Tidak. Hanya aku. Aku yang bertanggungjawab dengan hidupku sendiri, kecuali kamu adalah bayanganku yang selalu ikut kemanapun aku pergi. Akh, tidak. Bayanganku pun tidak berhak mengatur hidupku.
Aku tidak pernah menyalahkan siapapun bahwa sampai detik ini aku belum punya kekasih. Sebenarnya aku bingung dengan akar kata ini. Kalau kekasih itu berarti “yang terkasih” maka dia bisa siapa saja, yang penting dia aku kasihi. Tapi kamu pasti tahu yang aku maksud. Aku memang belum mau. Alasannya mungkin memang tidak sederhana, dan tidak hanya satu. Yang terpenting tetap prinsipku, punya pacar sekali langsung menikah untuk seumur hidup. Aku tidak suka bermain. Alasan yang kedua lebih tidak sederhana lagi. Aku takut. Takut realita yang tragis akan menimpaku suatu hari kelak jika aku sudah berumahtangga. Aku takut jika ternyata suamiku adalah orang yang keras dan tidak bertanggungjawab seperti bapakku dulu. Hingga akhirnya yang diterima ibuku selama tahun-tahun pernikahannya dengan bapakku adalah sampah. Aku juga takut pada diriku sendiri. Takut tidak bisa menjadi istri yang baik, melayani dan merawat dengan penuh kasih. Itu semua selalu membuatku bimbang untuk punya pacar, bahkan bimbang untuk jatuh cinta.
Tapi jika aku tak menikah, aku juga takut. Bagaimanapun aku butuh sosok yang menyayangiku dengan sepenuh hati dan bersedia merawatku hingga aku mati. Aku tidak peduli dengan perkataan tetanggaku, tetapi aku punya dua adik perempuan. Mereka juga sudah dewasa, yang bungsu pun sebenarnya sudah pantas untuk menikah. Aku tahu kedua adikku tidak mempermasalahkan status lajangku. Mereka juga tumbuh sebagai perempuan modern yang tidak takut menjadi perawan tua. Karena menikah bukanlah tujuan utama hidup di dunia. Meski begitu aku selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika aku tak segera memikirkan tentang pernikahan. Aku sudah bekerja. Meskipun gajiku tidak besar, tetapi tetap tidak akan menjadi halangan untuk menikah. Aku perempuan. Suamiku akan menafkahiku. Walaupun ibuku selalu mewanti-wanti aku dan kedua adikku untuk menjadi pribadi yang mandiri, yang bisa menghidupi diri sendiri. Sehingga kelak kalau menikah pun, kami tidak akan bergantung pada suami. Ibuku memang luar biasa. Kehidupan yang keras telah membentuknya menjadi sosok yang tahan banting dan penuh tekad. Ibuku luar biasa, maka aku tak menyalahkannya.
Adikku yang bungsu bernama Hasti. Dia tidak terlalu cantik, tapi cukup menarik. Mungkin itulah yang menyebabkan dia bisa dekat dengan beberapa pria. Aku tidak yakin apakah mereka semua pernah menjadi pacarnya, namun setidaknya Hasti sering mengalami yang dinamakan jatuh cinta. Lebaran tahun lalu kami berkumpul di rumah seperti biasa. Adikku yang kedua juga sudah bekerja di kota yang sama denganku. Sehingga hari raya besar seperti ini selalu kami tunggu-tunggu, karena hanya pada hari libur lah kami bisa pulang kampung. Seperti biasa pula kesempatan seperti ini kami manfaatkan untuk saling berbagi cerita. Dan sampailah pada topik si bungsu.
Lia, adikku yang kedua bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya ke layar televisi dengan tangan kiri memegang stoples camilan dan tangan kanan sibuk menyusurkan camilan ke mulutnya, “Eh has, pacar lo siapa sekarang?”
Hasti senyum-senyum saja, aku tak tahan untuk menimpali omongan Lia. “Iya nih. Pasti udah ganti lagi!”   
“Hahaha… Mau tau aja sih? Ada emang, kakak tingkat gue. Tapi kita nggak pacaran, serius. Deket doang.” Hasti sibuk mengamati kuku-kukunya yang sebenarnya tampak baik-baik saja. Aku tahu dia malu. Akh, teenage romance.
“Elonya aja kan yang ngarep? Hahaha….” Lia menggoda Hasti tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar televisi. Aku pun ikut tertawa.
           Aku tidak bisa menahan diri untuk mencoba mencari tahu, atau lebih tepatnya memancing respons Hasti. Apakah responsnya akan seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia tahu aku masih belum punya pacar saat itu. Dan sekarang pun belum.
“Elo mau nikah dulu juga gapapa lho, Has. Gue masih lama nih soalnya.” Aku berkata padanya seolah itu hanyalah candaan tak bermakna, padahal aku cukup cemas menunggu apa yang akan dia pakai sebagai jawaban.
“Yaelah. Kaga lah. Gue mah masih kecil, masih jauh nikah-nikahan. Tetep elo duluan lah. Makanya cari pacar sono. Hahaha…”
Aku tahu Hasti tidak bohong. Dia juga tidak ingin buru-buru menikah. Tak bisa kupungkiri hal itu cukup melegakan aku. Setidaknya aku tidak membuat perasaan adikku gundah. Aku sangat menyayangi keluargaku. Kami hidup dalam suasana penuh kasih. Kami berempat, tanpa Bapak. Karena beliau sudah tiada ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah keluargaku terpuruk atau malah justru membaik setelah kepergian Bapak. Tapi bagaimanapun aku sangat mencintai Bapak. Dia Bapakku. Suami ibuku. Dia yang turut andil atas lahirnya aku. Aku tak tahu apakah orang lain bisa memahami ikatan antar anggota keluarga kami. Ya, rumah tangga Bapak Ibuku carut marut. Tetapi kami saling menyayangi. Amat sangat sayang.
***
Siang ini tidak banyak pekerjaan di kantor. Aku bekerja sebagai admin salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Temanku tidak terlalu banyak. Namun di antara koloni kecil itu, salah satunya sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Namanya Mega. Dia sangat peduli padaku. Usianya hanya dua tahun lebih tua dariku tapi dia sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua bocah yang lucu-lucu, mungkin itulah sebabnya dia juga sangat concern dengan kehidupan asmaraku.
Jam makan siang tiba. Aku dan Mega memutuskan untuk makan di kantin kantor. Biasanya kami pergi keluar karena bosan dengan makanan kantin yang itu-itu saja. Tetapi siang ini sangat panas dan kami sedang tak mau mengambil risiko membuat kulit semakin gosong. Baru beberapa detik kami duduk, Mega sudah membuka percakapan dengan kata-kata yang cukup mengagetkanku.
“Tih, temen gue ada yang mau kenalan sama lo. Namanya Ryan. Dia temen SMA gue dan sekarang kerja jadi staff marketing di Sudirman. Gimana?” Dia kemudian mencomot sepotong brownies dan menelannya dengan lahap.
“Hah? Kok bisa tahu gue? Gimana ceritanya?” aku sungguh-sungguh kaget. Mega tak pernah sekalipun membicarakan tentang temannya padaku. Bagaimana pula si Ryan ini bisa berinisiatif untuk mengajak aku berkenalan??
“Lewat Facebook. Kapan itu pas gue buka Facebook, ga sengaja dia lihat akun lo. Terus nanya-nanya tentang lo terus. Kayaknya sih dia tertarik banget sama lo. Dia lagi nyari calon istri tuh, kasihan udah sering ditolak cewek. Padahal sih menurut gue dia ganteng, baik hati aja pake banget, udah gitu penurut pula. Mungkin juga terlalu penurut sih, jadinya cewek-ceweknya malah pada ninggalin. Mau kaga lo?”
Aduh, gawat. Aku jadi bingung. Aku belum begitu kepengin mencari calon pendamping hidup, tapi setelah kupikir tidak ada salahnya untuk dicoba. Toh kalau gak cocok ya tidak usah dijalani. Aku tidak mau terlalu berurusan dengan galau menggalau, seperti anak muda jaman sekarang. Sudah bukan saatnya lagi.
“Mmm… Gimana ya Ga? Gue liat facebooknya dulu deh. Boleh gak?” Akhirnya kuputuskan untuk melihat akun Facebook pria itu terlebih dahulu. Bukannya aku mementingkan fisik. Tapi siapa tahu dengan melihat wajahnya terlebih dulu, aku jadi lebih siap untuk bertemu di dunia nyata. Mega mengangguk dan mulai memencet tombol-tombol di hape Androidnya. Beberapa menit kemudian dia mengangsurkan hapenya padaku. Kuambil hape itu dan melihat akun facebook dengan foto profil seorang pria yang lumayan ganteng.
“Gimana, ganteng kan? Pasti lah, sobat gue!” Mega menggoda jail sambil mengedip-ngedipkan matanya padaku.
“Lumayan sih…”
“Yah, masak lumayan doang. Ganteng itu. Sama Mas Gege aja gantengan dia.”
Tampaknya Mega hanya mencoba merayuku. Mas Gege adalah suaminya. Dan setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan mengakui kalau dia itu charming. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menerima ajakan si Ryan ini, yang setelah pertemuan itu akan kupanggil Mas Ryan.
“Ok deh. Kapan dia mau ketemu gue?” tanyaku sambil mengembalikan hape Mega. Dalam hati aku tidak terlalu mengharapkan rencana ini terjadi. Mega menepuk pundakku dengan kegirangan.
“Nah, gitu dong. Gampang, ntar gue atur deh. Ayo sekarang kita pesen main course-nya. Gado-gado dua ya, buk!”
***
Setelah sebulan jalan bersama, akhirnya aku dan Mas Ryan memutuskan untuk serius. Dia telah berulang kali mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Aku tersanjung jujur saja, tapi aku belum siap. Terkadang aku merasa terlalu cuek padanya. Padahal benar kata Mega, dia orang yang sangat baik. Dia tidak pernah berbicara kasar dan selalu sopan padaku. Aku heran kenapa dia bisa menyukaiku. Satu hal yang membuatku sangat nyaman bersamanya adalah kesabarannya. Pernah suatu kali dia mengajakku untuk berkenalan dengan salah satu tantenya. Itu artinya bertamu dan mengobrol dengan tantenya. Tentu saja aku belum siap. Semua ide tentang menjalin silaturahmi dengan calon keluarga baru malah membuatku pusing dan mual. Mas Ryan sedikit memaksa ketika itu, yang akhirnya kusadari mungkin karena dia ingin menunjukkan keseriusannya denganku. Aku jadi sebal karenanya, dan kata putus sempat keluar dari mulutku. Menyesal aku pernah mengatakannya.
“Ratih, dia tanteku yang paling dekat denganku. Dia baik banget kok, kamu pasti nyambung ngobrol sama dia. Ayolah, ini juga cuma makan malam biasa. Dia gak akan menginterogasimu.” Kala itu Mas Ryan mengatakannya dengan menggenggam tanganku. Aku merasa sedikit kasihan, tetapi tetap saja aku tidak siap.
“Tapi kamu tahu aku belum siap, Mas. Kita baru jalan sebulan lebih sedikit. Kenapa harus buru-buru sih? Waktu kita masih banyak.”
“Tapi Tih, aku gak pernah minta apa-apa dari kamu. Sekali ini saja aku mohon. Tanteku sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Aku tumbuh besar dengannya. Mengertilah sedikit, Tih.”
Apa?? Mengertilah sedikit?? Memangnya dia sudah mencoba mengerti aku? Seharusnya Mas Ryan memahami perasaanku. Aku butuh persiapan. Dia tidak perlu takut. Kalau aku sudah memutuskan untuk memilihnya, Insya Yesus dia akan bersamaku selamanya. Dan waktu masih sangat panjang. Kenapa harus terburu-buru?
“Mengertilah sedikit katamu, Mas? Jadi kamu mau bilang kalau aku tidak pengertian? Hal-hal kayak gini nih yang bikin aku gak pernah mau serius. Ribet!” Aku sedikit menaikkan nada suaraku. Dan menekankan kata terakhir, supaya Mas Ryan tahu kalau aku stress dibuatnya.
“Astaga, bukan gitu, Tih! Kamu sering banget kayak gini. Aku…”
Belum selesai omongan Mas Ryan, aku sudah memotongnya. Aku tak pernah mau ribut. Pertengkaran selalu mengingatkanku pada Ibu dan Bapakku, yang membuat semacam trauma dalam diriku.
“Aku apa? Mau putus? Ya udah. Aku gapapa kok.” Kataku saat itu sambil memunggungi Mas Ryan. Aku tidak suka dia harus melihatku saat sedang marah.
“Ya ampun, Tih. Aku belum selesai ngomong. Aku tu cuma bingung apa salahku. Aku gak pengin putus dari kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku bener-bener pengin kamu jadi yang terakhir dalam hidupku.”
Aku terdiam. Selama ini aku sangat susah jatuh cinta. Pada awalnya pun aku tidak memiliki perasaan apa-apa pada Mas Ryan. Tapi kesabaran dan keteguhan hatinya telah meluluhkan aku. Aku mulai menyayangi pria ini. Jauh di lubuk hatiku, aku juga tidak ingin kehilangan dia. Setelah mengatur nafasku, aku membalikkan punggungku. Mas Ryan sedang memandangku. Tatapannya lurus menatap kedua mataku, seolah dia sedang mencari-cari jawaban. Dan ini yang paling kubenci. Tatapan mata itu mengandung permohonan maaf. Dia tidak pernah punya salah apapun. Aku benci mengakui bahwa akulah yang egois.
Kami berdua tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia memelukku, dan aku membalas pelukannya. Dalam hati aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan pria yang begitu baik ini padaku. Tuhan, aku mencintai pria ini. Tolong maafkan aku telah melukai perasaannya. Aku sayang padanya Tuhan. Sangat sayang.
***
Bulan demi bulan pun berlalu. Setelah hubunganku dengan Mas Ryan berjalan 10 bulan, kami memutuskan untuk menikah. Aku sudah bertemu dengan kedua orangtuanya, begitupun sebaliknya. Jadi hubungan kami direstui. Kedua adikku pun mendukung keputusanku. Kadang aku berpikir bahwa ide ini sungguh gila. Setelah sekian lama akhirnya aku akan menikah! Aku bahagia dan aku merasa tenang memiliki calon suami seperti Mas Ryan. Dia benar-benar jauh dari sosok pria monster yang selama ini selalu membuatku takut untuk berhubungan serius. Dia bahkan mau merawatku ketika aku sakit, yang berarti bahwa dia harus bolak balik ke rumah, tempat kerja, dan kosku. Dia benar-benar seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
Kami telah merencanakan pernikahan kami. Seperti apa konsepnya, berapa tamu yang akan diundang, dan kira-kira berapa dana yang kami butuhkan. Namun kami belum merencanakan tanggal. Target kami adalah tahun depan, mungkin setelah tahun baru. Harapannya adalah tahun baru, lembaran baru. Hari ini hari Minggu. Aku duduk saja di kosku karena aku dan Mas Ryan sudah ke gereja kemarin sore. Katanya Mas Ryan mau pergi menemui teman lamanya pagi ini. Aku tidak mau ikut, karena takut merusak suasana reuni itu nantinya. Aku sedang melihat berbagai model gaun pengantin di salah satu majalah fashion, ketika hapeku tiba-tiba berdering. Terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di ujung telepon.
“Halo, ini Ratih kan?”
“Iya. Ini siapa ya?” tanyaku dengan sopan.
“Gue Fabi, Tih. Lo harus cepet ke RS Kasih. Ryan kecelakaan.”
Kepalaku serasa dihantam palu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Ketika aku berhasil mencerna semuanya, napasku memburu. Mataku memandang nanar ke dinding. Mas Ryan kecelakaan. Tidak mungkin…
“Hallo, Tih? Tih? Kamu gak papa kan? Tih…” kembali kudengar suara Fabian. Aku tersadar dan menjawab dengan suara parau. Air bening mulai mengalir dari kedua sudut mataku. Kepalaku pening dan aku merasa sangat lemas.
“Terus gimana keadaannya Bi?”
“Pokoknya lo kesini dulu. Naik taksi aja Tih, biar cepet. Gue tunggu ya.”
***
Dua bulan setelah itu aku mengunjungi Mas Ryan. Aku kangen sekali padanya. Aku ingin menemuinya dan menumpahkan segala perasaanku. Rangkaian mawar di genggaman tanganku kuletakkan di atas gundukan tanah makam. Mas Ryan telah pergi, membawa semua cinta yang aku punya. Membawa semua harapan yang kini kosong, hampa. Kupikir Mas Ryan lah orang terakhir yang akan menemaniku hingga tua nanti. Dan memang aku berharap bahwa dialah orangnya. I wish he were the one. Aku menangis, menjerit dalam hati. Berulang kali bertanya pada Tuhan, kenapa semua ini terjadi padaku dan Mas Ryan. Ada bermilyar orang di muka bumi ini, kenapa semua ini harus menimpaku dan Mas Ryan. Kepergian Mas Ryan menimbulkan begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Menguarkan aroma kenangan manis, namun kemudian memberi rasa sesak yang entah kapan akan sirna.
***
Hapeku bergetar. Kulihat di layar ada satu pesan masuk. Fabian. Aku hampir lupa aku punya janji menemaninya makan malam. Aku harap malam ini aku tidak membuatnya kesal karena harus mendengarku terisak-isak mengenang Mas Ryan. Biarlah semua tanya ini mendapatkan jawabannya seiring waktu. Hidup harus terus berjalan.

- The End -