Hi, Welcome to my blog, enjoy reading.
RSS

Sunday 4 November 2012

The Messenger


Pagi ini penuh prahara. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini terasa seperti neraka bagi Rangga. Dia sudah terbiasa dengan suasana “horor” di rumahnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Menurut Rangga, ayahnya sudah keterlaluan.

Semua berjalan wajar awalnya, Rangga bangun jam 6 setelah mendengar teriakan alarm yang hampir membangunkan orang satu kompleks. Dia pun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Hari ini kuliahnya dimulai pukul 7. Ekonomi makro, matakuliah yang paling membosankan bagi Rangga. Pukul 6.30 Rangga sudah duduk di meja makan, berhadapan dengan ayahnya. Sepiring nasi dan telur serta segelas susu andalan mbak Siti sudah terhidang di hadapan mereka, melolong-lolong untuk dimakan.

Rangga mulai menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. Ayahnya pun melakukan hal yang sama. Hening. Rangga menelan suapan yang ketiga. Hening.

“Gimana hasil UTSmu?” tiba-tiba ayah Rangga buka suara. Dalam, parau, dan tidak terlalu jelas. Namun masih cukup jelas bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar. Rangga sejenak menghentikan suapannya, tanpa memandang ayahnya. Ekspresinya was-was, tapi dia berusaha tenang.

“Lumayan Pa, gak lebih buruk dari semester kemarin,” jawab Rangga akhirnya.

“Kamu tau bukan itu jawaban yang ingin papa dengar,” timpal ayah Rangga dengan nada datar yang sama.

Rangga diam. Dia sudah bosan dengan semua ini. Bukan salahnya kalau nilai-nilainya buruk. Dari awal dia sudah tidak berniat untuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Bahkan ekonomi adalah mata pelajaran yang paling dibencinya saat dia duduk di bangku SMA.

“Tadi pagi papa buang sampah.”

Rangga sedikit tertegun dan hampir-hampir tertawa. Kenapa tiba-tiba ayahnya membicarakan sampah? Apakah otaknya sudah terganggu?

“Semua barang-barang di bawah meja ruang tengah yang sudah tidak dipakai papa buang. Termasuk sampah-sampah kertasmu yang kamu biarkan teronggok tak berguna,” ayah Rangga melanjutkan sambil sedikit melirik anaknya.

Kesadaran menghantam Rangga. Kini dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Perlahan-lahan darahnya  mulai mendidih. Dia pun mendongak memandang ayahnya.

“Maksud papa, sketsa-sketsaku? Pa, sketsa itu baru kuselesaikan tadi malam. Aku lupa membawanya ke kamar, bukannya tidak berguna seperti kata papa. Dimana papa buang semua kertas-kertas itu?” Rangga pun beranjak dari kursinya dan sudah bersiap hendak mencari sketsa-sketsanya.

Ayah Rangga akhirnya mendongak menatap putranya. Masih dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang sulit ditebak. Namun kata-kata berikutnya yang keluar mampu membuat Rangga semakin emosi.

“Sudah berapa kali papa menyuruhmu untuk berhenti mengurusi omong-kosongmu itu? Mau jadi apa kamu nanti?! Kamu pikir kamu bisa gampang cari duit hanya dengan menjual hasil desainmu yang belum tentu disukai orang?! Hah?”

“Tapi menjadi arsitek itu adalah cita-citaku sejak kecil, Pa. Dan aku yakin Papa tahu itu. Aku yakin aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus meneruskan ambisi papa. Aku juga yakin kalau mama masih ada, pasti beliau juga akan mendukung keputusan aku!” bantah Rangga membabibuta. “Aku bukan boneka papa!!”

“Jangan bawa-bawa ibumu. Kamu masih kecil, tidak tahu apa-apa. Kamu belum merasakan kejamnya hidup. Aku dan mamamu bisa menjadi seperti ini juga karena didikan orang tua, karena kami menurut pada orang tua, kakek dan nenekmu,” papa Rangga berdiri kali ini.

“Hah! Iya pa, mama memang menurut. Tapi sebenarnya mama tertekan. Mama sakit karena beban pikiran. Dan itu semua karena papa dan keluarga papa yang hanya melulu memikirkan bisnis dan uang…!”

 “Cukup Rangga!! Berani sekali kamu bicara pada papa seperti itu! Sekarang keluar kamu sebelum habis kesabaran papa. Keluar!”

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Segera setelah mendengar kalimat ayahnya yang terakhir, Rangga pun bergegas keluar. Buru-buru dia nyalakan motornya. Di luar pagar, tak sengaja dia melihat ke bak sampah. Dia melihat beberapa lembar kertas dengan sketsa-sketsa desain bangunan yang digambarnya tadi malam. Rangga mengambil semua kertas itu dan langsung berlalu pergi, mengendarai motornya dengan kencang.

***

Sepanjang perjalanan, ingatan akan ucapan ayahnya masih melekat di pikiran Rangga. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia sudah muak dengan ayahnya, dengan situasi rumahnya yang seperti rumah hantu. Mungkin kalau Rio, kakaknya, masih tinggal bersama mereka, situasi akan menjadi lebih baik. Namun pekerjaan menuntut Rio untuk tinggal di luar pulau.

Rangga membenci sikap ayahnya. Dari kecil, Rangga merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Beruntung dia masih memiliki ibu hingga dia naik kelas dua SMA dan Rio yang bisa menjadi tempatnya bercerita setelah mamanya tiada. Namun sekarang, dia harus menghadapi kenyataan pahit tinggal berdua dengan ayahnya, bertiga dengan Mbak Siti yang pendiam.

Pikiran Rangga selalu dipenuhi dengan ambisinya menjadi seorang arsitek. Rangga sudah menunjukkan bakat menggambar dan berhitung yang hebat sejak masih TK. Kekagumannya akan bangunan megah dan indah semakin mendorongnya untuk kuliah di jurusan arsitektur. Tapi dia harus rela melepas semua impiannya demi meneruskan bisnis konveksi ayahnya yang berkembang pesat.

“Awaaaaas…!!!” Rangga berteriak kaget menyadari seorang anak perempuan kecil menyeberang di depannya. Untung dia berhasil mengerem motornya tepat waktu. Rangga terlalu sibuk melamunkan pertengkarannya dengan sang papa dan tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya.

Anak kecil itu juga memekik kaget. Rangga pun segera turun dari motor dan menghampiri gadis mungil itu untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tampaknya gadis itu adalah salah satu dari ribuan anak terlantar di Jakarta.

Rangga cukup terkejut setelah melihat anak itu dari dekat. Anak itu kira-kira berusia 5 tahun. Mungkin dia memang anak jalanan, namun wajahnya cantik dan damai seperti malaikat. Sorot matanya teduh namun bersinar-sinar penuh semangat. Rambut panjangnya memang memerah terbakar sinar matahari, tapi bersih. Pipinya merona merah dan senyumnya sangat lembut. Dia juga tidak kucel seperti anak yang tidak pernah mandi. Pakaiannya bersih dan badannya juga tidak kurus. Anak itu sungguh sangat lucu.

Rangga berjongkok untuk berbicara dengan anak itu. Sambil memegang kepalanya, Rangga pun bertanya dengan nada khawatir,”Adek, kamu gak papa?”

Anak itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tampaknya dia paham benar bahwa Rangga adalah orang baik yang tidak akan menyakitinya.

“Nama kamu siapa?” tanya Rangga lagi.

“Amel. Kakak siapa?” suara Amel yang ceria terdengar merdu di telinga Rangga dan begitu menenangkan hatinya.

“Kenalin, nama Kakak Rangga,” jawab Rangga sambil mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri. “Maafin kakak ya, tadi hampir nabrak kamu. Rumah kamu dimana? Kok pagi-pagi udah lari-larian di sini?”

“Amel gak punya rumah, Kak Rangga. Amel suka pindah-pindah tidurnya.

Jadi benar dugaan Rangga, Amel adalah salah satu dari banyak anak jalanan yang tersebar di seantero kota. Refleks, Rangga melihat sekeliling. Tampak satu gerobak bubur di pinggir jalan itu.

“Amel sudah makan?” tanya Rangga sambil tersenyum.

“Belum Kak.

“Sarapan bubur mau?”

Amel mengangguk dan berkata,”Tapi Kakak juga ikut makan.” Seolah Amel sudah tahu bahwa Rangga telah makan sedikit nasi dan telur pagi itu. Rangga pun mengiyakan. Lagipula, dia memang masih merasa lapar. Pertengkaran dengan ayahnya telah membuatnya kehilangan selera makan dan tidak menghabiskan menu andalan Mbak Siti. Dia bahkan memutuskan untuk membolos kuliah karena jelas-jelas dia sudah terlambat.

Rangga dan Amel duduk berjejer di kursi panjang sederhana, di samping gerobak bapak tukang bubur. Dalam beberapa menit saja, pesanan bubur mereka sudah datang. Amel memakan buburnya dengan bersemangat. Rangga mengamatinya sambil tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

“Kalau udah gede Amel mau jadi apa?” tanya Rangga membuka kembali percakapan mereka.

“Kalo udah gede, Amel pengin buat baju yang buanyaaak…banget!” jawab Amel menggemaskan sambil tetap mengunyah makanannya.

“Hahaha… Kenapa pengin buat baju?” tanya Rangga yang sedikit surprised juga dengan jawaban Amel. Rata-rata anak kecil kalau ditanyai soal cita-cita akan menjawab dokter, guru, penyanyi, dan jawaban standar lainnya.

“Soalnya Amel bajunya cuma satu kak. Temen-temen Amel juga. Jadi kalau Amel bisa buat baju sendiri, Amel bisa kasih ke temen-temen Amel. Gratis!!” jawab Amel, memamerkan gigi-gigi kecilnya pada Rangga.

Rangga terdiam sebentar, teringat pada ayahnya. Rangga adalah anak seorang pengusaha konveksi yang cukup terkenal. Sering berganti baju mahal dan branded merupakan hal biasa baginya. Sementara Amel harus memakai satu-satunya baju yang dia punya setiap hari. Menurut Rangga ini sungguh sangat ironis. Langsung terbersit dalam pikirannya untuk mengambil beberapa baju anak-anak produksi perusahaannya dan memberikannya pada Amel. 

“Kak Rangga kok diem? Kakak udah kenyang?” tanya Amel sambil mengayun-ayunkan kakinya yang belum bisa menjejak tanah dari tempat dimana dia duduk.

Rangga terhenyak, kemudian tersenyum setelah berhasil mencerna pertanyaan Amel. “Oh, gak Mel. Belum. Kakak masih lapeer…” sahut Rangga sambil meringis dan mengelus-elus perutnya sendiri, kemudian menyuapkan sisa bubur ke mulutnya dengan lahap.

***

Setelah pertemuan pertamanya dengan Amel, Rangga menjadi sedikit ceria, merasa hidup kembali, meskipun belum merasa utuh. Tiap beberapa hari sekali, Rangga menemui Amel. Makan bubur bersama di tempat yang biasa. Rangga suka akan kepolosan gadis kecil itu. Melihat muka malaikatnya selalu dapat mengingatkannya bahwa dunia ini tak melulu kejam. Namun, keadaan berubah 180 derajat ketika Rangga kembali ke rumah. Dia harus menghadapi suasana horor itu. Kembali menopang gelombang kehampaan yang sama. Rangga tak lagi memedulikan amarah ayahnya. Dia bersikeras untuk tetap menggambar dan mewujudkan cita-citanya meskipun itu berarti dia harus rela didiamkan ayahnya sepanjang waktu. Dia bahkan sempat berpikir bahwa suatu hari kelak ayahnya tidak akan sudi lagi menganggapnya anak.

Selasa siang yang panas. Rangga duduk di teras belakang. Suara bariton vokalis Avenged Sevenfold yang begitu dikaguminya mengalun dari smartphone dalam saku Rangga, mengalir tenang melalui headset yang bertengger di kepalanya. So far away. Lagu emosional ini selalu mengingatkan Rangga pada almarhumah ibunya. Akh, andaikan mama masih di sini… Pikir Rangga sambil menggoreskan pensil pada selembar kertas seukuran A3.

Ayah Rangga berjalan pelan mendekatinya dari ruang dalam. Ayahnya pun berdeham. Rangga menggumam kecil, menirukan suara Matt Shadows yang nyaring di telinganya. Ayahnya berdeham sekali lagi.

How do I live without the ones I love…” Rangga bersenandung semakin keras. Akhirnya ayah Rangga memutuskan untuk memanggilnya.

“Rangga…”

Rangga tak menoleh. Dia tak mendengar suara ayahnya sama sekali. Ayah Rangga hendak memanggilnya sekali lagi, namun tampaknya hal itu begitu berat baginya. Usahanya terhenti. Ayah Rangga memandangi sebentar sosok Rangga dari belakang, kemudian berbalik pergi.

Rangga merasa seseorang berdiri di belakangnya dan ia pun menoleh. Namun dia tak melihat siapa-siapa. Rangga hanya mengedikkan sedikit bahunya dan kembali mengguratkan pensilnya.

***

Rangga kembali bertemu dengan Amel. Kali ini Rangga membawakan Amel sebungkus eskrim dan mengajaknya untuk menghabiskan eskrim itu di taman. Dari tempat itu, Rangga bisa melihat dengan jelas bangunan hotel termewah di Jakarta. Dia hendak menggambar hotel itu dan berencana untuk merevisi desainnya menjadi sesuatu yang baru. Amel sangat senang menemani Rangga menggambar. Dia kagum akan keindahan sketsa-sketsa Rangga.

“Kak Rangga kok gambarnya bisa bagus banget? Pasti papa kak Rangga yang ngajarin,”Amel berujar sambil menjilat eskrimnya dengan ekspresi khas anak kecil yang kegirangan.

“Ah, Amel sok tau. Papa kak Rangga malah gak suka gambar. Gambar kakak suka dijadiin bantal sama dia,” sahut Rangga, mencoba bercanda meskipun hatinya tersayat.

“Wah, kasihan gambarnya dong, kak. Pasti rusak,” Amel kecil menimpali lagi sambil mengamati muka Rangga yang sedang serius menggambar.

Rangga hanya menjawab dengan senyuman. Beberapa detik kemudian Amel melontarkan pertanyaan yang tidak diduga-duga Rangga sebelumnya.

“Kak Rangga benci ya sama papa kakak?”

“Kok Amel nanyanya gitu?” tanya Rangga dengan kening berkerut, berpikir darimana Amel mendapatkan inspirasi untuk menanyakan hal semacam itu.

“Kan papanya kakak make gambar-gambar itu buat bantal. Padahal gambarnya bagus-bagus. Harusnya kan dipajang kak. Ditempel-tempel di dinding,” jawab Amel dengan ekspresi polos.

Rangga diam. Berpikir lama. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Dia sendiri tak mengerti apakah dia membenci ayahnya atau tidak. Ayahnya yang telah mencoba untuk mengubur impiannya. Ayahnya yang selalu ditakutinya karena selalu keras dan disiplin. Ayahnya yang memberi kebebasan lebih pada kakaknya, Rio, namun tidak padanya. Ayahnya yang selalu menganggapnya anak kecil. Ayahnya yang terbiasa meninggalkan keluarga berhari-hari karena urusan bisnis. Ayahnya yang telah membuat ibunya tertekan dan depresi. Namun tetap saja, sosok itu adalah ayahnya.

“Gak, Mel. Kakak gak benci sama papa. Beliau sudah membesarkan kakak sampe segede monster gini, masa’ kakak benci,” sahut Rangga akhirnya.

“Hihihi… bagus kak,” balas Amel sambil menepuk-nepuk lengan Rangga layaknya orang dewasa. Rangga geli juga dengan reaksi Amel, namun dia hanya tertawa.

“Kita emang gak boleh benci sama papa mama kita, kak. Nanti dosa. Amel malah pengin peluk papa Amel kalau ketemu, tapi gak bisa,” kata Amel sambil menunduk sedih dan menggenggam sedikit eskrim yang masih tersisa.

“Kenapa gak bisa, Mel?” tanya Rangga spontan.

“Papa Amel udah di surga,” jawab Amel singkat. Kemudian dia mendongak dan menatap Rangga yang trenyuh. Rangga bisa merasakan kesedihan gadis itu. Dan seolah, kesedihan itu adalah juga miliknya. “Tapi gakpapa. Amel seneng ketemu kakak. Kak Rangga baik, kayak papa Amel,” lanjut Amel sambil kembali memamerkan giginya yang kecil-kecil. Namun Rangga melihat sebutir kristal bening menggantung di sudut mata gadis itu.

Rangga tersenyum dan mengelus kepala Amel dengan lembut. Tiba-tiba dia sangat merindukan ayahnya.

***

Sudah tiga jam yang lalu sejak Mbak Siti menelepon Rangga untuk mengabari bahwa ayahnya mendadak pingsan ketika sedang membaca koran. Kini sang ayah tergolek lemah di atas seprei putih rumah sakit. Rangga duduk di kursi, di samping ayahnya dan memandang wajah sang ayah yang tampak pucat dan seperti menanggung duka mendalam. Baru kali ini Rangga menyadarinya. Di balik ekspresi kaku dan keras ayahnya tersimpan sepercik kepedihan yang menggantung.

“Rangga…” ayah Rangga tersadar dan memanggilnya dengan lirih.

“Iya pa. Aku di sini,” sahut Rangga segera, menghapus air mata yang sempat mengalir.

“Rangga, maafkan papamu, nak,” kata ayah Rangga dengan mantap meskipun dengan suara yang tidak terlalu jelas terdengar karena menahan sakit di jantungnya.

“Gak pa, Rangga yang minta maaf..

“Dengar dulu, papa belum selesai. Papa akui kalau papa egois. Kamu sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan sendiri jalan hidupmu. Tugas papa untuk mensupport setiap keputusanmu. Lanjutkanlah keinginanmu, nak.”

“Pa…

“Tapi satu yang papa minta. Selesaikan kuliahmu. Papa tidak akan melarangmu lagi untuk belajar hal lain. Mungkin suatu saat kamu bisa membuatkan papa sebuah istana,” pungkas ayah Rangga dengan sebuah senyuman sambil sedikit meringis kesakitan.

Sontak Rangga memeluk ayahnya. Sambil mengucapkan kata terimakasih dan maaf yang tak berkesudahan.

***

Rangga tak pernah berhasil lagi menemukan Amel setelah ayahnya pulang dari rumah sakit. Padahal dia ingin sekali berterimakasih pada gadis itu. Bahkan dia bermaksud untuk mengangkat Amel sebagai adik. Namun Amel memang tak pernah ada. Tidak penting sebenarnya apakah gadis itu ada atau tidak. Pesannya sudah tersampaikan.


4 comments:

  1. koreksinya
    * penggunaan kata horor yang menggambarkan suasana rumah kaya ny kurang pas deh, kan thu rumah bukan rumah hantu, mosok di gambarkan horor...

    * klimaks ny kurang greget, (klimaks ny thu yg bapak ny rangga masuk rumah sakit bukan????)

    * pengakhiran cerita ny rada aneh...kurang ada fell ny gitu...

    sekian koreksi dari saiiya...

    ~lumayan lah, saiiya kasih nilai 6,5 (hahahahahaha)...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hei, sudah dblng saya tdk mnta nilai,, (berasa master chef). Itu 6.5 skala 7 y? :-P
      Aq mau defend, haha
      - Horor sudah saya beri tnda kutip, saudara
      -Saya memang suka ending yg aneh
      Kalo yg klimaks, sya stuju, hahaha

      Delete
    2. hahahahahaha
      ora lah....
      ya pokok ny 6,5 dari . . . . .
      ya mending d ganti sama kata lain deh horor ny itu..

      kamu emang anehhhhh, maka ny suka sama ending yg aneh...

      semangka.....

      Delete
  2. hakakakakakak...........
    Gimana gak aneh kalo punya tetangga yang aneh juga -_-"

    Ok deh, tengkiu. Tapi kata horor nya gak akan q ganti, hahahaha.....

    Semangka glundang glundung...........

    ReplyDelete

Sweet... Sweet... Sweet...

Taste the sweetness of life

Sunday 4 November 2012

The Messenger


Pagi ini penuh prahara. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini terasa seperti neraka bagi Rangga. Dia sudah terbiasa dengan suasana “horor” di rumahnya setiap pagi. Tetapi pagi ini berbeda. Menurut Rangga, ayahnya sudah keterlaluan.

Semua berjalan wajar awalnya, Rangga bangun jam 6 setelah mendengar teriakan alarm yang hampir membangunkan orang satu kompleks. Dia pun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Hari ini kuliahnya dimulai pukul 7. Ekonomi makro, matakuliah yang paling membosankan bagi Rangga. Pukul 6.30 Rangga sudah duduk di meja makan, berhadapan dengan ayahnya. Sepiring nasi dan telur serta segelas susu andalan mbak Siti sudah terhidang di hadapan mereka, melolong-lolong untuk dimakan.

Rangga mulai menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. Ayahnya pun melakukan hal yang sama. Hening. Rangga menelan suapan yang ketiga. Hening.

“Gimana hasil UTSmu?” tiba-tiba ayah Rangga buka suara. Dalam, parau, dan tidak terlalu jelas. Namun masih cukup jelas bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar. Rangga sejenak menghentikan suapannya, tanpa memandang ayahnya. Ekspresinya was-was, tapi dia berusaha tenang.

“Lumayan Pa, gak lebih buruk dari semester kemarin,” jawab Rangga akhirnya.

“Kamu tau bukan itu jawaban yang ingin papa dengar,” timpal ayah Rangga dengan nada datar yang sama.

Rangga diam. Dia sudah bosan dengan semua ini. Bukan salahnya kalau nilai-nilainya buruk. Dari awal dia sudah tidak berniat untuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Bahkan ekonomi adalah mata pelajaran yang paling dibencinya saat dia duduk di bangku SMA.

“Tadi pagi papa buang sampah.”

Rangga sedikit tertegun dan hampir-hampir tertawa. Kenapa tiba-tiba ayahnya membicarakan sampah? Apakah otaknya sudah terganggu?

“Semua barang-barang di bawah meja ruang tengah yang sudah tidak dipakai papa buang. Termasuk sampah-sampah kertasmu yang kamu biarkan teronggok tak berguna,” ayah Rangga melanjutkan sambil sedikit melirik anaknya.

Kesadaran menghantam Rangga. Kini dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Perlahan-lahan darahnya  mulai mendidih. Dia pun mendongak memandang ayahnya.

“Maksud papa, sketsa-sketsaku? Pa, sketsa itu baru kuselesaikan tadi malam. Aku lupa membawanya ke kamar, bukannya tidak berguna seperti kata papa. Dimana papa buang semua kertas-kertas itu?” Rangga pun beranjak dari kursinya dan sudah bersiap hendak mencari sketsa-sketsanya.

Ayah Rangga akhirnya mendongak menatap putranya. Masih dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang sulit ditebak. Namun kata-kata berikutnya yang keluar mampu membuat Rangga semakin emosi.

“Sudah berapa kali papa menyuruhmu untuk berhenti mengurusi omong-kosongmu itu? Mau jadi apa kamu nanti?! Kamu pikir kamu bisa gampang cari duit hanya dengan menjual hasil desainmu yang belum tentu disukai orang?! Hah?”

“Tapi menjadi arsitek itu adalah cita-citaku sejak kecil, Pa. Dan aku yakin Papa tahu itu. Aku yakin aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus meneruskan ambisi papa. Aku juga yakin kalau mama masih ada, pasti beliau juga akan mendukung keputusan aku!” bantah Rangga membabibuta. “Aku bukan boneka papa!!”

“Jangan bawa-bawa ibumu. Kamu masih kecil, tidak tahu apa-apa. Kamu belum merasakan kejamnya hidup. Aku dan mamamu bisa menjadi seperti ini juga karena didikan orang tua, karena kami menurut pada orang tua, kakek dan nenekmu,” papa Rangga berdiri kali ini.

“Hah! Iya pa, mama memang menurut. Tapi sebenarnya mama tertekan. Mama sakit karena beban pikiran. Dan itu semua karena papa dan keluarga papa yang hanya melulu memikirkan bisnis dan uang…!”

 “Cukup Rangga!! Berani sekali kamu bicara pada papa seperti itu! Sekarang keluar kamu sebelum habis kesabaran papa. Keluar!”

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Segera setelah mendengar kalimat ayahnya yang terakhir, Rangga pun bergegas keluar. Buru-buru dia nyalakan motornya. Di luar pagar, tak sengaja dia melihat ke bak sampah. Dia melihat beberapa lembar kertas dengan sketsa-sketsa desain bangunan yang digambarnya tadi malam. Rangga mengambil semua kertas itu dan langsung berlalu pergi, mengendarai motornya dengan kencang.

***

Sepanjang perjalanan, ingatan akan ucapan ayahnya masih melekat di pikiran Rangga. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia sudah muak dengan ayahnya, dengan situasi rumahnya yang seperti rumah hantu. Mungkin kalau Rio, kakaknya, masih tinggal bersama mereka, situasi akan menjadi lebih baik. Namun pekerjaan menuntut Rio untuk tinggal di luar pulau.

Rangga membenci sikap ayahnya. Dari kecil, Rangga merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Beruntung dia masih memiliki ibu hingga dia naik kelas dua SMA dan Rio yang bisa menjadi tempatnya bercerita setelah mamanya tiada. Namun sekarang, dia harus menghadapi kenyataan pahit tinggal berdua dengan ayahnya, bertiga dengan Mbak Siti yang pendiam.

Pikiran Rangga selalu dipenuhi dengan ambisinya menjadi seorang arsitek. Rangga sudah menunjukkan bakat menggambar dan berhitung yang hebat sejak masih TK. Kekagumannya akan bangunan megah dan indah semakin mendorongnya untuk kuliah di jurusan arsitektur. Tapi dia harus rela melepas semua impiannya demi meneruskan bisnis konveksi ayahnya yang berkembang pesat.

“Awaaaaas…!!!” Rangga berteriak kaget menyadari seorang anak perempuan kecil menyeberang di depannya. Untung dia berhasil mengerem motornya tepat waktu. Rangga terlalu sibuk melamunkan pertengkarannya dengan sang papa dan tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya.

Anak kecil itu juga memekik kaget. Rangga pun segera turun dari motor dan menghampiri gadis mungil itu untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tampaknya gadis itu adalah salah satu dari ribuan anak terlantar di Jakarta.

Rangga cukup terkejut setelah melihat anak itu dari dekat. Anak itu kira-kira berusia 5 tahun. Mungkin dia memang anak jalanan, namun wajahnya cantik dan damai seperti malaikat. Sorot matanya teduh namun bersinar-sinar penuh semangat. Rambut panjangnya memang memerah terbakar sinar matahari, tapi bersih. Pipinya merona merah dan senyumnya sangat lembut. Dia juga tidak kucel seperti anak yang tidak pernah mandi. Pakaiannya bersih dan badannya juga tidak kurus. Anak itu sungguh sangat lucu.

Rangga berjongkok untuk berbicara dengan anak itu. Sambil memegang kepalanya, Rangga pun bertanya dengan nada khawatir,”Adek, kamu gak papa?”

Anak itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tampaknya dia paham benar bahwa Rangga adalah orang baik yang tidak akan menyakitinya.

“Nama kamu siapa?” tanya Rangga lagi.

“Amel. Kakak siapa?” suara Amel yang ceria terdengar merdu di telinga Rangga dan begitu menenangkan hatinya.

“Kenalin, nama Kakak Rangga,” jawab Rangga sambil mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri. “Maafin kakak ya, tadi hampir nabrak kamu. Rumah kamu dimana? Kok pagi-pagi udah lari-larian di sini?”

“Amel gak punya rumah, Kak Rangga. Amel suka pindah-pindah tidurnya.

Jadi benar dugaan Rangga, Amel adalah salah satu dari banyak anak jalanan yang tersebar di seantero kota. Refleks, Rangga melihat sekeliling. Tampak satu gerobak bubur di pinggir jalan itu.

“Amel sudah makan?” tanya Rangga sambil tersenyum.

“Belum Kak.

“Sarapan bubur mau?”

Amel mengangguk dan berkata,”Tapi Kakak juga ikut makan.” Seolah Amel sudah tahu bahwa Rangga telah makan sedikit nasi dan telur pagi itu. Rangga pun mengiyakan. Lagipula, dia memang masih merasa lapar. Pertengkaran dengan ayahnya telah membuatnya kehilangan selera makan dan tidak menghabiskan menu andalan Mbak Siti. Dia bahkan memutuskan untuk membolos kuliah karena jelas-jelas dia sudah terlambat.

Rangga dan Amel duduk berjejer di kursi panjang sederhana, di samping gerobak bapak tukang bubur. Dalam beberapa menit saja, pesanan bubur mereka sudah datang. Amel memakan buburnya dengan bersemangat. Rangga mengamatinya sambil tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

“Kalau udah gede Amel mau jadi apa?” tanya Rangga membuka kembali percakapan mereka.

“Kalo udah gede, Amel pengin buat baju yang buanyaaak…banget!” jawab Amel menggemaskan sambil tetap mengunyah makanannya.

“Hahaha… Kenapa pengin buat baju?” tanya Rangga yang sedikit surprised juga dengan jawaban Amel. Rata-rata anak kecil kalau ditanyai soal cita-cita akan menjawab dokter, guru, penyanyi, dan jawaban standar lainnya.

“Soalnya Amel bajunya cuma satu kak. Temen-temen Amel juga. Jadi kalau Amel bisa buat baju sendiri, Amel bisa kasih ke temen-temen Amel. Gratis!!” jawab Amel, memamerkan gigi-gigi kecilnya pada Rangga.

Rangga terdiam sebentar, teringat pada ayahnya. Rangga adalah anak seorang pengusaha konveksi yang cukup terkenal. Sering berganti baju mahal dan branded merupakan hal biasa baginya. Sementara Amel harus memakai satu-satunya baju yang dia punya setiap hari. Menurut Rangga ini sungguh sangat ironis. Langsung terbersit dalam pikirannya untuk mengambil beberapa baju anak-anak produksi perusahaannya dan memberikannya pada Amel. 

“Kak Rangga kok diem? Kakak udah kenyang?” tanya Amel sambil mengayun-ayunkan kakinya yang belum bisa menjejak tanah dari tempat dimana dia duduk.

Rangga terhenyak, kemudian tersenyum setelah berhasil mencerna pertanyaan Amel. “Oh, gak Mel. Belum. Kakak masih lapeer…” sahut Rangga sambil meringis dan mengelus-elus perutnya sendiri, kemudian menyuapkan sisa bubur ke mulutnya dengan lahap.

***

Setelah pertemuan pertamanya dengan Amel, Rangga menjadi sedikit ceria, merasa hidup kembali, meskipun belum merasa utuh. Tiap beberapa hari sekali, Rangga menemui Amel. Makan bubur bersama di tempat yang biasa. Rangga suka akan kepolosan gadis kecil itu. Melihat muka malaikatnya selalu dapat mengingatkannya bahwa dunia ini tak melulu kejam. Namun, keadaan berubah 180 derajat ketika Rangga kembali ke rumah. Dia harus menghadapi suasana horor itu. Kembali menopang gelombang kehampaan yang sama. Rangga tak lagi memedulikan amarah ayahnya. Dia bersikeras untuk tetap menggambar dan mewujudkan cita-citanya meskipun itu berarti dia harus rela didiamkan ayahnya sepanjang waktu. Dia bahkan sempat berpikir bahwa suatu hari kelak ayahnya tidak akan sudi lagi menganggapnya anak.

Selasa siang yang panas. Rangga duduk di teras belakang. Suara bariton vokalis Avenged Sevenfold yang begitu dikaguminya mengalun dari smartphone dalam saku Rangga, mengalir tenang melalui headset yang bertengger di kepalanya. So far away. Lagu emosional ini selalu mengingatkan Rangga pada almarhumah ibunya. Akh, andaikan mama masih di sini… Pikir Rangga sambil menggoreskan pensil pada selembar kertas seukuran A3.

Ayah Rangga berjalan pelan mendekatinya dari ruang dalam. Ayahnya pun berdeham. Rangga menggumam kecil, menirukan suara Matt Shadows yang nyaring di telinganya. Ayahnya berdeham sekali lagi.

How do I live without the ones I love…” Rangga bersenandung semakin keras. Akhirnya ayah Rangga memutuskan untuk memanggilnya.

“Rangga…”

Rangga tak menoleh. Dia tak mendengar suara ayahnya sama sekali. Ayah Rangga hendak memanggilnya sekali lagi, namun tampaknya hal itu begitu berat baginya. Usahanya terhenti. Ayah Rangga memandangi sebentar sosok Rangga dari belakang, kemudian berbalik pergi.

Rangga merasa seseorang berdiri di belakangnya dan ia pun menoleh. Namun dia tak melihat siapa-siapa. Rangga hanya mengedikkan sedikit bahunya dan kembali mengguratkan pensilnya.

***

Rangga kembali bertemu dengan Amel. Kali ini Rangga membawakan Amel sebungkus eskrim dan mengajaknya untuk menghabiskan eskrim itu di taman. Dari tempat itu, Rangga bisa melihat dengan jelas bangunan hotel termewah di Jakarta. Dia hendak menggambar hotel itu dan berencana untuk merevisi desainnya menjadi sesuatu yang baru. Amel sangat senang menemani Rangga menggambar. Dia kagum akan keindahan sketsa-sketsa Rangga.

“Kak Rangga kok gambarnya bisa bagus banget? Pasti papa kak Rangga yang ngajarin,”Amel berujar sambil menjilat eskrimnya dengan ekspresi khas anak kecil yang kegirangan.

“Ah, Amel sok tau. Papa kak Rangga malah gak suka gambar. Gambar kakak suka dijadiin bantal sama dia,” sahut Rangga, mencoba bercanda meskipun hatinya tersayat.

“Wah, kasihan gambarnya dong, kak. Pasti rusak,” Amel kecil menimpali lagi sambil mengamati muka Rangga yang sedang serius menggambar.

Rangga hanya menjawab dengan senyuman. Beberapa detik kemudian Amel melontarkan pertanyaan yang tidak diduga-duga Rangga sebelumnya.

“Kak Rangga benci ya sama papa kakak?”

“Kok Amel nanyanya gitu?” tanya Rangga dengan kening berkerut, berpikir darimana Amel mendapatkan inspirasi untuk menanyakan hal semacam itu.

“Kan papanya kakak make gambar-gambar itu buat bantal. Padahal gambarnya bagus-bagus. Harusnya kan dipajang kak. Ditempel-tempel di dinding,” jawab Amel dengan ekspresi polos.

Rangga diam. Berpikir lama. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Dia sendiri tak mengerti apakah dia membenci ayahnya atau tidak. Ayahnya yang telah mencoba untuk mengubur impiannya. Ayahnya yang selalu ditakutinya karena selalu keras dan disiplin. Ayahnya yang memberi kebebasan lebih pada kakaknya, Rio, namun tidak padanya. Ayahnya yang selalu menganggapnya anak kecil. Ayahnya yang terbiasa meninggalkan keluarga berhari-hari karena urusan bisnis. Ayahnya yang telah membuat ibunya tertekan dan depresi. Namun tetap saja, sosok itu adalah ayahnya.

“Gak, Mel. Kakak gak benci sama papa. Beliau sudah membesarkan kakak sampe segede monster gini, masa’ kakak benci,” sahut Rangga akhirnya.

“Hihihi… bagus kak,” balas Amel sambil menepuk-nepuk lengan Rangga layaknya orang dewasa. Rangga geli juga dengan reaksi Amel, namun dia hanya tertawa.

“Kita emang gak boleh benci sama papa mama kita, kak. Nanti dosa. Amel malah pengin peluk papa Amel kalau ketemu, tapi gak bisa,” kata Amel sambil menunduk sedih dan menggenggam sedikit eskrim yang masih tersisa.

“Kenapa gak bisa, Mel?” tanya Rangga spontan.

“Papa Amel udah di surga,” jawab Amel singkat. Kemudian dia mendongak dan menatap Rangga yang trenyuh. Rangga bisa merasakan kesedihan gadis itu. Dan seolah, kesedihan itu adalah juga miliknya. “Tapi gakpapa. Amel seneng ketemu kakak. Kak Rangga baik, kayak papa Amel,” lanjut Amel sambil kembali memamerkan giginya yang kecil-kecil. Namun Rangga melihat sebutir kristal bening menggantung di sudut mata gadis itu.

Rangga tersenyum dan mengelus kepala Amel dengan lembut. Tiba-tiba dia sangat merindukan ayahnya.

***

Sudah tiga jam yang lalu sejak Mbak Siti menelepon Rangga untuk mengabari bahwa ayahnya mendadak pingsan ketika sedang membaca koran. Kini sang ayah tergolek lemah di atas seprei putih rumah sakit. Rangga duduk di kursi, di samping ayahnya dan memandang wajah sang ayah yang tampak pucat dan seperti menanggung duka mendalam. Baru kali ini Rangga menyadarinya. Di balik ekspresi kaku dan keras ayahnya tersimpan sepercik kepedihan yang menggantung.

“Rangga…” ayah Rangga tersadar dan memanggilnya dengan lirih.

“Iya pa. Aku di sini,” sahut Rangga segera, menghapus air mata yang sempat mengalir.

“Rangga, maafkan papamu, nak,” kata ayah Rangga dengan mantap meskipun dengan suara yang tidak terlalu jelas terdengar karena menahan sakit di jantungnya.

“Gak pa, Rangga yang minta maaf..

“Dengar dulu, papa belum selesai. Papa akui kalau papa egois. Kamu sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan sendiri jalan hidupmu. Tugas papa untuk mensupport setiap keputusanmu. Lanjutkanlah keinginanmu, nak.”

“Pa…

“Tapi satu yang papa minta. Selesaikan kuliahmu. Papa tidak akan melarangmu lagi untuk belajar hal lain. Mungkin suatu saat kamu bisa membuatkan papa sebuah istana,” pungkas ayah Rangga dengan sebuah senyuman sambil sedikit meringis kesakitan.

Sontak Rangga memeluk ayahnya. Sambil mengucapkan kata terimakasih dan maaf yang tak berkesudahan.

***

Rangga tak pernah berhasil lagi menemukan Amel setelah ayahnya pulang dari rumah sakit. Padahal dia ingin sekali berterimakasih pada gadis itu. Bahkan dia bermaksud untuk mengangkat Amel sebagai adik. Namun Amel memang tak pernah ada. Tidak penting sebenarnya apakah gadis itu ada atau tidak. Pesannya sudah tersampaikan.


4 comments:

  1. koreksinya
    * penggunaan kata horor yang menggambarkan suasana rumah kaya ny kurang pas deh, kan thu rumah bukan rumah hantu, mosok di gambarkan horor...

    * klimaks ny kurang greget, (klimaks ny thu yg bapak ny rangga masuk rumah sakit bukan????)

    * pengakhiran cerita ny rada aneh...kurang ada fell ny gitu...

    sekian koreksi dari saiiya...

    ~lumayan lah, saiiya kasih nilai 6,5 (hahahahahaha)...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hei, sudah dblng saya tdk mnta nilai,, (berasa master chef). Itu 6.5 skala 7 y? :-P
      Aq mau defend, haha
      - Horor sudah saya beri tnda kutip, saudara
      -Saya memang suka ending yg aneh
      Kalo yg klimaks, sya stuju, hahaha

      Delete
    2. hahahahahaha
      ora lah....
      ya pokok ny 6,5 dari . . . . .
      ya mending d ganti sama kata lain deh horor ny itu..

      kamu emang anehhhhh, maka ny suka sama ending yg aneh...

      semangka.....

      Delete
  2. hakakakakakak...........
    Gimana gak aneh kalo punya tetangga yang aneh juga -_-"

    Ok deh, tengkiu. Tapi kata horor nya gak akan q ganti, hahahaha.....

    Semangka glundang glundung...........

    ReplyDelete